Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA tidak kaget membaca tulisan Investigasi TEMPO Edisi 2-8 April 2001 mengenai praktek tak bermoral mata rantai penjualan obat ethical. Saya yakin sebagian esensi penulisan itu berdasarkan sumber dan fakta yang dapat dipercaya. Atau sebagian tulisan itu juga mengandung kebenaran. Karena itu, sejak sekarang, masyarakat wajib hati-hati dan kritis jika jatuh sakit dan menghadapi dokter yang meresepkan obat tertentu.
Selain itu, sebaiknya masyarakat menanyakan kepada dokter yang meresepkan obat ke apotek, misalnya, jenis obat apa saja yang diresepkan. Juga tanyalah berapa kira-kira harga semua obat yang diresepkan. Jika harganya tidak sesuai dengan kantong kita, adakah obat pengganti yang lebih miring harganya tapi manjur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan pengalaman, saya menyimpulkan, ada penyakit yang bisa disembuhkan dengan obat buatan pabrik farmasi, tapi ada pula yang dapat diatasi dengan ramuan, jamuan, pengobatan alternatif--apa pun namanya. Buktinya, orang yang berobat ke dokter dan rumah sakit tetap banyak. Sebaliknya, orang yang berobat dengan ramuan tradisional, jamu, tusuk jarum, dan pijat refleksi, dengan tabib, sinse, dan paranormal, juga tak sedikit.
Yang jelas, pengobatan yang dipilih atau dipercaya masyarakat, tentu, mempunyai berbagai pertimbangan logis, misalnya soal biaya dan perkembangan status kesehatan pasien. Hemat saya, sistem atau pola pelayanan pengobatan--termasuk iklan obat di semua media massa--mesti ditinjau. Pemerintah via instansi terkait (Departemen Kesehatan, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, serta Departemen Pendidikan Nasional) perlu duduk bersama mencerdaskan masyarakat dalam soal pengobatan.
Di tingkat pabrik obat-obatan (farmasi ataupun industri jamu), pemerintah juga dituntut bertindak adil. Di mata saya, industri farmasi banyak menghamburkan devisa dengan kandungan bahan baku impor yang tinggi. Baru akhir-akhir ini mereka ikut-ikutan membuat obat dengan bahan baku lokal (bawang, daun katuk, dan kunyit, misalnya)--seperti dikerjakan puluhan tahun lalu oleh industri jamu Sido Muncul, Air Mancur, Nyonya Meneer, dan Jamu Jago.
Keuntungan perusahaan farmasi berdasarkan investigasi TEMPO rupanya dibagi secara kolusi, dari pabrik, rumah sakit, apotek, hingga dokter. Tapi keuntungan industri jamu seperti Sido Muncul, misalnya, dibagi dengan memudikkan ratusan ribu penjual jamu gendong dan warung penyeduh setiap Idul Fitri.
Masih di tingkat industri, saya juga belum pernah membaca pabrik obat farmasi mendapat penghargaan peduli terhadap lingkungan perihal keanekaragaman hayati Indonesia, umpamanya. Jadi, TEMPO perlu menginvestigasi industri jamu Indonesia. Tulisan jenis investigasi, hemat saya, tak cuma membongkar kebobrokan beberapa pihak. Sisi-sisi keberhasilan pun penting ditulis, agar orang mengetahui dan mencontohnya.
ZAENAL WAFA
Blok C-7/28
Kompleks Perumahan Bojonggede
Desa Tajurhalang, Bojonggede, Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo