RADEN Tumenggung Hardjonagoro (dulu Go Tik Swan), mempunyai
kebanggaan tersendiri akan Bengawan Sala. Bila dia mempunyai
tamu -- terutama orang luar negeri -- selalu membawa mereka ke
tepi sungai itu. Dan bukan ke Silir, lokalisasi resmi pelacuran
yang tidak jauh dari Bengawan Sala.
Tamu-tamu itu dibawa ke satu tempat yang ada perahu tambang,
perahu yang mengangkut segala macam di sungai itu. Mulai dari
manusia, ayam, daun singkong, sampai ke sepeda dan sepeda motor.
Dengan bangga, Hardjonagoro akan berkata: "Lihatlah sistem
transpor kraton hingga kini masih kami pertahankan."
Paling tidak perahu tambangan ini ada di tiga tempat di Bengawan
Sala. Yaitu di kampung Mojo, Beton dan Ngepung. Dan jangan
dikira bahwa pendapatan mereka sedikit. Sebab perahu tambangan
yang ada di Mojo, untuk tahun 1978/1979 berani menaruhkan
nasibnya lewat penawaran borongan tertinggi, yaitu Rp 5.050.000.
Sedangkan perahu tambangan di Beton dibayar oleh pemborongnya
seharga Rp 1.690. 000 dan di Ngepung Rp 3.700.000. Jadi sekitar
Rp 10 juta Pemerintah Daerah Sala menerima tambahan uang dari
hasil perahu tambangan yang tampaknya sepele ini.
Sebab biar bagaimanapun, arus orang-orang yang memakai perahu
tambangan ini tidak akan sepi selama jembatan di Jurug atau di
Bacem masih terlalu jauh dicapai. Perahu tambangan dianggap
jalan paling praktis dan terdekat untuk pergi dan kembali antara
Kota Sukohardjo dan Kota Sala. Ongkosnya pun tidak mahal. Setiap
orang hanya dipungut Rp 5 setiap kali menyeberang. Manusia
dengan sepeda, Rp 15 dan mereka yang memiliki sepeda motor Rp
50. Kalau sapi, ayam atau binatang lainnya, sama dengan manusia.
Perahu tambangan di Mojo paling banyak penumpang. Sekali angkut
perahu bisa memuat 70 orang atau 40 manusia dengan sepeda atau
motor. Lama penyeberangan 15 menit, kalau sungai lagi baik
tabiatnya. Melihat pemborong berani membayar tinggi, tentu
penghasilan mereka lebih tinggi pula. "Pokoknya ada untunglah,
mas," tukas Danan yang memborong penyeberangan di Mojo. Dia
menolak untuk menceriterakan keuntungannya. Tapi dia menyebut
penghasilan rata-rata sehari "ya sekitar Rp 10.000, sih ada,"
kata Danan.
Danan mempunyai dua orang pegawai di tiap pos untuk menarik
bayaran setiap penumpang. Kedua pos ada di tiap tepi sungai.
Tukang dayung ada empat orang, dinamakan si pembelah. Setiap
rit, cukup dikelola oleh dua orang pembelah saja. Yang dua
lainnya, mengaso sejenak. Pembelah memang tenaga yang dibutuhkan
dan juga paling banyak memeras tenaganya. Karena itu mereka
mendapat pembayaran lebih tinggi. Yaitu Rp 500 sehari. Sedangkan
si tukang pungut uang hanya Rp 400.
Di samping itu semua mendapat makan sekali sehari. Kerja mulai
dari jam 06.00 pagi sampai jam 06.00 sore. Pembelah diberi
kelonggaran pula untuk menambang sendiri, setelah jam 06.00
sore. Uangnya boleh masuk kantong sendiri. Tapi jumlah
penumpangpun biasanya menipis kalau hari sudah gelap.
Biarpun Sala disebut kota yang tidak pernah tidur, tapi untuk
menyeberangi sungai dengan perahu tambangan di malam hari
rupanya ada alasan-alasan yang tersembunyi. Ada yang memberi
dalih angker, tidak aman. Tapi yang pasti penumpang siang
umumnya jarang keluar malam hari. Karena mereka adalah pegawai
negeri, pedagang kecil, guru dan murid-murid sekolah. Biarpun di
Sukohardjo misalnya ada SD dan SMP, sekolah lanjutan atasnya
tidak ada. Apalagi universitas. Karena hal inilah, penumpang
selalu melimpah.
Tidak ada jembatan di tengah-tengah Bengawan Sala yang membelah
pinggir kota membuat perahu tambangan ini tetap laris. Setiap
tahun pemborong nyaris antri untuk mengajukan berapa harga yang
berani dia pertaruhkan. Kalau banyak pemborong, berarti variasi
harga makin kompleks. Ini bisa berarti keuntungan bagi pemborong
semakin tipis.
Percaya Saja
Hubungan antara pemborong dan pegawainya, biasanya dilakukan
atas kerjasama yang saling percaya. Tidak seperti hubungan
seorang supir bis dengan majikannya. Untuk perahu tambangan,
pemborong mempercayakan begitu saja kepada si pemungut uang.
Karcis tidak ada. "Tak usah susah-susah segala," kata Kasna, si
tukang pungut bayaran yang berada di Mojo. "Lha wong saya
dipercaya pemborong," tambahnya. Sebab baik pemborong maupun
tukang terima uang sudah tahu persis berapa kira-kira pendapatan
setiap hari. Baik untuk hari ramai seperti Lebaran atau hari
pasaran, atau hari biasa. Kata Kasna lagi: "Saya jujur. Juga
dulu sudah sering dikontrol oleh pemborong. Berapa penghasilan
untuk hari biasa, dicek juga untuk hari besar, dibuktikan
sendiri, pokoknya sudah saling percaya dan pengalaman."
Seperti dalam nyanyian Bengawan Sala memang merupakan kawan
dan lawan bagi penduduk Sala. Kawan kalau di musim kemarau,
karena siapa saja boleh mengambil pasir, memancing ikan atau
bersantai di atas batu-batu besar yang mempunyai suasana
romantis tersendiri. Di musim hujan, sungai ini sering jadi
lawan. Air yang dimuntahkan lewat kota Sala di tahun 1966 atau
musibah Januari 1978 ketika perahu tambangan terbalik di
Ngepung. Persoalannya cukup jamak perahu tambangan terbalik
karena terjerumus ke dalam putaran alun. Sementara itu Bengawan
Sala semakin lebar karena tepi-tepinya dimakan air.
Di musim hujan banyak penumpang yang enggan naik perahu ini dan
memilih jalan memutar lebih jauh lewat jembatan. Apakah tidak
ada niat untuk membuat jembatan menghubungkan Sukoharjo dan
Sala? "Niat ada, rencana kongkrit belum ada," jawab Agus Daman
Humas Pemda Sala. Sebab ada hal lain lagi kalau jembatan
permanen dibuat. Yaitu Pemda akan kehilangan penghasilan dari
lelang borongan hasil perahu tambangan ini. Dan macam-macam
alasan lain. Atau mungkin juga karena Raden Tumenggung
Hardjonagoro akan hilang kebanggaan terhadap tamu-tamunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini