BEBERAPA kali kami tampil dengan lebih dari satu laporan panjang. Apakah itu Laporan Utama atau Laporan Khusus, seperti dalam TEMPO nomor ini. Kami menyajikan Laporan Utama "soal ambisi menjadi presiden" yang pertama kali dilontarkan Menteri Dalam Negeri Rudini. Kebetulan pernyataan Rudini itu menggelinding dan mendapat tanggapan luas, termasuk Fraksi ABRI di DPR. Kami mencoba merekam tanggapan berbagai pihak termasuk para pejabat tinggi. Yang ingin kami sajikan adalah, mengapa isu yang berkaitan dengan jabatan presiden itu selalu menarik diperbincangkan. Namun, sebagai majalah berita yang memburu kehangatan, kami pun tak melewatkan ramainya orang membicarakan soal penayangan koruptor di layar TVRI. Yang ini pertama kali dilontarkan oleh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Reaksi pro-kontra tak kalah ramai tersebar di masyarakat, seperti juga yang kami tulis dalam Laporan Khusus kali ini. Untuk kedua masalah itu, kami berusaha keras bisa mewawancarai pejabat yang menjadi sumber pertama. Sejumlah wartawan kami tugasi memburu Rudini, baik di Mataram -- ketika Menteri mengadakan kunjungan kerja ke sana akhir pekan lalu -- maupun di Jakarta. Sementara itu, Sukarton, yang bertekad menggebuk koruptor dan penyelundup dengan "mempermalukan" di TVRI, juga kami uber. Kami ingin mendapatkan jawaban, apa sih target Jaksa Agung mempertontonkan koruptor kepada khalayak lewat TVRI. Jawaban Sukarton memang ada. Sabtu petang, ia menerima wartawan kami, Karni Ilyas, Amran Nasution, Happy Sulistyadi, G. Sugrahetty Dyan, dan fotografer Ronald Agusta di ruang kerjanya. Menurut Sukarton, menumbuhkan "budaya malu" dengan menampilkan pelaku tindak kriminal secara jelas dan terbuka itu juga ada di negara maju, tempat hak asasi memang benar-benar dihormati. Sementara itu, di Indonesia, di kalangan pers sendiri, masih ada perbedaan penafsiran soal bagaimana seharusnya menulis nama pelaku kejahatan. Apakah dalam status buron, tersangka, dalam proses peradilan, atau telah dihukum. Dengan "terobosan" yang dibuat Jaksa Agung ini, nampaknya media massa -- cetak dan elektronik -- ditantang untuk berpikir dan merumuskan bagaimana seharusnya memberitakan kasus-kasus kriminalitas secara obyektif. Penayangan dan pengungkapan identitas pelaku kejahatan -- buron, tersangka, atau terpidana -- di TVRI hendaknya jangan hanya dilihat dari kepentingan hukum si pelaku kejahatan. Tentunya perlu dipikirkan pula kepentingan masyarakat keseluruhan dan negara. Yang tak kalah penting, ya, bagi pers sendiri dalam pemberitaan. Kebijaksanaan menulis dengan nama lengkap dan foto pelaku kejahatan -- kecuali korban tindak asusila dan anak di bawah umur -- memang telah kami lakukan. Namun, kami tetap mendasarkannya pada asas praduga tak bersalah dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik. Kami berusaha menjadi pelapor yang obyektif mengenai pelaku kejahatan, dengan menampilkan berita yang berimbang. Tanpa harus ikut menjadi hakim dan jaksa bagi terdakwa, atau pembela bagi kliennya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini