GAMELAN reog sudah setengah jam berbunyi. Anak-anak belasan
tahun sampai pemuda 30-an, masing-masing membawa sepasang bambu,
hilir-mudik di depan rumah makan Duta Toraja dalam Taman Impian
Jaya Ancol Jakarta. Mereka telanjang kaki. Pelahan-lahan
gerombolan itu membentuk barisan. Berderet sebelas-sebelas.
Ternyata ada lima baris. Masing-masing memegang bambu di tangan
kanan dan kiri, ditegakkan lurus-lurus di depan.
Suasana tiba-tiba berubah tegang ketika gamelan mulai pelahan
dan akhirnya berhenti. Seorang berdiri di depan barisan memegang
bendera kotak-kotak hitam-putih. Barisan terdepan serentak
memasang kaki kirinya pada injakan yang dipasang tegak lurus
pada bambu itu, kira-kira 70 sentimeter dari tanah.
Ketika gamelan reog berbunyi lagi dan bendera dikebutkan,
serentak tubuh-tubuh di barisan terdepan terayun ke atas dan
langsung kaki kanan mengikuti kaki kiri bertengger pada injakan
Didahului barisan reog, kelompok pertama lomba egrang berangkat.
Lima menit kemudian -- dengan persiapan yang sama minus suara
gamelan -- barisan kedua berangkat. Demikian sampai barisan ke
lima.
Dalam lomba egrang kedua ini, menurut salah seorang panitya,
"yang mendaftar ada 90, itu pun lalu kita tutup." Tapi yang
hadir sore itu, 17 Desember lalu, hanya 54. Lomba egrang pertama
untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta, Juni yang lalu, diikuti
oleh 60 peserta. "Mungkin karena mendung, oom," kata salah
seorang peserta yang Juni lalu ikut ambil bagian.
Iseng-Iseng Saja
Orang-orang Taman Impian Ancol semula agak was-was mengadakan
lomba ini. Maklum, egrang yang di beberapa daerah disebut
jangkungan (bahasa Inggerisnya stilts) praktis tak lagi terlihat
di Jakarta. Tapi ternyata yang mendaftarkan lumayan. Mungkin
karena gratis atau hadiah yang menarik? "Ah, kita iseng-iseng
saja," jawab salah seorang peserta. "Cari pengalaman," jawab
yang lain. Tapi dari mana peserta-peserta itu memperoleh
ketrampilan beregrang? Teman saya orang Tasik yang mengajar
Isya," kata salah seorang anak, kelas 1 SMP, datang dari
bilangan Mangga Besar Jakarta.
Sebagian besar peserta memperoleh trampilan naik egrang di
daerah. Dengan egrang orang bisa menunjukkan ketangkasan
akrobatik: berjalan mundur ke samping, meloncat, berjalan dengan
satu egrang saja, atau berjalan dengan nongkrong.
Tapi di Ancol sore itu atraksi tak begitu hebat. Mungkin peserta
terlalu serius, atau ketrampilan memang kurang. Berangkat dari
rumah makan Duta Toraja, menyusur jalan menuju rumah makan Sea
Side, melewati pantai di belakang rumah makan itu. Di pantai
tantangan cukup tersedia: tanah pasir tak rata lagi. Lalu bagi
mereka yang berhasil mencomot bendera kecil yang ditancapkan
sepanjang pantai itu, mendapatkan nilai tambah. Tapi hanya
beberapa orang yang berhasil dengan baik. Artinya tanpa harus
jatuh. Bahkan ada yang kecebur basah kuyup.
Dari pantai mereka menuju Pasar Seni. Di Pasar Seni telah
digantungkan delapan belas jeruk yang dihitam dengan jelaga dan
diberi empat keping uang logam limaperakan. Ini peluang untuk
nilai lebih lagi. Mereka yang berhasil mengambil uang logam itu
mendapat tambahan nilai. Lalu mereka boleh istirahat untuk
melanjutkan perjalapan kedua. Di sini penyelenggara sibuk
membagikan teh botol dan es, juga tensoplast. Ternyata hampir
semua peserta mengalami lecet pada jari kaki atau tangan. Jarak
perjalanan pertama ini memang lumayan, sekitar dua kilometer dan
rupanya kulit kaki tak cukup terlatih diadu dengan bambu.
Dari Pasar Seni perjalanan dilanjutkan menuju Gelanggang Kuda
lewat Pantai Indah. Menjelang Gelanggang Kuda ketrampilan diuji
lagi tersedia terap kayu setinggi tiga terap. Mungkin karena
tenaga telah terkuras banyak yang jatuh melewati terap ini.
Lomba ini bukan adu cepat. Yang dinilai sedikitnya melakukan
kesalahan. Seperti jatuh, sengaja turun, menempuh jalan lain,
atau sengaja mengganggu peserta lain. Bagi mereka yang
menunjukkan ketrampilan, misalnya berjalan mundur, meloncat dan
sebagainya disediakan nilai tambah. Tapi yang memancing tepuk
tangan penonton dengan cara begitu, tak banyak. Rata-rata
berjalan biasa saja. Bahkan kelihatannya sulit melangkah. Ada
juga satu-dua yang kadang-kadang berjalan dengan satu egrang,
berjalan mundur, sambil menyulut rokok atau berjalan dengan gaya
seolah-olah mau jatuh.
Setelah sepuluh juri berunding cukup lama di sore yang sudah
gelap itu hasilnya diumumkan. Juara pertama Disri karyawan
proyek Ancol, memperoleh radio-kaset. Juara kedua Slamet Riadi
karyawan Taman Impian Ancol memperoleh alat perekam kaset. Juara
ketiga Marcus Tahar memperoleh radio. Dan juara harapan
Sugitono memperoleh radio juga.
Tak jelas dari mana egrang berasal Namun hampir di setiap negara
ada. Melihat alat dan kegunaannya, kemungkinan besar alat itu
untuk berjalan didaerah becek atau untuk menyeberangi sungai
atau paya. Mungkin perlu digalakkan di kota-kota yang sering
digenangi banjir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini