KARTONO mengeluh: "Sejak K-15-N ini atasan saya kejem deh. Gaji
yang biasanya dibayar bulanan, sekarang diterima 2 minggu
sekali. Uang makan dan transpor dibayar berikut gaji, tadinya
mingguan. Tanpa diumumkan terlebih dahulu, tahu-tahu Sabtu
kemaren -- 9 Desember -- kita nggak dapat apa-apa. Kan kasihan
teman-teman yang bawa pas-pasan?! "
Achmad Hudaya juga mengeluh. Sejak adanya K-15-N ia melihat
harga barang-barang merambat ke langit. Ia tak tahu kenapa mesti
melonjak begitu rupa. Yang mengherankannya, gerakan itu tidak
diikuti tanda-tanda kenaikan gajinya sendiri. "Saya ingin juga
naik gaji sesuai dengan naiknya harga-harga," ujarnya kepada
Bachrun Suwatdi dari TEMPO.
Kejem Banget
Kartono (28 tahun) dan Hudaya (23 tahun), keduanya buruh di
sebuah pabrik mobil yang besar di Jakarta. Kartono bekerja di
sebuah perakitan mobil di Pondok Ungu, dekat Bekasi. Statusnya
masih sebagai pegawai percobaan. Ia baru 3 bulan bekerja.
Sedangkan Hudaya sudah 4 tahun sebagai buruh pengelas bagian
depan mobil (welding cabin) pada sebuah perusahaan perakitan
mobil di Pulo Gadung. Baru sotahun ini Hudaya menikmati jabatan
barunya sebagai asisten mandor (Joreman).
"Sekarang setelah 15 Nopember pengawasan kejem banget," kata
Kartono meneruskan ceritanya. "Terlambat 1 menit tiba di tempat
kerja, nggak dibayar uang transport." Jam kerja di pabriknya
antara pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore. Kartono bersama 40
orang buruh lainnya pernah kena gebuk, tidak dapat uang transpor
bersama-sama.
Hari itu jam menunjukkan pukul 15.45. Keadaan di dalam pabrik
agak lengang. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan. "Teman-teman
fikir tentu pekerjaan sudah selesai," kata Kartono, "lantas kita
semua mulai ganti baju. Eh, tahu-tahu ada pengawas yang
memperhatikan kita." Namun para buruh masih belum menyangka akan
diambil tindakan.
Pukul 16.05 semua buruh sudah check-clock -- memasukkan kartu
kerja mereka ke dalam mesin. Padahal majikan menghendaki
check-clock dilaksanakan pukul 16.08. Hanya perbedaan beberapa
menit, tetapi peraturan berarti sudah dilanggar. Semua buruh
kena sanksi. Bahkan Kartono mendengar seientmgan angin bahwa
beberapa sejawatnya bakal "dirumahkan" alias dilepas. "Tapi itu
baru kabar-kabar angin," ujarnya kesal.
Kartono mengakui bahwa keterlambatan yang dihajar dengan sanksi
penghapusan uang transpor memang baik untuk disiplin kerja.
"Tapi jangan pulang juga terlambat dong," ujarnya. Ia merasa ada
ketidakadilan, karena perusahaan tidak memberi kelonggaran sama
sekali buat yang terlambat, sementara tak berkata apa-apa kalau
buruh pulang terlambat beberapa menit. Soalnya di erusahaannya
belum ada angkutan -nuklum pabriknya masih baru -- jadi soal
datang pergi masih tergantung pada angkutan umum. "Pokoknya
atasan harus ada pengertian deh," kata Kartono.
Kendati mengeluh, Kartono mengakui bahwa bekerja sebagai buruh
pabrik perakitan seperti sekarang memiliki hari depan. Ini yang
membedakannya dengan bermacam-macam pekerjaan yang pernah
dicobanya sebelum terdampar ke pabrik perakitan mobil. Ia pernah
bekerja di gudang Pertamina Pulo Mas. Kemudian jadi sopir
direktur utama PT Aqmar dengan gaji Rp 75 ribu. Kemudian
dikontrak sebagai supir pula oleh Total Indonesia selama 3 bulan
dengan bayaran Rp 130 ribu.
"Orang-orang Perancis pelit, jadi selesai kontrak saya berhenti,
lantas jadi sopir PT Metro Mini," kata Kartono. Di Metro Mini,
ia dapat lumayan, Rp 150 ribu sebulan. "Memang uangnya besar,
tapi bosannya bukan main. Habis, keluar pagi pukul 6 baru tiba
di rumah pukul 10 malam. Nggak ada istirahatnya,"katanya lebih
lanjut. Akhirnya setelah bekerja 5 bulan, Kartono masuk pabrik
perakitan dengan gaji Rp Z1.280 sebulan. Dengan catatan, kalau
lulus percobaan akan naik jadi Rp 27.250.
"Walaupun kerja di sini ada dukanya, saya senang," kata Kartono.
Sekarang ia melihat masa depan. Sesuatu yang tak dilihatnya
selama ia jadi supir. "Lagian, sekarang ini sesuai dengan hobby
saya, saya bisa belajar banyak. Saya ingin sampai jadi ahli
mesin. Di samping itu saya dapat lingkungan kerja yang enak,
teman-teman semuanya menyenangkan."
Kartono lahir di Jakarta, ia tamatan SMA Negeri Ujung Berung,
Bandung tahun 1970. Ia pernah ikut testing masuk ITB jurusan
mesin tapi gagal. Ia juga sempat kuliah di Aktripa (Akademi
Industri dan Pariwisata) tetapi hanya sampai tingkat satu saja.
"Cita-cita saya ingin jadi insinyur. Sejak gagal masuk ITB
patah semangat untuk belajar, kuliah di Aktripa juga gagal
karena biaya putus akibat ayah meninggal," kata Kartono.
Beberapa temannya sekarang sudah ada yang jadi insinyur. Kartono
menerima nasib jadi buruh. Tapi sekarang ia merasa agak aman.
Bos-bosnya kebetulan tidak pernah cerewet. Sementara setiap
siang hari ada ransum, makan susu dan kacang ijo dari
perusahaan. "Kantong kempes sekarang tidak begitu memusingkan,
karena setiap akhir bula pasti akan terima gaji," ujarnya.
Kartono ingin cepat-cepat diangkat sebagai pegawai tetap. Di
pabrik perakitan ini ia bergaul dengan mesin-mesin otomatis,
sehingga tenaga manusia tidak begitu diperas. Ia sudah menjadi
ahli dalam menggulung dinamo motor di samping mulai bisa
mereparasi mobil. Ia sulit melepaskan kesenangan untuk
duduk-duduk di rumah bersama isteri setelah bekerja seharian,
sesuatu yang dulu tak sempat dilakukannya.
Tubuhnya sudah diukur-ukur untuk pakaian kerja. Meskipun masih
belum diberikan. Ia agak khawatir karena ada 2 orang rekannya
yang sudah menjalani masa percobaan selama 4 bulan, belum juga
diangkat. Meskipun gaji yang akan diterimanya sebagai pegawai
tetap masih terbilang kecil, ia telah merasa menentukan pilihan.
"Kalau kita punya prestasi gaji kan pasti akan naik," ujarnya
yakin.
Jarang Lembur Lagi
Tapi Achmad Hudaya yang telah bekerja 4 tahun ternyata hanya
bergaji Rp 25 ribu. Untung ada uang perangsang Rp 26 ribu, uang
makan Rp 1500 dan uang transpor Rp 2000. Sehingga total
pendapatannya Rp 54.500. Ia juga termasuk menentukan pilihan,
karena sejak kecil ia sudah berangan-angan bekerja sebagai
teknisi di pabrik besar. Pabriknya sekarang memiliki 865 buruh.
Enam orang di antaranya berada di bawah pengawasan Hudaya. Bakat
memimpin ini mungkin ia warisi dari bapaknya yang sekarang masih
menjabat lurah di Desa Jati, Kabupaten Taronggong, Garut.
Tak kurang dari 124 buah mobil colt Mitsubishi yang dirakit di
pabrik setiap hari. Semuanya digarap oleh 2 regu yang bekerja
bergantian siang dan malam. Di pabrik itu juga ada Serikat Buruh
Asembling Mesin Perbengkelan (SMAMP) yang tergabung dalam
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Organisasi itu tentunya
tidak akan tingal diam bila melihat nasib anggautanya buruk.
Cuma Hudaya sendiri belum masuk organisasi. "Disuruh masuk, tapi
saya nggak ngerti kenapa masuk," kata Hudaya.
Gaji yang hampir sama besarnya diterima juga oleh Sumarmo di PT
Multi Astra. Perusahaan ini merakit mobilmobil Jepang. Ia telah
4 tahun bekerja. Menjabat kepala bagian ampelas yang mengepalai
32 orang tukang ampelas, Sumarmo hanya menerima gaji Rp 47.500.
Setiap bulan ia terpaksa menyisihkan Rp 20 ribu untuk Tabanas.
"Saya kan nggak sampai tua mau begini," ujar Sumarmo.
Sumarmo memasuki pabrik perakitan itu mula-mula sebagai tukang
ketok. Ia menjadi salah satu di antara 2300 orang buruh yang
kini menyaksikan betapa K-15-N sedikit mempengaruhi kesibukan
pabrik. Kalau dahulu setiap hari setidak-tidaknya sekitar 130
buah mobil yang dirakit, sekarang anjlog hanya sampai 100 buah.
Perubahan tersebut tentunya menimbulkan bermacam-macam akibat.
Sumarmo juga merasa harga kebutuhan sekarang meningkat.
Sementara majikan belum ada tanda-tanda untuk menaikkan gaji.
"Tapi seperti biasanya akhir tahun ada naik gaji 10 sampai 15%,"
ujarnya. Isterinya sudah mulai mengurangi belanja pada akhir
bulan. Sumarmo sebenarnya punya keyakinan bahwa harga kebutuhan
hidup akan stabil kembali. Tetapi seandainya itu meleset dan
harga terus melangit, tentu saja penghasilannya akan
ketinggalan. "Yah, tapi kita orang kecil nggak bisa apa-apa,"
ujarnya.
Mohammad Sani -- 36 tahun -- yang bekerja di perusahaan yang
sama dengan Sumarmo membenarkan setelah K-15-N, ada penurunan
jumlah mobil yang dirakit. "Kalau tadinya sehari 135 mobil,
sekarang hanya 110, jadi agak kesel juga kan, karena nggak ada
lembur lagi," ujarnya. Ia adalah kepala bagian rektifikasi
(ceking terakhir dengan perbaikan kecil-kecilan sebelum
kendaraan dilepaskan ke pasaran). Sudah 5 tahun bekerja.
Sekarang gajinya Rp 65 ribu.
Karyawan bawahan Sani sudah mulai main selentingan soal kenaikan
gaji. Tapi apa yang bakal terjadi adalah urusan majikan. Sani
tidak tahu bagaimana nantinya. Yang jelas sekarang isterinya
sering ribut, kaget melihat harga kebutuhan dapur melonjak.
Sementara target kerja yang diminta perusahaan tetap. Kadangkala
perusahaan minta 50 buah mobil dirampungkan. Kalau pekerjaan
sulit seringkali hanya bisa dicapai 45 buah. "Lalu saya sedih,"
kata Sani. "Saya menjaga ketenangan dengan bekerja tanpa
memikirkan uangnya, tahu-tahu sudah terima saja akhir bulan,"
katanya seterusnya. Sebegitu jauh ia merasa kegembiraannya
bekerja sampai sekarang belum terganggu.
Buruh-buruh pabrik mobil itu memang memiliki masa depan. Karena
sementara bekerja, mereka seperti masuk kursus atau sekolah
untuk mendapatkan keahlian yang dapat dipergunakan sendiri nanti
--seandainya mereka bebas dari pabrik. Sementara ketenangan
kerja di pabrik dijaga karena kalau ada yang suka ribut langsung
dikeluarkan seperti terjadi pada tempat kerja Sumarmo.
Kalau isteri melahirkan mereka medapat uang tunjangan. Tiap
tahun ada pembagian seragam kerja, kenaikan gaji dan sepasang
sepatu kerja baru. Kalau sakit juga ada dokter poliklinik atau
dokter rayon yang ditunjuk oleh perusahaan dekat rumah
masing-masing buruh. Tetapi susahnya kalau ada kejadian
tiba-tiba seperti K-15-N, pekerjaan memang sedikit dibikin
seret. "Sekarang jarang lembur, jadi tidak ada tambahan uang
dapur, dengan sendirinya juga tak ada makan lembur dan roti
gratis lagi," kata Sumarmo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini