Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kiamat di Siang Hari

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gempa tektonik 9,2 skala Richter yang mengguncang Aceh pada 26 Desember 2004 memicu tsunami dahsyat. Ratusan ribu orang tewas. Puluhan ribu rumah hancur dan seluruh infrastruktur di pesisir Aceh luluh-lantak.

Gempa dan tsunami pernah menghembalang Nusa Tenggara Timur, dengan guncangan 6,8 skala Richter. Majalah Tempo edisi 19 Desember 1992 mengulas tragedi yang menghilangkan nyawa 1.500 orang tersebut.

Soal kiamat memang urusan Tuhan. Tapi yang terjadi di empat kabupaten Nusa Tenggara Timur itu bisa dibilang "kiamat". Lepas tengah hari, 12 Desember 1992, pukul 13.29 Waktu Indonesia Tengah, bumi Flores bak beras diayak keras-keras dengan nampan. Hancur porak-poranda oleh gempa berkekuatan 6,8 skala Richter (di lembaga geofisika di Strasbourg, Prancis, tercatat 7,5 skala Richter). Sekitar 60 persen bangunan di Maumere, ibu kota Kabupaten Sikka, dilaporkan retak atau sama sekali ambruk. Beberapa jembatan patah dan lalu lintas putus. Tiang telepon dan listrik sebagian tumbang. Kegiatan ekonomi mandek. Maumere dikabarkan praktis mati dan penuh tangis duka.

Bencana gempa ini masih ditambah lagi dengan hantaman gelombang laut tsunami yang menelan korban ratusan. Pulau Babi dan Pulau Pamana Besar di lepas pantai Maumere tiba-tiba diterjang gelombang laut, yang menyapu seluruh muka dua pulau kecil berpenduduk sekitar 2.000 orang itu. Hampir semua penduduknya tersedot air. Tak cuma itu, gelombang hebat tsunami masih merayap sejauh 300 meter ke pantai Maumere, menggasak perkampungan nelayan miskin.

Yang mengerikan adalah soal jumlah korban jiwa. Menurut laporan Jawa Pos, sampai awal pekan sudah 1.500 orang tewas. Dan angka ini, menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung, adalah jumlah korban gempa tektonik terbesar di Indonesia.

Maumere agaknya menderita paling parah. Sekitar 1.100 penduduk yang meninggal berasal dari daerah nelayan miskin itu. Dan ratusan lain menderita luka parah. Sampai-sampai rumah sakit di Maumere terpaksa membaringkan pasien yang membanjir itu di lorong-lorong bangsal. Pada hari pertama, Bandar Udara Maumere dilaporkan retak pada landasan pacunya. Hal yang sama terjadi di Bandara Waingapu, Sumba Timur. Ini membuat tersendatnya bantuan yang akan mengalir ke sana. Ende juga rusak berat. Bangunan pemerintah, seperti kejaksaan, gedung statistik, dan BRI praktis tak bisa dipakai.

Diduga kuat, pusat gempa berada pada 8,8 derajat Lintang Selatan, 122,1 derajat Bujur Timur, sekitar 30 kilometer barat daya Kota Maumere. Gempa ini berasal dari kedalaman 36 kilometer di Laut Sabu. Dalam peta seismotik Indonesia—peta ini dikeluarkan Direktorat Jenderal Geologi dan Tata Lingkungan—daerah Laut Sabu itu terhitung rawan gempa.

Dan sebenarnya, daerah itu hanya salah satu titik rawan gempa yang terhampar. Hampir semua daerah di pesisir barat Sumatera terus memanjang ke pesisir selatan Jawa, terus ke timur, adalah daerah rawan "goyang bumi". "Jadi sesungguhnya hidup kita ini setiap saat ada risiko ancaman gempa," kata Rab Soekamto, Kepala Puslitbang Geologi, kepada Taufik Abriansyah dari Tempo.

Indonesia adalah tempat pertemuan antara jalur gempa bumi yang melingkari Pasifik dan jalur gempa bumi Alpina-Kaukasus-Himalaya. Kedua jalur ini bertemu di sekitar Maluku. Jalur gempa bumi (lempeng) selalu bergerak secara relatif satu dengan lainnya. Menurut sebuah studi di Ditjen Geologi, sekarang ini lempengan bergerak sekitar enam sentimeter setiap tahun. Akibatnya, selain terjadi gempa bumi, terkumpul energi dahsyat pada sesar-sesar (lekukan atau patahan). Energi besar ini sewaktu-waktu dapat menyebabkan gempa lebih dahsyat.

Di Indonesia ada beberapa sesar penting: Sesar Lintas Sumatera, Sesar Palu Koro di Sulawesi, Sesar Digul, dan lainnya.

Dari segi kekuatan pada skala Richter, gempa Flores memang bukan yang terkuat. Pernah ada gempa dengan 7,7 skala Richter di Kerinci (1908), kemudian 7,75 skala Richter di Sulawesi Tengah (1968), dan di Kurima, Irian Jaya (1976). Kalau korbannya tak sebanyak di Flores, itu boleh jadi karena pusat gempanya jauh dari daerah permukiman. Dan mungkin bangunan dan penduduknya tak sepadat Flores.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus