Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ketrampilan berkaki bambu

Peminat egrang di ibukota ternyata masih banyak. ini terbukti pada lomba ii yang diadakan di ancol beberapa hari lalu. jumlah yang mendaftar sebagai peserta naik hampir dua kali dari lomba i.

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAMELAN reog sudah setengah jam berbunyi. Anak-anak belasan tahun sampai pemuda 30-an, masing-masing membawa sepasang bambu, hilir-mudik di depan rumah makan Duta Toraja dalam Taman Impian Jaya Ancol Jakarta. Mereka telanjang kaki. Pelahan-lahan gerombolan itu membentuk barisan. Berderet sebelas-sebelas. Ternyata ada lima baris. Masing-masing memegang bambu di tangan kanan dan kiri, ditegakkan lurus-lurus di depan. Suasana tiba-tiba berubah tegang ketika gamelan mulai pelahan dan akhirnya berhenti. Seorang berdiri di depan barisan memegang bendera kotak-kotak hitam-putih. Barisan terdepan serentak memasang kaki kirinya pada injakan yang dipasang tegak lurus pada bambu itu, kira-kira 70 sentimeter dari tanah. Ketika gamelan reog berbunyi lagi dan bendera dikebutkan, serentak tubuh-tubuh di barisan terdepan terayun ke atas dan langsung kaki kanan mengikuti kaki kiri bertengger pada injakan Didahului barisan reog, kelompok pertama lomba egrang berangkat. Lima menit kemudian -- dengan persiapan yang sama minus suara gamelan -- barisan kedua berangkat. Demikian sampai barisan ke lima. Dalam lomba egrang kedua ini, menurut salah seorang panitya, "yang mendaftar ada 90, itu pun lalu kita tutup." Tapi yang hadir sore itu, 17 Desember lalu, hanya 54. Lomba egrang pertama untuk memeriahkan ulang tahun Jakarta, Juni yang lalu, diikuti oleh 60 peserta. "Mungkin karena mendung, oom," kata salah seorang peserta yang Juni lalu ikut ambil bagian. Iseng-Iseng Saja Orang-orang Taman Impian Ancol semula agak was-was mengadakan lomba ini. Maklum, egrang yang di beberapa daerah disebut jangkungan (bahasa Inggerisnya stilts) praktis tak lagi terlihat di Jakarta. Tapi ternyata yang mendaftarkan lumayan. Mungkin karena gratis atau hadiah yang menarik? "Ah, kita iseng-iseng saja," jawab salah seorang peserta. "Cari pengalaman," jawab yang lain. Tapi dari mana peserta-peserta itu memperoleh ketrampilan beregrang? Teman saya orang Tasik yang mengajar Isya," kata salah seorang anak, kelas 1 SMP, datang dari bilangan Mangga Besar Jakarta. Sebagian besar peserta memperoleh trampilan naik egrang di daerah. Dengan egrang orang bisa menunjukkan ketangkasan akrobatik: berjalan mundur ke samping, meloncat, berjalan dengan satu egrang saja, atau berjalan dengan nongkrong. Tapi di Ancol sore itu atraksi tak begitu hebat. Mungkin peserta terlalu serius, atau ketrampilan memang kurang. Berangkat dari rumah makan Duta Toraja, menyusur jalan menuju rumah makan Sea Side, melewati pantai di belakang rumah makan itu. Di pantai tantangan cukup tersedia: tanah pasir tak rata lagi. Lalu bagi mereka yang berhasil mencomot bendera kecil yang ditancapkan sepanjang pantai itu, mendapatkan nilai tambah. Tapi hanya beberapa orang yang berhasil dengan baik. Artinya tanpa harus jatuh. Bahkan ada yang kecebur basah kuyup. Dari pantai mereka menuju Pasar Seni. Di Pasar Seni telah digantungkan delapan belas jeruk yang dihitam dengan jelaga dan diberi empat keping uang logam limaperakan. Ini peluang untuk nilai lebih lagi. Mereka yang berhasil mengambil uang logam itu mendapat tambahan nilai. Lalu mereka boleh istirahat untuk melanjutkan perjalapan kedua. Di sini penyelenggara sibuk membagikan teh botol dan es, juga tensoplast. Ternyata hampir semua peserta mengalami lecet pada jari kaki atau tangan. Jarak perjalanan pertama ini memang lumayan, sekitar dua kilometer dan rupanya kulit kaki tak cukup terlatih diadu dengan bambu. Dari Pasar Seni perjalanan dilanjutkan menuju Gelanggang Kuda lewat Pantai Indah. Menjelang Gelanggang Kuda ketrampilan diuji lagi tersedia terap kayu setinggi tiga terap. Mungkin karena tenaga telah terkuras banyak yang jatuh melewati terap ini. Lomba ini bukan adu cepat. Yang dinilai sedikitnya melakukan kesalahan. Seperti jatuh, sengaja turun, menempuh jalan lain, atau sengaja mengganggu peserta lain. Bagi mereka yang menunjukkan ketrampilan, misalnya berjalan mundur, meloncat dan sebagainya disediakan nilai tambah. Tapi yang memancing tepuk tangan penonton dengan cara begitu, tak banyak. Rata-rata berjalan biasa saja. Bahkan kelihatannya sulit melangkah. Ada juga satu-dua yang kadang-kadang berjalan dengan satu egrang, berjalan mundur, sambil menyulut rokok atau berjalan dengan gaya seolah-olah mau jatuh. Setelah sepuluh juri berunding cukup lama di sore yang sudah gelap itu hasilnya diumumkan. Juara pertama Disri karyawan proyek Ancol, memperoleh radio-kaset. Juara kedua Slamet Riadi karyawan Taman Impian Ancol memperoleh alat perekam kaset. Juara ketiga Marcus Tahar memperoleh radio. Dan juara harapan Sugitono memperoleh radio juga. Tak jelas dari mana egrang berasal Namun hampir di setiap negara ada. Melihat alat dan kegunaannya, kemungkinan besar alat itu untuk berjalan didaerah becek atau untuk menyeberangi sungai atau paya. Mungkin perlu digalakkan di kota-kota yang sering digenangi banjir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus