Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGIAN fraksi di DPR menyiratkan menolak jawaban Presiden Abdurrahman Wahid atas memorandum I DPR dan akan menggulirkan memorandum II. Di pihak lain, terinformasi, kalangan nahdliyin yang pejah gesang mendukung Presiden akan mengeluarkan resolusi jihad untuk pihak-pihak yang ingin menggulingkan Gus Dur. Isyarat ini bukankah menengarai bakal terjadinya pertikaian berdarah sebagai kelanjutan dari pertikaian politik? Padahal, untuk mengakhiri konflik antar-elite selama ini, Presiden telah menawarkan kompromi politik.
Kompromi politik yang menjadi wacana publik dalam beberapa hari terakhir ini sejatinya patut dirujuk para aktor politik, terutama yang berada di legislatif dan di partai politik. Terlepas dari tawaran yang sudah mengemuka--baik berupa pemisahan kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan, kabinet pelangi, maupun komproni melalui jalur sidang istimewa--sesungguhnya ada hal substansial dalam kompromi itu sendiri. Prinsip kompromi adalah memberikan konsesi tertentu kepada pihak lain dengan mengorbankan kepentingan mutlak pihak masing-masing. Jadi, semua pihak diuntungkan secara proporsional. Dengan kata lain, prinsip kompromi adalah win-win solution. Dalam konteks pertikaian antara Presiden dan legislatif, kompromi politik tidak mutlak harus diartikan menjadi pembagian kekuasaan. Power sharing hanyalah merupakan salah satu bentuk kompromi.
Jadi, sungguh mengherankan apabila ada pihak-pihak yang secara apriori menolak gagasan kompromi. Bukankah dalam dunia politik kompromi merupakan hal yang jamak? Apalagi politik di negeri ini memang didasarkan pada filosofi musyawarah-mufakat, yang merupakan pengejawantahan dari bentuk kompromi itu sendiri. Karena itu, tidak berlebihan jika kekuatan-kekuatan politik yang menolak cara-cara kompromi bisa disebut sebagai provokator bagi terciptanya situasi yang chaotic. Betapa tidak, kompromi politik sejatinya menjadi langkah elegan bagi penyelamatan bangsa.
Tanpa menempuh kompromi, sulit dibayangkan bagaimana bangsa ini menghindarkan "pertumpahan darah". Kalau DPR lebih memilih jalur SI MPR sebagai cara menjatuhkan Gus Dur, sulit diperoleh jaminan tidak akan terjadi amuk massa. Meski SI MPR sendiri dijamin konstitusi, langkah itu tidak menjamin terciptanya keamanan nasional. Bila para aktor politik tidak bebal nuraninya, tentu langkah kompromi akan menjadi prioritas pilihan.
DONALD PANJAITAN
Pamulang, Tangerang, Banten
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo