Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bermula Dari Selebaran

Berawal kasus ITB. Sejumlah mahasiswa menuduh Mendagri rudini berambisi menjadi Presiden. Semua tuduhan disanggah di AMPI. Wawancara Tempo dengan Rudini tentang sikap-sikapnya.

23 Desember 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILIHAN Presiden RI masih jauh, baru akan tiba pada 1993. Tapi mendadak sontak Menteri Dalam Negeri Rudini mengeluarkan sebuah pernyataan yang membuat orang jadi bertanya-tanya. "Demi Allah, saya tidak punya ambisi jadi presiden," katanya di depan peserta Munas AMPI di Pondok Gede, Jakarta, Selasa, pekan lalu. Kenapa jenderal purnawirawan yang dikenal suka bicara blak-blakan ini pagi-pagi sudah bicara soal kursi presiden? Selama hampir satu jam di kantornya, Senin awal pekan ini, Rudini bicara panjang kepada wartawan TEMPO Amran Nasution dan Tri Budianto Soekarno. Beberapa petikan penting dari wawancara itu: Apa yang mendorong Pak Rudini mengeluarkan pernyataan yang mengundang tanya tersebut? Memang, pernyataan waktu itu tertuju tentang kasus ITB. Karena, di beberapa tempat, yang ditanya selalu soal ITB, saya pikir, yang dimaksud adalah apa sih sebetulnya isi kejadian di ITB itu. Jadi, saya mengutarakan fakta yang terjadi di ITB. Apa kaitan "fakta di ITB" itu dengan pernyataan tadi? Mengapa saya terus membuat statement itu? Selebaran pertama yang diserahkan kepada saya di ITB pada 5 Agustus silam, isinya antara lain saya dianggap datang dalam rangka kampanye politik saya untuk menjadi pimpinan tertinggi negara. Mereka juga menolak kampus digunakan untuk tempat kampanye politik, di samping menolak P4. Nah, kemudian saya masih diundang mengunjungi kampus di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Tapi, setiap kali saya datang ke sana, selalu mesti didahului dengan selebaran yang nadanya juga menuduh seperti tadi. Kenapa sampai begitu? Saya nggak tahu. Saya tidak ingin menuduh orang. Tapi ada kelompok atau orang atau organisasi yang mengatakan saya ini ingin begitu. Dia berusaha, atau paling tidak memberi tahu ke masyarakat, bahwa saya ini kalau datang ke suatu tempat dalam rangka kampanye politik pribadi saya. Saya kan ingin tahu, kenapa begitu. Kenapa tidak dia yang menuduh itu saja yang muncul, sehingga bisa berdialog, supaya saya bisa menjelaskan. Mungkin saya ini orang yang kurang bisa mempertahankan kesabaran, ketika untuk kesekian kalinya, yang terakhir di AMPI, melalui forum terbuka ini, saya nyatakan saja, apa sebetulnya isi hati nurani saya. Isi hati nurani? Ya, karena untuk menghubungi yang mengedarkan isu itu kan sulit, dan tak pernah jelas siapa orangnya. Jadi, saya jelaskan saja bahwa segala tindakan saya, ucapan-ucapan saya, sejak saya jadi menteri, semuanya adalah ambisi saya untuk melaksanakan tugas saya selaku menteri dalam negeri yang diberikan oleh Presiden. Maksud saya agar tugas itu terlaksana dengan sebaik-baiknya. Di antaranya, yang harus dicapai dalam lima tahun ini, adalah menciptakan aparatur yang bersih dan berwibawa. Untuk itu, saya menegakkan disiplin, dengan berusaha mengubah para pegawai. Saya kira, apa yang saya lakukan itu sebagian besar dalam kaitan itu. Saya ke daerah itu kan untuk tatap muka, memberi petunjuk, mendidik, dan mengubah mental bawahan saya. Adakah perubahan itu terwujud? Sekarang mulai ada perubahan. Lha, karena adanya tuduhan itu maka saya bilang, demi Allah saya sama sekali tidak punya ambisi untuk jadi presiden. Saya ceploskan itu karena adanya tuduhan begitu. Apa sebab sampai timbul "tuduhan" demikian? Saya tidak tahu. Makanya saya jelaskan. Kalau saya sering ke daerah untuk berbagai kegiatan di awal masa jabatan saya, itu melulu adalah untuk melaksanakan tugas saya sebagai menteri dalam negeri. Misalnya saja, ketika itu banyak gubernur yang harus dilantik, tak kurang dari 12 orang. Saya juga harus memperkenalkan diri kepada aparat yang saya pimpin, dan memberi petunjuk. Saya jumpa camat, kepala desa, dan sebagainya. Karena kepemimpinan tatap muka atau face to face leadership, menurut saya, paling efektif untuk mengajak bawahan berbuat sesuatu sesuai dengan petunjuk dari atas. Ini pengalaman saya selama di TNI-AD. Nama Anda belakangan ini memang sering menjadi berita. Ya, pers menyiarkan begitu. Waduh, sering ada berita Mendagri begini, Mendagri begitu. Lha, mungkin saja ada yang mengira -- ini baru kemungkinan, lho -- bahwa saya bertujuan untuk cari popularitas, cari pengaruh. Nggak ada itu. Sama sekali tidak begitu. Maka, saya pertajam pernyataan saya di AMPI itu. Kalau itu yang dikira, mungkin ada yang mengira, saya ingin mencapai jabatan tertinggi di republik ini. Saya nyatakan saya sama sekali nggak punya ambisi sampai ke sana. Dan kata-kata ini sungguh bukan basa-basi. Pak Rudini pernah mengatakan, sebagai prajurit cuma berambisi menjadi jenderal. Itu sudah tercapai. Lalu? Kalau dikatakan ambisi pribadi, itu sudah tercapai. Mana ada, sih, tamatan Akademi Militer tak punya cita-cita jadi jenderal? Kecuali jika tak punya gairah hidup. Ambisi saya itu sudah tercapai. Malah saya sudah dapat pangkat tertinggi: jenderal bintang empat. Jadi, tak ada yang lebih tinggi dari itu. Apa ada bintang tujuh? Ha... ha... ha.... Jadi, dengan kata lain, Anda sudah merasa puas? Betul. Kemudian dengan sikap legawa saya pensiun, tenang. Dan saya nggak pernah memikirkan ingin jadi ini, ingin jadi itu. Paling tidak, supaya saya tidak nganggur, saya mengurus olahraga karate. Saya isi waktu saya untuk jadi pengusaha, ikut membenahi perusahaan Angkatan Darat. Berhasil atau tidak, itu terserah pimpinan Angkatan Darat yang menilai. Tiba-tiba, Presiden meminta saya membantu beliau menjadi menteri dalam negeri. Sebagai prajurit pejuang, saya siap dan siaga mengemban tugas baru saya. Itu kan tak usah berarti bahwa Anda tak lagi punya ambisi? Kalau sekarang saya ditanyai, ya ambisi saya agar dapat menjalankan tugas pengabdian saya ini dengan baik. Tapi, kalau saya dikatakan nggak punya ambisi sama sekali, ya keliru. Saya katakan, saya nggak punya ambisi jadi presiden. Orang yang punya ambisi memang tidak jelek kan, Pak? Benar itu. Sebagai seorang ayah pun saya berambisi agar anak saya yang nomor tiga (Dewi Nandiri, kini pelajar SMA di Jakarta -- Red. ) nanti bisa menyelesaikan pendidikannya sampai jadi sarjana. Untuk itu, saya telah menyisihkan dana untuk dia, bahkan saya masukkan asuransi, kalau-kalau saya ini dipanggil Yang Mahakuasa.... Lha itu kan ambisi. Tapi, untuk ambisi yang satu itu, lahir batin saya katakan, saya tidak punya. Lha, terus ada yang menanggapi macam-macam. Kalau ada seorang putra Indoneda yang berambisi menjadi presiden, itu kan wajar-wajar saja? Wajar, wajar. Memang nggak ada undang-undang yang melarang. Tapi kan nggak ada undang-undang yang mengharuskan orang punya ambisi jadi presiden, ha... ha... ha. Untuk meyakinkannya, saya bilang demi Allah. Kalau orang Islam sudah bilang demi Allah, kan sudah paling tinggi. Kalau masih nggak percaya, lalu dibilang saya ini basa-basi, ya saya mau bilang apa lagi? Habis akal saya untuk meyakinkannya. Suara-suara di luaran belakangann mulai lebih terbuka, karena beberapa pejabat sudah lebih dulu terbuka. Setujukah Anda? Setuju.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus