Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ambisi Jadi Presiden Mengapa Ambisi Menjadi Soal

Bermula kasus ITB. Mendagri rudini dituduh berambisi menjadi presiden. Wawancara Tempo dengan Rudini. Suksesi kepresidenan harus konstitusional. Sudomo mengusulkan adanya konsensus nasional.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AMBISI menjadi presiden agaknya menjadi soal. Paling tidak, itulah yang tercermin dari pernyataan Menteri Dalam Negeri Rudini pekan yan lalu. Jenderal Purnawirawan yang dikenal suka bicara terbuka, dan tak jarang bersuara lantang, nampaknya merasa perlu untuk meredam isu besar yang berputar di sekitar dirinya. "Demi Allah, saya tak punya ambisi sama sekali untuk menjadi presiden," katanya di Wisma Haji Pondok Gede, Selasa pekan lalu. Ucapan ini diungkapkan sebagai bagian dari jawaban Rudini atas pertanyaan seorang peserta Musyawarah Nasional AMPI tentang peristiwa 5 Agustus lalu di Bandung. Ini adalah peristiwa unjuk rasa sejumlah mahasiswa ITB yang memprotes kehadiran Rudini di kampus mereka, karena dianggap akan melakukan kampanye politik. Aksi penggelaran poster anti-Rudini dan juga pembakaran ban bekas itu akhirnya berbuntut pemecatan beberapa mahasiswa ITB, yang pekan-pekan ini sedang mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, yang selalu ramai dihadiri pengunjung. Bahwa Rudini dituding sedang melakukan kampanye politik, tampaknya hal itu dikarenakan karena tokoh ini memang kerap menjadi kepala berita media massa karena ucapannya yang "keras", terutama berupa kritik terhadap aparat pemerintah yang dibawahkannya. Ucapan yang sering dianggap masyarakat sebagai "angin segar" itu jelas segera mencuatkan nama Rudini dalam pembicaraan sehari-hari masyarakat. Misalnya kecamannya terhadap para pemilik rumah mewah ala White House, yang menurut Rudini sebenarnya merupakan bagian dari tugasnya selaku Menteri Dalam Negeri dan pembina politik dalam negeri. Kali ini, bantahan Rudini tentang berambisi menjadi presiden, yang segera menjadi kepala berita, memperoleh sambutan. "Manusia yang tidak memiliki ambisi akan hidup tanpa gairah dan cita-cita," kata Wakil Ketua DPR/MPR H.J. Naro, yang kutipannya disebarluaskan oleh kantor berita Antara. "Orang-orang seperti itu akan menjadi loyo," tambah politikus yang pernah berambisi menjadi wakil presiden Indonesia itu. Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Sudomo punya komentar senada. Laksamana purnawirawan ini menilai bahwa orang yang tak memiliki ambisi adalah orang yang tidak memiliki harapan dan cita-cita. "Orang macam begini malahan sukar diajak maju, bahkan sering menjadi beban pembangunan," katanya. Alhasil, ia menganggap ambisi itu baik. Sebab, "tak ada undang-undang yang melarang seseorang untuk memiliki ambisi, termasuk untuk menjadi presiden," katanya. Juru Bicara Fraksi ABRI di DPR, Soendoro Syamsuri, mengamini pendapat Sudomo. "Setiap orang boleh mempunyai ambisi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia," katanya. Hanya saja, untuk menjadi Presiden RI, ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi. Antara lain adalah tidak terlibat G30S-PKI, sehat, orang Indonesia asli, dan dipilih MPR dengan suara terbanyak. Rudini sendiri kemudian menyatakan kepada pers bahwa ia memang tidak berambisi menjadi presiden, tetapi memiliki ambisi lain, yaitu menjadi pembantu presiden alias menteri yang baik. Komentar-komentar ini, yang menghiasi berbagai media nasional, rupanya membuat Ketua DPR/MPR Kharis Suhud kesal. "Kalau ada orang membicarakan masalah-masalah jadi presiden, saya anggap itu banyolan," katanya kepada Yopie Hidayat dari TEMPO. Oleh karena itu, ia menyarankan agar masyarakat tidak menanggapinya dengan serius. "Banyolan, kok, ditanggapi dengan serius, ya salah itu," kata Kharis Suhud. Ia menganggap, pembicaraan tentang siapa yang akan menjadi presiden belum saatnya dibicarakan sekarang. Jika ada yang meributkan, bahkan bersiap-siap, Kharis Suhud merasa tak perlu mengomentarinya. "Bahwa dia sudah ancang-ancang, ya, terserahlah. Itu ancang-ancang untuk apa, untuk masuk jurang, kek..., boleh saja," katanya sambil tertawa masam. Kendati demikian, bukan berarti tak ada yang sudah mencalonkan diri menjadi presiden RI secara terbuka. Februari tahun lalu, majelis yang dipimpin Kharis Suhud menampung pencalonan seseorang yang menamakan dirinya Pangeran Diponegoro VI untuk menjadi presiden. Hanya saja, tokoh tak dikenal ini tak mendapat dukungan. Terbukti, Presiden Soeharto, yang kemudian terpilih secara aklamasi 11 Maret tahun lalu. Pangeran Diponegoro VI mungkin agak diragukan kesehatan jiwanya. Namun, bukan berarti semua orang yang datang mencalonkan diri menjadi presiden ke MPR dapat dikategorikan serupa. Paling tidak, ketua umum DPP-PPP pernah menerima permohonan pencalonan menjadi presiden dari seorang sarjana yang baru lulus, ketika ia masih menjabat Wakil Ketua Fraksi PPP, pada 1978. "Kami mempersilakannya untuk membacakan surat permohonannya, namun tak menanggapi," kata Ismail Hasan kepada Yudhi Soerjoatmodjo dari TEMPO. Mengapa? "Karena kami tidak menganggapnya serius, baru lulus sarjana, belum punya pengalaman politik, tapi ingin jadi presiden," katanya. Jabatan Presiden RI memang bukan pekerjaan enteng. "Jadi presiden itu bukan seperti membeli sate datang ke satay house," kata Rudini. Maklum, hanya ada satu presiden yang terpilih untuk memimpin republik berpenduduk 180 juta jiwa ini, selama satu masa jabatan. Karena itu kualitasnya harus betul-betul terjamin. Apalagi para bapak bangsa kita memang beranggapan, tokoh yang dipilih menjadi presiden haruslah benar-benar memenuhi syarat. Sebab, "... bukan bentuknya yang penting dalam negara Indonesia tapi jiwa daripada bentuk itu, yaitu pemimpinnya, kepala negaranya itu...," kata Sukardjo Wiryopranoto dalam rapat penyusunan UUD 1945, 44 tahun yang lalu. Beratnya beban yang dipikul oleh seorang presiden ini tampaknya sangat disadari Pak Harto semenjak lahirnya Orde Baru. Paling tidak, hal ini terungkap dalam buku otobiografinya, Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. "Pada waktu itu beberapa orang pemimpin partai politik datang ke rumah saya membicarakan situasi. Lalu mereka mendesak saya supaya saya mau maju, memimpin negara, menggantikan Presiden Soekarno. Begitu juga beberapa kolega jenderal-jenderal, mengajukan hal yang sama," tulis Pak Harto dalam otobiografinya. Mulanya Soeharto menolak. "Saya berterus terang kepada mereka, saya tidak mempunyai keinginan untuk menjadi presiden." Sebab, "Saya pun mengukur diri saya. Saya mengenal baik diri saya. Menurut saya waktu itu saya tidak mempunyai kemampuan untuk menduduki kursi yang begitu tinggi." Ketika akhirnya menerima, Pak Harto minta agar menjabat dahulu selama setahun sebagai percobaan. Sejarah kemudian mencatat Presiden Soeharto terpilih menjadi orang nomor satu di republik ini hingga sekarang, alias lima masa jabatan. Jabatan yang kelima itu akan berakhir tahun 1993 nanti. Dan sekarang orang sudah mulai ramai membicarakan siapa pemimpin Indonesia berikutnya yang akan terpilih. Perhatian besar ini terutama karena tiga alasan. Yang pertama adalah karena, selama 44 tahun merdeka, Indonesia baru mengenal dua tokoh yang menjadi presiden. Alasan kedua adalah karena peralihan antara kedua presiden itu bukan berlangsung dalam keadaan normal. Sedangkan yang terakhir adalah karena untuk pertama kalinya Presiden Soeharto menyatakan secara tertulis kemungkinan masa jabatan sekarang sebagai jabatan yang terakhir. Pernyataan itu termuat pada halaman 555 buku otobiografi Presiden Soeharto. "Bahwasanya di antara anak-anak saya ada yang menyatakan pelantikan kali ini (1988) merupakan pelantikan terakhir sebagai presiden buat saya, itu bisa dimaklumi. Dilihat dari segi rasio manusia, memang pada usia saya yang sudah akan mencapai 67 ini, pantas saja pelantikan ini yang terakhir buat saya. Kalau sampai selesai saya merampungkan tugas sebagai presiden masa bakti 1988-1993, berarti nanti pada usia mendekati 72 tahun, saya berhenti sebagai presiden. Mengingat bahwa rata-rata umur orang Indonesia 56 -- kalau tak salah -- maka umur 72 itu terhitung lebih dari rata-rata, terhitung cukup tua. Jadi, rasanya tak berlebihan kalau dikatakan pelantikan pada tanggal 11 Maret 1988 itu merupakan pelantikan sebagai presiden/mandataris MPR yang terakhir buat saya." Mungkin itu sebabnya, pembicaraan tentang suksesi lantas selalu mendapat perhatian masyarakat kita. Bahkan seandainya peringkat isu politik dibuat seperti susunan anak tangga lagu-lagu populer, isu suksesi tentulah menduduki peringkat pertama untuk tahun 1989. Bahkan, bukan tak mungkin, akan tetap mempertahankan kedudukannya hingga 1993 nanti. Yang menjadi persoalan utama adalah siapa saja calon presiden mendatang itu. Dan karena Presiden Soeharto sendiri secara tegas menyatakan tak menyiapkan putra mahkota calon penggantinya, maka semakin sulit untuk mencoba menerkanya. Bahkan Menteri Pertahanan dan Keamanan L.B. Moerdani sempat memisalkannya "Kita semua seperti memasuki kamar yang gelap...." Dan sikap budaya Indonesia, menurut Ismail Hasan Metareum, tidaklah membantu menyinari kamar gelap itu. "Bagi kita orang Timur tidak umum untuk menyatakan saya ingin jadi presiden," katanya. Begitu pula kenyataan bahwa hampir 90% penduduk Indonesia beragama Islam. "Dalam agama Islam, bila ada orang minta jabatan, Nabi akan bilang tidak," kata orang nomor satu partai bintang ini. Para pemimpin nasional bukannya tak menyadari kehadiran dilema ini. Terbukti, Jenderal Purnawirawan Soemitro mempersoalkan dan menggelindingkan isu masalah keterbukaan dan suksesi ini di harian Kompas, Februari lalu. Bahkan Menko Polkam Sudomo menyatakan perlunya konsensus nasional untuk mengatasi masalah ini, dua bulan kemudian. Maksudnya, untuk mencapai kesepakatan jika muncul lebih dari satu calon presiden. "Kalau nanti muncul lima calon presiden, itu bisa saja terjadi," katanya. Tapi usul Sudomo ini ditolak Presiden Soeharto, yang berpendapat bahwa masalah pencalonan presiden adalah wewenang MPR. Dan anggota MPR pun tak menyetujui ide konsensus nasional ini. "Ini kan sudah diatur dalam konstitusi, ya kita kembalikan ke situ," kata Suhadi Hardjo Sutarno. "Mengapa harus membuat mekanisme baru yang belum tentu lebih baik dari yang sudah ada," tutur Wakil Ketua Komisi I (politik dan keamanan) F-KP itu. Pendapat ini didukung oleh Sekjen DPP Golkar Rachmat Witoelar. "Pada prinsipnya, semua proses pengambilan keputusan yang menyangkut kenegaraan harus dilakukan secara transparan," kata mantan ketua dewan mahasiswa ITB ini. "Jadi, harus dilakukan dalam sidang MPR," katanya. Yang seharusnya dilakukan adalah pencarian calon oleh tiap organisasi politik. Bahkan Presiden Soeharto sudah menyatakan agar mereka mulai "mengelus-elus jagonya masing-masing". Hanya saja, tampaknya yang dielus masih berupa angin. Terbukti, organisasi politik terbesar Golkar pun hingga sekarang belum punya calon kuat. "Sampai sekarang belum ada yang lapor di Golkar," kata Ketua Umum Golkar Wahono kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Uniknya, para pakar politik Indonesia justru sudah menyebutkan sejumlah nama. Profesor Jamie Mackie, ahli politik Indonesia di Australian National University, Canberra, menyebutkan Jenderal Try Sutrisno, Rudini, Sudharmono, Moerdiono, dan Ginandjar Kartasasmita sebagai kandidat yang perlu diperhitungkan. Tapi tak perlu heran jika sampai menjelang 1993 nanti tak satu nama pun akan muncul mencalonkan diri. Soalnya, banyak yang sependapat dengan Kharis Suhud, ketika menyatakan, "orang yang berambisi nggak dapat, justru orang yang nggak mengira apa-apa malah dapat." Walhasil, bisa dimengerti jika banyak yang beranggapan menyatakan ambisi politik itu masih dianggap terlalu pagi. Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus