Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

K-15-n Dan Buruh

Akibat kenop-15, kini, dirasakan pula oleh beberapa buruh di pabrik mobil. Uang transpor mereka tak dibayar lagi. Gaji tak ada tanda-tanda akan naik. Sementara harga telah melangit.(sd)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTONO mengeluh: "Sejak K-15-N ini atasan saya kejem deh. Gaji yang biasanya dibayar bulanan, sekarang diterima 2 minggu sekali. Uang makan dan transpor dibayar berikut gaji, tadinya mingguan. Tanpa diumumkan terlebih dahulu, tahu-tahu Sabtu kemaren -- 9 Desember -- kita nggak dapat apa-apa. Kan kasihan teman-teman yang bawa pas-pasan?! " Achmad Hudaya juga mengeluh. Sejak adanya K-15-N ia melihat harga barang-barang merambat ke langit. Ia tak tahu kenapa mesti melonjak begitu rupa. Yang mengherankannya, gerakan itu tidak diikuti tanda-tanda kenaikan gajinya sendiri. "Saya ingin juga naik gaji sesuai dengan naiknya harga-harga," ujarnya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO. Kejem Banget Kartono (28 tahun) dan Hudaya (23 tahun), keduanya buruh di sebuah pabrik mobil yang besar di Jakarta. Kartono bekerja di sebuah perakitan mobil di Pondok Ungu, dekat Bekasi. Statusnya masih sebagai pegawai percobaan. Ia baru 3 bulan bekerja. Sedangkan Hudaya sudah 4 tahun sebagai buruh pengelas bagian depan mobil (welding cabin) pada sebuah perusahaan perakitan mobil di Pulo Gadung. Baru sotahun ini Hudaya menikmati jabatan barunya sebagai asisten mandor (Joreman). "Sekarang setelah 15 Nopember pengawasan kejem banget," kata Kartono meneruskan ceritanya. "Terlambat 1 menit tiba di tempat kerja, nggak dibayar uang transport." Jam kerja di pabriknya antara pukul 8 pagi sampai pukul 4 sore. Kartono bersama 40 orang buruh lainnya pernah kena gebuk, tidak dapat uang transpor bersama-sama. Hari itu jam menunjukkan pukul 15.45. Keadaan di dalam pabrik agak lengang. Tak ada lagi yang bisa dikerjakan. "Teman-teman fikir tentu pekerjaan sudah selesai," kata Kartono, "lantas kita semua mulai ganti baju. Eh, tahu-tahu ada pengawas yang memperhatikan kita." Namun para buruh masih belum menyangka akan diambil tindakan. Pukul 16.05 semua buruh sudah check-clock -- memasukkan kartu kerja mereka ke dalam mesin. Padahal majikan menghendaki check-clock dilaksanakan pukul 16.08. Hanya perbedaan beberapa menit, tetapi peraturan berarti sudah dilanggar. Semua buruh kena sanksi. Bahkan Kartono mendengar seientmgan angin bahwa beberapa sejawatnya bakal "dirumahkan" alias dilepas. "Tapi itu baru kabar-kabar angin," ujarnya kesal. Kartono mengakui bahwa keterlambatan yang dihajar dengan sanksi penghapusan uang transpor memang baik untuk disiplin kerja. "Tapi jangan pulang juga terlambat dong," ujarnya. Ia merasa ada ketidakadilan, karena perusahaan tidak memberi kelonggaran sama sekali buat yang terlambat, sementara tak berkata apa-apa kalau buruh pulang terlambat beberapa menit. Soalnya di erusahaannya belum ada angkutan -nuklum pabriknya masih baru -- jadi soal datang pergi masih tergantung pada angkutan umum. "Pokoknya atasan harus ada pengertian deh," kata Kartono. Kendati mengeluh, Kartono mengakui bahwa bekerja sebagai buruh pabrik perakitan seperti sekarang memiliki hari depan. Ini yang membedakannya dengan bermacam-macam pekerjaan yang pernah dicobanya sebelum terdampar ke pabrik perakitan mobil. Ia pernah bekerja di gudang Pertamina Pulo Mas. Kemudian jadi sopir direktur utama PT Aqmar dengan gaji Rp 75 ribu. Kemudian dikontrak sebagai supir pula oleh Total Indonesia selama 3 bulan dengan bayaran Rp 130 ribu. "Orang-orang Perancis pelit, jadi selesai kontrak saya berhenti, lantas jadi sopir PT Metro Mini," kata Kartono. Di Metro Mini, ia dapat lumayan, Rp 150 ribu sebulan. "Memang uangnya besar, tapi bosannya bukan main. Habis, keluar pagi pukul 6 baru tiba di rumah pukul 10 malam. Nggak ada istirahatnya,"katanya lebih lanjut. Akhirnya setelah bekerja 5 bulan, Kartono masuk pabrik perakitan dengan gaji Rp Z1.280 sebulan. Dengan catatan, kalau lulus percobaan akan naik jadi Rp 27.250. "Walaupun kerja di sini ada dukanya, saya senang," kata Kartono. Sekarang ia melihat masa depan. Sesuatu yang tak dilihatnya selama ia jadi supir. "Lagian, sekarang ini sesuai dengan hobby saya, saya bisa belajar banyak. Saya ingin sampai jadi ahli mesin. Di samping itu saya dapat lingkungan kerja yang enak, teman-teman semuanya menyenangkan." Kartono lahir di Jakarta, ia tamatan SMA Negeri Ujung Berung, Bandung tahun 1970. Ia pernah ikut testing masuk ITB jurusan mesin tapi gagal. Ia juga sempat kuliah di Aktripa (Akademi Industri dan Pariwisata) tetapi hanya sampai tingkat satu saja. "Cita-cita saya ingin jadi insinyur. Sejak gagal masuk ITB patah semangat untuk belajar, kuliah di Aktripa juga gagal karena biaya putus akibat ayah meninggal," kata Kartono. Beberapa temannya sekarang sudah ada yang jadi insinyur. Kartono menerima nasib jadi buruh. Tapi sekarang ia merasa agak aman. Bos-bosnya kebetulan tidak pernah cerewet. Sementara setiap siang hari ada ransum, makan susu dan kacang ijo dari perusahaan. "Kantong kempes sekarang tidak begitu memusingkan, karena setiap akhir bula pasti akan terima gaji," ujarnya. Kartono ingin cepat-cepat diangkat sebagai pegawai tetap. Di pabrik perakitan ini ia bergaul dengan mesin-mesin otomatis, sehingga tenaga manusia tidak begitu diperas. Ia sudah menjadi ahli dalam menggulung dinamo motor di samping mulai bisa mereparasi mobil. Ia sulit melepaskan kesenangan untuk duduk-duduk di rumah bersama isteri setelah bekerja seharian, sesuatu yang dulu tak sempat dilakukannya. Tubuhnya sudah diukur-ukur untuk pakaian kerja. Meskipun masih belum diberikan. Ia agak khawatir karena ada 2 orang rekannya yang sudah menjalani masa percobaan selama 4 bulan, belum juga diangkat. Meskipun gaji yang akan diterimanya sebagai pegawai tetap masih terbilang kecil, ia telah merasa menentukan pilihan. "Kalau kita punya prestasi gaji kan pasti akan naik," ujarnya yakin. Jarang Lembur Lagi Tapi Achmad Hudaya yang telah bekerja 4 tahun ternyata hanya bergaji Rp 25 ribu. Untung ada uang perangsang Rp 26 ribu, uang makan Rp 1500 dan uang transpor Rp 2000. Sehingga total pendapatannya Rp 54.500. Ia juga termasuk menentukan pilihan, karena sejak kecil ia sudah berangan-angan bekerja sebagai teknisi di pabrik besar. Pabriknya sekarang memiliki 865 buruh. Enam orang di antaranya berada di bawah pengawasan Hudaya. Bakat memimpin ini mungkin ia warisi dari bapaknya yang sekarang masih menjabat lurah di Desa Jati, Kabupaten Taronggong, Garut. Tak kurang dari 124 buah mobil colt Mitsubishi yang dirakit di pabrik setiap hari. Semuanya digarap oleh 2 regu yang bekerja bergantian siang dan malam. Di pabrik itu juga ada Serikat Buruh Asembling Mesin Perbengkelan (SMAMP) yang tergabung dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). Organisasi itu tentunya tidak akan tingal diam bila melihat nasib anggautanya buruk. Cuma Hudaya sendiri belum masuk organisasi. "Disuruh masuk, tapi saya nggak ngerti kenapa masuk," kata Hudaya. Gaji yang hampir sama besarnya diterima juga oleh Sumarmo di PT Multi Astra. Perusahaan ini merakit mobilmobil Jepang. Ia telah 4 tahun bekerja. Menjabat kepala bagian ampelas yang mengepalai 32 orang tukang ampelas, Sumarmo hanya menerima gaji Rp 47.500. Setiap bulan ia terpaksa menyisihkan Rp 20 ribu untuk Tabanas. "Saya kan nggak sampai tua mau begini," ujar Sumarmo. Sumarmo memasuki pabrik perakitan itu mula-mula sebagai tukang ketok. Ia menjadi salah satu di antara 2300 orang buruh yang kini menyaksikan betapa K-15-N sedikit mempengaruhi kesibukan pabrik. Kalau dahulu setiap hari setidak-tidaknya sekitar 130 buah mobil yang dirakit, sekarang anjlog hanya sampai 100 buah. Perubahan tersebut tentunya menimbulkan bermacam-macam akibat. Sumarmo juga merasa harga kebutuhan sekarang meningkat. Sementara majikan belum ada tanda-tanda untuk menaikkan gaji. "Tapi seperti biasanya akhir tahun ada naik gaji 10 sampai 15%," ujarnya. Isterinya sudah mulai mengurangi belanja pada akhir bulan. Sumarmo sebenarnya punya keyakinan bahwa harga kebutuhan hidup akan stabil kembali. Tetapi seandainya itu meleset dan harga terus melangit, tentu saja penghasilannya akan ketinggalan. "Yah, tapi kita orang kecil nggak bisa apa-apa," ujarnya. Mohammad Sani -- 36 tahun -- yang bekerja di perusahaan yang sama dengan Sumarmo membenarkan setelah K-15-N, ada penurunan jumlah mobil yang dirakit. "Kalau tadinya sehari 135 mobil, sekarang hanya 110, jadi agak kesel juga kan, karena nggak ada lembur lagi," ujarnya. Ia adalah kepala bagian rektifikasi (ceking terakhir dengan perbaikan kecil-kecilan sebelum kendaraan dilepaskan ke pasaran). Sudah 5 tahun bekerja. Sekarang gajinya Rp 65 ribu. Karyawan bawahan Sani sudah mulai main selentingan soal kenaikan gaji. Tapi apa yang bakal terjadi adalah urusan majikan. Sani tidak tahu bagaimana nantinya. Yang jelas sekarang isterinya sering ribut, kaget melihat harga kebutuhan dapur melonjak. Sementara target kerja yang diminta perusahaan tetap. Kadangkala perusahaan minta 50 buah mobil dirampungkan. Kalau pekerjaan sulit seringkali hanya bisa dicapai 45 buah. "Lalu saya sedih," kata Sani. "Saya menjaga ketenangan dengan bekerja tanpa memikirkan uangnya, tahu-tahu sudah terima saja akhir bulan," katanya seterusnya. Sebegitu jauh ia merasa kegembiraannya bekerja sampai sekarang belum terganggu. Buruh-buruh pabrik mobil itu memang memiliki masa depan. Karena sementara bekerja, mereka seperti masuk kursus atau sekolah untuk mendapatkan keahlian yang dapat dipergunakan sendiri nanti --seandainya mereka bebas dari pabrik. Sementara ketenangan kerja di pabrik dijaga karena kalau ada yang suka ribut langsung dikeluarkan seperti terjadi pada tempat kerja Sumarmo. Kalau isteri melahirkan mereka medapat uang tunjangan. Tiap tahun ada pembagian seragam kerja, kenaikan gaji dan sepasang sepatu kerja baru. Kalau sakit juga ada dokter poliklinik atau dokter rayon yang ditunjuk oleh perusahaan dekat rumah masing-masing buruh. Tetapi susahnya kalau ada kejadian tiba-tiba seperti K-15-N, pekerjaan memang sedikit dibikin seret. "Sekarang jarang lembur, jadi tidak ada tambahan uang dapur, dengan sendirinya juga tak ada makan lembur dan roti gratis lagi," kata Sumarmo.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus