BEBERAPA hari lalu, harian Kompas memuat iklan laporan keuangan PT Jamsostek (Persero) tahun 1998 dan 1999. Laporan keuangan itu memuat laba setelah pajak sebesar Rp 355,609 miliar, yang bila dibandingkan dengan total aktiva adalah kecil sekali, hanya 3,3 persen.
Tetapi, anehnya, dicantumkan bahwa perusahaan dinilai sehat sekali. Lalu apa dan bagaimana dengan profesionalisme direksi dan auditor? Kenyataan bahwa laporan keuangan tersebut hanya administratif, dana-dana macet dan rugi belum dihitung. Misalnya kasus promes, deposito di bank likuidasi, serta kasus Menara Jamsostek (telah tiga tahun kosong, harus dihitung berapa kehilangan sewa atau bunga, sedangkan biaya pemeliharaan keluar terus). Cadangan inflasi belum dihitung, juga cadangan catastrophe (cadangan/talangan dana akibat perkiraan kondisi perekonomian/pengangguran, kecelakaan, sakit, dan lain-lain). Ditambah lagi pengeluaran biaya pengelolaan yang tinggi karena tidak efisien. Bila dihitung secara teliti, PT Jamsostek sebenarnya rugi.
Anehnya, kami dengar bahwa atas laba di atas akan dibayar jasa produksi karyawan dan tantiem direksi (14 kali gaji). Sedangkan laba tersebut bukan prestasi direksi, karena, pertama, dana yang diputar adalah dana dari iuran pengusaha dan pekerja berjumlah lebih kurang 9,7 triliun (jaminan hari tua + cadangan taktis), sedangkan modal pemerintah hanya Rp 62,5 miliar. Kedua, pendapatan investasi tinggi adalah karena pada 1998 dan 1999 bunga sangat tinggi, yaitu 70 sampai 24 persen. Jadi, karena situasi ekonomi, bukan prestasi direksi. Sesungguhnya laba tersebut lebih tepat dikembalikan kepada peserta/penabung Jamsostek.
Atas dasar itu, kami mengusulkan kepada pemerintah dan lembaga pengawas untuk meninjau pembagian laba yang tidak wajar.
KHAIRUL HASAN
Peserta Jamsostek No. 86EJ0100126
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini