WAWANCARA dengan Drs. W.D. Sukisman yang dimuat di TEMPO Edisi 5-11 Februari 2001 berjudul Orang Cina Cenderung Eksklusif rasanya perlu dikomentari.
1. ?Orang Cina? adalah orang di RRC/Taiwan, sedangkan WNI etnis Tionghoa adalah orang Indonesia. Pada 1 November 1945 (belum 3 bulan RI berdiri), ada maklumat politik negara baru Indonesia yang bermaksud menjadikan Indo-Eropa dan Indo-Asia ?orang Indonesia sejati?. Adapun mayoritas Indo-Asia ialah etnis Tionghoa. Menjadikan mereka bukan lagi orang Cina tapi orang Indonesia tampaknya terlupakan, baik oleh rakyat banyak, pemerintah, maupun elite politik (termasuk BKMC?), dengan segala akibatnya.
2. Pak Sukisman mengatakan di halaman 42, ?Pada era 1960-an, paling tidak ada 5 juta penduduk keturunan Cina di Indonesia. Sebagian besar tidak memahami bahasa Indonesia.? Pada era itu, jumlah penduduk Indonesia sekitar seratus juta, menurut Badan Pusat Statistik. Jadi, Pak Sukisman memperkirakan 5 persennya adalah etnis Tionghoa. Ini berbeda mencolok sekali dengan pakar seperti Leo Suryadinata, Mary Somers Heidhues, dan Charles A. Coppel, yang menyebut 2,5 hingga 3 persen saja. Memakai angka yang kurang tepat (dua kali lipat) tentunya bisa berdampak yang keliru sekali pada pembuatan analisis dan kebijakan dalam mengatasi ?masalah Cina?, termasuk oleh BKMC, tempat Pak Sukisman menjadi salah satu tokoh utamanya.
3. Rasanya kurang akurat pula bahwa ?sebagian besar tidak memahami bahasa Indonesia.? Seperti saya kemukakan di TEMPO Edisi 5-11 Februari 2001, mayoritas yang bersangkutan bahasa ibunya ialah bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat (bukan Hakka, Hokkian, apalagi Mandarin) sejak 1940-an. Dan mereka nyaris 100 persen buta aksara Tionghoa. Jadi, asumsi Pak Sukisman rasanya bertolak belakang dengan fakta di lapangan.
H. JUNUS JAHJA
Direktur Lembaga Pengkajian Masalah Pambauran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini