19 TAHUN yang lalu, belum ada majalah TEMPO. Tapi hari-hari sekitar 30 September 1965 yang menakutkan itu mungkin punya peran dalam "menyemai benih", yang kelak bertumbuh jadi majalah ini. Soalnya. waktu itu pun, banyak di antara teman yang bekerja di TEMPO kini sudah ikut terlibat dalam saat-saat kritis itu. Salim Said, misalnya. Ia, yang bergabung dengan TEMPO sejak awal, kini wartawan kita di AS. Ia tengah menyelesaikan program doktor untuk ilmu politik. Tanggal 1 Oktober 1965, dalam umur 21 tahun, ia termasuk salah seorang yang merebut kembali RRI Studio Jakarta dari kontrol unsur-unsur PKI. Beberapa jam sebelumnya, di studio itu "Gestapu" mengumumkan kudetanya. Di samping Salim, ada misalnya Ed Zoelverdi, redaktur foto kita. Dalam pelbaai demonstrasi yang menuntut PKI bubar, setelah "Gestapu" gagal, Ed ikut membuat dan menyiarkan poster-poster darl karung goni. Dalam kelompoknya menonjol peran Djufri Tanissan, misalnya, yang kini art director beberapa film Sjumandjaja. Salah satu "karya" corat-coret Ed dan Djufri, juga tampang mereka waktu berdemonstrasi, sempat masuk dalan Encyclopedia Americana (Lihat: Gambar). Sembilan belas tahun yang lalu pula, di Yogya, Syu'bah Asa dan Bastari Asnin (waktu itu masing-masing berumur 23 dan 26 kini keduanya redaktur pelaksana senior), terlibat dalam pergulatan yang sama. Bastari sampai belajar ilmu bela diri karena ia, waktu itu mahasiswa UGM dan wartawan Suara Muhammadiyak, tiap pulang malam dari percetakan dilempari batu oleh pemuda-pemuda komunis. Menjelang, apalagi sesudah, 30 September 1965, keadaan memang penuh bentrok. Maka, bila Bastari belajar silat, di desanya di Tabanan Putu Setia (waktu itu 14 tahun) diberi "kesaktian" oleh orangtuanya. Untuk menghadapi PKI, tentu. Adapun Putu waktu itu tergabung dalam "Gabungan Silat Tameng Marhaenis", dan di Bali benturan fisik antara marhaenis dan komunis sudah sering terjadi. Putu sendiri sampai kini masih tetap takiub. bahwa buat suatu periode ia memang pernah benar-benar kebal. Waktu itu tiap malam ia dites: tubuhnya dibacok pedang. Tak apa-apa. Semua itu kini tentu hanya kenangan. Tapi bukan sekadar nostalgia atau pamer kepahlawanan bila cerita Salim dan Syu'bah nomor ini kami sajikan buat pembaca. Keduanya hanya bagian dari kisah kesaksian pribadi di sekitar Peristiwa "Gestapu" yang pekan ini kami tampilkan. Soalnya, kami menyadari betapa perlunya rekaman masa silam seperti itu dikemukakan. Setidaknya, untuk sebagian dulu. Sebab, seperti juga di masyarakat luas, TEMPO pun punya persoalan generasi. Sebagian besar wartawan TEMPO sendiri tergolong amat muda: generasi yang tak terlibat secara aktif dalam periode 1965-1966, tapi yang karena itu akan dapat meninjau masa yang penting itu dalam perspektif yang lebih luas. Bambang Harimurty, misalnya, yang beroleh wawancara khusus dengan Dewi Soekarno, di tahun 1965 masih berumur 9 tahun. Bahkan Eko Yuswanto, calon reporter yang mewawancarai ajudan Bung Karno, Bambang Wijanarko, di tahun 1965 dulu masih berumur 5 tahun. Sejarah berjalan, generasi baru memang sedang menggantikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini