Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Melempar Jumrah dari 'Conveyor'

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pelaksanaan ibadah haji tahun 1421 H, untuk kesekian kalinya, sebagian jemaah ditimpa musibah, di Mina, saat mereka berusaha melempar jumrah. Kali ini, 35 jiwa meninggal karena terinjak-injak oleh jemaah lainnya. Sedangkan pada 1990, ratusan jemaah dari berbagai negara meninggal dengan modus yang sama di terowongan haratul lisan, lalu disusul dengan musibah-musibah lain di Mina juga.

Pada setiap musim haji, kita sudah berupaya, berharap, dan berdoa agar mereka dapat melaksanakan ibadah dengan lancar dan selamat sampai kembali ke tanah airnya. Namun, perasaan khawatir akan terjadinya musibah senantiasa timbul dalam benak saya setelah mengetahui dan memahami bagaimana ibadah ini diselenggarakan--ketika saya naik haji tahun 1989.

Apa yang terjadi setelah tahun ini tidak jauh dari yang saya perkirakan, semata-mata didasarkan pada hukum sebab-akibat. Saya melihat penyelenggaraan ibadah haji sangat tidak tertib: jemaah yang jumlahnya jutaan (dan akan terus bertambah jika tidak dibatasi) dibiarkan berebutan, bahkan dari arah yang berlawanan (Mina), dalam waktu yang dibatasi, termasuk penentuan jam pelemparan yang dinyatakan sebagai jam pelemparan utama. Sementara itu, di sekitar jumrah, banyak jemaah yang beristirahat dan penjual makanan yang sangat mengurangi ruang gerak pelempar. Pada 30 Mei 1994, saya menulis surat ke Bapak H. Tarmizi Tahir, Menteri Agama waktu itu, dengan tembusan kepada Majelis Ulama Indonesia, PB Nahdlatul Ulama, PP Muhammadiyah, dan Prof. H. Habibie. Intinya, antara lain, perlu bantuan pemikiran kepada pemerintah Arab Saudi bagaimana mengatur cara pelemparan jumrah secara lebih tertib dan aman.

Saya membayangkan ada semacam ban berjalan (conveyor). Rombongan jemaah tinggal berdiri di atasnya dan melemparkan batu pada jarak yang tepat. Atau, jika cara itu rumit, tak dapatkah ulama kita menyarankan agar jumlah jumrah diperbanyak dan medan pelemparan diperluas? Misalnya ada lokasi A, B, dan C. Jumrah itu kan hanya lambang? Kondisi sudah sangat darurat. Mina dalam pandangan saya adalah tempat yang paling kritis, kemudian menyusul Masjidil Haram di tempat sa'i dan Hajar Aswad. Untungnya di kedua tempat terakhir ini jemaah bergerak ke satu arah. Tapi, pada satuan waktu yang padat, jemaah berada di lokasi yang sempit, situasinya bisa menjadi sangat kritis, apalagi bila jemaah berebutan.

Nah, budaya berebutan inilah yang perlu diatur. Dengan cara berhaji yang lebih tertib dan teratur, insya Allah, ibadah akan lebih khusyuk, tenang, dan lancar, dan musibah dapat dikurangi.

M. CHATIM BAIDAEI
Kompleks BPKP 30
Jalan Rawasari Selatan, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus