Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Darurat Sipil Maluku, Lalu Apa?

Konflik di Maluku telah begitu jauh melibatkan militer dan polisi. Mampukah "darurat sipil" menghentikannya?

2 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA akhirnya mencoba menggunakan senjata pamungkas untuk mengatasi konflik berdarah di Maluku. Setelah hampir dua tahun konflik antar-agama di provinsi itu tak juga kunjung reda, pemerintah akhirnya menetapkan Maluku sebagai kawasan darurat sipil. Didampingi sejumlah menteri dan Kepala Kepolisian RI Jenderal Rusdihardjo, pekan lalu, Presiden Abdurrahman Wahid mengumumkan dikeluarkannya Keputusan Nomor 88/2000, yang menjadikan kawasan Maluku sepenuhnya berada dalam kendali Jakarta. Diharapkan, dengan diterapkannya darurat sipil ini, darah tidak lagi tumpah di kawasan itu. Keputusan ini seperti menjawab tanda tanya banyak orang tentang langkah pemerintah dalam menyelesaikan konflik agama di Maluku. Pertanyaan itu diajukan tidak saja oleh politisi dalam negeri, tapi juga dari mancanegara. Dua pekan lalu, komentar muncul dari juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, Philip Reeker, menyusul tewasnya 100 orang lebih dalam satu bentrokan terakhir. "Kami sangat terganggu dengan fakta bahwa keamanan terbukti tidak mau dan tidak mampu mengatasi serangan terhadap kelompok masyarakat di Maluku," kata Reeker. Dilihat dari materinya, darurat sipil yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 23/Prp/1959 ini memang memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah pusat dan daerah untuk memberangus setiap gejala gerakan massa yang bisa mengarah pada kekerasan dan konflik. Penguasa tertinggi Maluku, misalnya, langsung dipegang oleh presiden. Dalam menjalankan kekuasaannya, presiden dibantu oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Menteri Negara Otonomi Daerah, Jaksa Agung, dan Panglima TNI serta kepala staf tiga angkatan dan Kepala Kepolisian RI. Sedangkan gubernur menjadi pelaksana lapangan di daerah. Pemerintah dan militer pun bisa melakukan razia serta perampasan yang selama ini tidak bisa dilakukan. Selebaran, cetakan, dan senjata yang diduga dapat digunakan untuk kekerasan bisa dirampas. Rapat-rapat umum bisa dibatasi. Penyadapan terhadap komunikasi elektronik halal dilakukan. Bahkan, penyebaran serta perdagangan lukisan, tulisan, klise, dan gambar pun bisa dilarang. Dengan status darurat sipil, surat kabar yang dinilai berpihak pada salah satu kelompok atau koran yang dianggap memanas-manasi keadaan bisa dibredel tanpa pemerintah bisa digugat. Pemerintah, menurut Menteri Dalam Negeri Surjadi Soedirdja, bahkan sedang mempertimbangkan membatasi masuknya surat kabar dari luar Maluku. Tapi, di lapangan, hampir sepekan setelah status darurat sipil diberlakukan, kerusuhan tidak sepenuhnya hilang. Di beberapa wilayah, bentrok terbuka memang mereda. Tapi di kawasan lain, misalnya Batugantung dan Kampungkolam, Kota Madya Ambon, tiga hari setelah darurat sipil diberlakukan, dentuman granat dan bom rakitan masih terdengar sahut-menyahut. Masyarakat juga masih tetap berjaga-jaga terhadap serangan pihak lawan. Maklumat yang dikeluarkan Gubernur Maluku Saleh Latuconsina agar masyarakat menyerahkan senjata masih dipandang dengan sebelah mata. Di jalan-jalan, memang makin sedikit terlihat orang menenteng kelewang atau senapan. Namun, seperti diakui oleh Gubernur sendiri, senjata itu tidak diserahkan kepada aparat, tapi disimpan. Meski terlalu dini menilai efektivitas pelaksanaan darurat sipil dalam satu minggu, sepintas keadaan di Maluku memang agak membaik. Apalagi jika orang melihat serial kerusuhan di kawasan ini dalam lebih dari satu tahun terakhir. Pada awal 1999 lalu, hanya karena pertengkaran sopir angkutan kota (angkot), Kota Ambon bisa membara. Sekitar 4.000 rumah rata dengan tanah dan ribuan orang meregang nyawa. Kerusuhan itu kemudian melebar ke Maluku Utara. Di Tobelo dan Galela, kampung-kampung muslim dimusnahkan dan 800 orang menjadi mayat. Dalam serial terakhir, Senin dua pekan lalu, di Desa Duma, Halmahera Utara, 180 orang termasuk aparat tewas, 1.500 orang mengungsi, sebuah gereja terbakar, dan sekitar 300 rumah penduduk menjadi arang karena dibakar massa. Kawasan yang dianggap sebagai markas "Pasukan Merah" atau Kristen itu menjadi sasaran balas dendam pasukan muslim yang mendapat serangan serupa Desember tahun silam. Sejauh ini, pelaksanaan darurat sipil juga dilakukan dengan menambah pasukan militer. Selain mengefektifkan 19 batalyon TNI yang sudah lama ada di provinsi itu, kepolisian pekan lalu menambah dua kompi Brigade Mobil lagi. TNI memang mensyukuri penerapan status darurat sipil ini. Bukan apa-apa. Menurut Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto, selama ini tentara serba salah dalam menangani konflik Maluku. Jika tak menindak, tentara disalahkan, tapi jika mengambil tindakan keras, TNI dituduh melanggar hak asasi. "Pemberlakuan darurat sipil memberikan payung agar TNI dapat bertindak tegas tanpa keraguan," katanya. Menurut seorang perwira tinggi intelijen, TNI bahkan sebenarnya sudah meminta diberlakukannya darurat sipil di Maluku sejak setahun lalu, ketika rusuh masih berumur bulanan. Tapi pemerintahan B.J. Habibie kala itu urung mengesahkan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB)—yang bisa menjadi landasan status "darurat sipil"—karena protes luas masyarakat di Jakarta. Status baru darurat sipil itu mungkin akan membantu. Namun, pengamat masalah Maluku dan sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tamagola, menolak dalih bahwa berlarut-larutnya konflik Maluku karena militer terbatas ruang geraknya. Menurut Thamrin, justru TNI-lah yang menjadi pemanas tungku konflik. Keterlibatan TNI dalam konflik Islam-Kristen memang sudah telanjang. "Pasukan Brigade Mobil (Brimob) di sana berpihak pada Kristen dan pasukan Komando Cadangan Stategis Angkatan Darat (Kostrad) berpihak pada Islam," kata Thamrin. Gempuran pasukan muslim terhadap instalasi militer Brimob di Tantui, 21 Juni lalu, diduga memperoleh dukungan Kostrad. Hal yang sama terjadi dalam aksi penyerangan kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku. Menurut bekas Panglima Komando Daerah Militer Pattimura, Brigadir Jenderal Max Tamaela, keterlibatan aparat itu disebabkan oleh sudah meleburnya anggota TNI dengan masyarakat di tempat mereka tinggal. "Ada hubungan emosional," kata Max Tamaela. Karena kontaminasi itulah Markas Besar TNI, menurut seorang perwira tinggi di Cilangkap, akan mengganti pasukan 303 Kostrad dari Cikujang dengan kesatuan 509 Kostrad dari Jember. Tapi keterlibatan aparat itu dibantah KSAD Tyasno Sudarto. Penggantian pasukan itu, menurut Thamrin, memang bisa menjadi salah satu solusi lancar dan efektifnya pelaksanaan darurat sipil. Tapi, bagi Thamrin, penggantian itu harus dilakukan secara total. Semua pasukan yang ada di lapangan, baik dari kesatuan Marinir, Brimob, dan Kostrad maupun pasukan organik dari Kodam Pattimura, harus ditarik. Yang harus dipertahankan hanyalah polisi reguler milik kepolisian Maluku. Tapi usul Thamrin ini bukan tidak mengandung risiko. Jika maklumat agar setiap penduduk menyerahkan senjata miliknya kepada pemerintah tidak jalan, bukan tidak mungkin polisi yang akan menjadi korban. Masalahnya, senjata yang dimiliki dua kelompok yang bertikai bukan cuma berbentuk kelewang, golok, atau panah seperti dalam kerusuhan Maluku periode awal. Saat ini, menurut Joosi Polnaya, Ketua Forum Pembela Rakyat Maluku, kedua kubu sudah pula memiliki senjata berat seperti senapan AK, M-16, granat, atau mortir. Kemampuan berperang dan menggunakan senjata kedua kelompok itu semakin lihai. "Kondisi itu melemahkan moral aparat," kata Joosi. Pemilikan senjata memang menjadi kendala. Bobolnya markas Brimob belum lama ini disebut-sebut sebagai salah satu sumber pemilikan senjata itu. Sebelumnya, senjata api juga diperoleh dari transaksi gelap antara penduduk dan anggota militer yang nakal. Seorang perwira tinggi TNI menyebutkan, setidaknya 7.000 pucuk senapan SS-1 dan 4.000 amunisi kini beredar di masyarakat. Di lapangan, aparat juga tidak berkuasa penuh. Menurut Musriyadi Nabiu, pemuda Tobelo yang kini menjadi peneliti di Social Monitoring and Early Response Unit (SMERU), banyak kawasan di desanya yang tidak dikuasai militer. "Lalu-lintas antara Morotai, Galela, dan Ternate kini dikuasai pasukan Islam. Aparat tidak berdaya," katanya. Selain itu, "cacat" lain darurat sipil ada pada masalah kepemimpinan. Dengan dipegangnya kekuasaan lapangan oleh gubernur, kontrol dan perintah di daerah berada di tangan penguasa daerah itu. Persoalannya, menurut Thamrin Amal, sudah lama wibawa gubernur dan pejabat pemerintah lainnya remuk-redam. Sejak pertempuran pecah dua tahun lalu, kekuasaan lapangan berada di tangan kepala suku dan kapitan-kapitan perang, bukan di tangan pejabat birokrasi. Tidak digubrisnya maklumat pengumpulan senjata oleh gubernur setidaknya bisa menjadi ukuran bagaimana elemen kepemimpinan itu tidak kukuh. Dengan kondisi itu, tidak aneh kalau banyak pihak tidak terlalu berharap pemberian status darurat sipil di Maluku bisa menyelesaikan masalah. John Ruhulesin, pendeta Gereja Protestan Maluku, bahkan menduga ini malah akan memberikan peluang bagi aparat untuk bersikap represif. Tapi alternatif memang tak banyak. Jika dengan senjata pamungkas darurat sipil itu pemerintah tetap tak bisa menghentikan konflik, makin jelas bahwa Jakarta tidak bisa menjadi penengah yang berwibawa. Dan jika itu terjadi, demi kemanusiaan yang lebih luas, mungkin pasukan perdamaian internasional perlu didatangkan. Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Tomi Lebang (Jakarta), Friets Kerlely, Yusnita Tiakoly (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus