Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bengawan yang lain

Jembatan jurug dan bacem terlalu jauh untuk menyeberang antara kota sukoharjo dan solo. karena itu, perahu tambangan masih laris. bagi pemda solo, perahu tambangan menjadi sumber tambahan uang. (ils)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RADEN Tumenggung Hardjonagoro (dulu Go Tik Swan), mempunyai kebanggaan tersendiri akan Bengawan Sala. Bila dia mempunyai tamu -- terutama orang luar negeri -- selalu membawa mereka ke tepi sungai itu. Dan bukan ke Silir, lokalisasi resmi pelacuran yang tidak jauh dari Bengawan Sala. Tamu-tamu itu dibawa ke satu tempat yang ada perahu tambang, perahu yang mengangkut segala macam di sungai itu. Mulai dari manusia, ayam, daun singkong, sampai ke sepeda dan sepeda motor. Dengan bangga, Hardjonagoro akan berkata: "Lihatlah sistem transpor kraton hingga kini masih kami pertahankan." Paling tidak perahu tambangan ini ada di tiga tempat di Bengawan Sala. Yaitu di kampung Mojo, Beton dan Ngepung. Dan jangan dikira bahwa pendapatan mereka sedikit. Sebab perahu tambangan yang ada di Mojo, untuk tahun 1978/1979 berani menaruhkan nasibnya lewat penawaran borongan tertinggi, yaitu Rp 5.050.000. Sedangkan perahu tambangan di Beton dibayar oleh pemborongnya seharga Rp 1.690. 000 dan di Ngepung Rp 3.700.000. Jadi sekitar Rp 10 juta Pemerintah Daerah Sala menerima tambahan uang dari hasil perahu tambangan yang tampaknya sepele ini. Sebab biar bagaimanapun, arus orang-orang yang memakai perahu tambangan ini tidak akan sepi selama jembatan di Jurug atau di Bacem masih terlalu jauh dicapai. Perahu tambangan dianggap jalan paling praktis dan terdekat untuk pergi dan kembali antara Kota Sukohardjo dan Kota Sala. Ongkosnya pun tidak mahal. Setiap orang hanya dipungut Rp 5 setiap kali menyeberang. Manusia dengan sepeda, Rp 15 dan mereka yang memiliki sepeda motor Rp 50. Kalau sapi, ayam atau binatang lainnya, sama dengan manusia. Perahu tambangan di Mojo paling banyak penumpang. Sekali angkut perahu bisa memuat 70 orang atau 40 manusia dengan sepeda atau motor. Lama penyeberangan 15 menit, kalau sungai lagi baik tabiatnya. Melihat pemborong berani membayar tinggi, tentu penghasilan mereka lebih tinggi pula. "Pokoknya ada untunglah, mas," tukas Danan yang memborong penyeberangan di Mojo. Dia menolak untuk menceriterakan keuntungannya. Tapi dia menyebut penghasilan rata-rata sehari "ya sekitar Rp 10.000, sih ada," kata Danan. Danan mempunyai dua orang pegawai di tiap pos untuk menarik bayaran setiap penumpang. Kedua pos ada di tiap tepi sungai. Tukang dayung ada empat orang, dinamakan si pembelah. Setiap rit, cukup dikelola oleh dua orang pembelah saja. Yang dua lainnya, mengaso sejenak. Pembelah memang tenaga yang dibutuhkan dan juga paling banyak memeras tenaganya. Karena itu mereka mendapat pembayaran lebih tinggi. Yaitu Rp 500 sehari. Sedangkan si tukang pungut uang hanya Rp 400. Di samping itu semua mendapat makan sekali sehari. Kerja mulai dari jam 06.00 pagi sampai jam 06.00 sore. Pembelah diberi kelonggaran pula untuk menambang sendiri, setelah jam 06.00 sore. Uangnya boleh masuk kantong sendiri. Tapi jumlah penumpangpun biasanya menipis kalau hari sudah gelap. Biarpun Sala disebut kota yang tidak pernah tidur, tapi untuk menyeberangi sungai dengan perahu tambangan di malam hari rupanya ada alasan-alasan yang tersembunyi. Ada yang memberi dalih angker, tidak aman. Tapi yang pasti penumpang siang umumnya jarang keluar malam hari. Karena mereka adalah pegawai negeri, pedagang kecil, guru dan murid-murid sekolah. Biarpun di Sukohardjo misalnya ada SD dan SMP, sekolah lanjutan atasnya tidak ada. Apalagi universitas. Karena hal inilah, penumpang selalu melimpah. Tidak ada jembatan di tengah-tengah Bengawan Sala yang membelah pinggir kota membuat perahu tambangan ini tetap laris. Setiap tahun pemborong nyaris antri untuk mengajukan berapa harga yang berani dia pertaruhkan. Kalau banyak pemborong, berarti variasi harga makin kompleks. Ini bisa berarti keuntungan bagi pemborong semakin tipis. Percaya Saja Hubungan antara pemborong dan pegawainya, biasanya dilakukan atas kerjasama yang saling percaya. Tidak seperti hubungan seorang supir bis dengan majikannya. Untuk perahu tambangan, pemborong mempercayakan begitu saja kepada si pemungut uang. Karcis tidak ada. "Tak usah susah-susah segala," kata Kasna, si tukang pungut bayaran yang berada di Mojo. "Lha wong saya dipercaya pemborong," tambahnya. Sebab baik pemborong maupun tukang terima uang sudah tahu persis berapa kira-kira pendapatan setiap hari. Baik untuk hari ramai seperti Lebaran atau hari pasaran, atau hari biasa. Kata Kasna lagi: "Saya jujur. Juga dulu sudah sering dikontrol oleh pemborong. Berapa penghasilan untuk hari biasa, dicek juga untuk hari besar, dibuktikan sendiri, pokoknya sudah saling percaya dan pengalaman." Seperti dalam nyanyian Bengawan Sala memang merupakan kawan dan lawan bagi penduduk Sala. Kawan kalau di musim kemarau, karena siapa saja boleh mengambil pasir, memancing ikan atau bersantai di atas batu-batu besar yang mempunyai suasana romantis tersendiri. Di musim hujan, sungai ini sering jadi lawan. Air yang dimuntahkan lewat kota Sala di tahun 1966 atau musibah Januari 1978 ketika perahu tambangan terbalik di Ngepung. Persoalannya cukup jamak perahu tambangan terbalik karena terjerumus ke dalam putaran alun. Sementara itu Bengawan Sala semakin lebar karena tepi-tepinya dimakan air. Di musim hujan banyak penumpang yang enggan naik perahu ini dan memilih jalan memutar lebih jauh lewat jembatan. Apakah tidak ada niat untuk membuat jembatan menghubungkan Sukoharjo dan Sala? "Niat ada, rencana kongkrit belum ada," jawab Agus Daman Humas Pemda Sala. Sebab ada hal lain lagi kalau jembatan permanen dibuat. Yaitu Pemda akan kehilangan penghasilan dari lelang borongan hasil perahu tambangan ini. Dan macam-macam alasan lain. Atau mungkin juga karena Raden Tumenggung Hardjonagoro akan hilang kebanggaan terhadap tamu-tamunya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus