BILA sejak Juli lalu para pembaca menyaksikan meja penjualan majalah dan koran di halte bis, kaki lima, depan super market, dan tempat keramaian lainnya di Kota Jakarta, tertata rapi dan meriah dengan simbol TEMPO, itu memang sengaja kami rekayasa. Mengapa? Kami mengelenggarakan seyembara yang kami sebut lomba display -- bagaimana para pedagang kaki lima itu menjajakan majalah atau koran dagangannya -- yang diikuti oleh para pedagang tadi. Penilaian kami lakukan selama dua bulan, Juli dan Agustus 1992, waktu yang sengaja kami pilih karena perhelatan ini kami laksanakan sembari memperingati Proklamasi 17 Agustus. Tujuan lomba ini tentu saja agar para pedagang kecil tadi terbiasa menata dagangannya dengan baik, rapi, dan enak dipandang, sehingga menarik perhatian konsumen. Tentu, kalau lomba ini sukes, bukan hanya TEMPO dan produk grupnya yang tertata apik di meja pengecer, juga majalah dan koran lain, karena para pengecer tadi juga menjajakan koran dan majalah lain. Untuk merangsang para peserta, kami sediakan hadiah cukup beragam. Mereka yang bersungguh-sungguh dan mengikuti ketentuan yang kami tetapkan kami beri hadiah langsung sebuah radio transistor dan uang insentif Rp 10.000. Untuk itu, tim penilai kami melakukan kunjungan dua kali seminggu ke tiap peserta, untuk mengetahui kesungguhan mereka. Lalu untuk pemenang terbaik kami berikan hadiah sebuah sepeda Federal. Pemenang lainnya menerima hadiah Tabanas, pesawat televisi JVC, radio tape, dan sebagainya. Kriteria untuk peserta memang cukup ketat. Selain harus pedagang meja, juga lokasinya harus strategis. Majalah yang dijualnya harus majalah baru. Selama lomba, mereka juga harus melengkapi meja dagangan dengan material promosi TEMPO, antara lain spanduk penghalang matahari bertulis: TEMPO tersedia di sini. Pedagangnya mesti memakai kaus TEMPO. Pengikut lomba yang untuk pertama kali kami selenggarakan ini cukup banyak: 200 peserta, tersebar di seluruh wilayah Jakarta. "Para peserta cukup antusias," kata Sigit Pramono, kepala Bagian Sirkulasi TEMPO. Saking semangatnya, ada peserta yang mengecat mejanya, dan memberinya tulisan motto TEMPO, enak dibaca dan perlu, dengan huruf yang besar. Dari sekian peserta itu, 126 pedagang berhak mendapat hadiah langsung: masing-masing sebuah radio transistor dan uang Rp 10.000. Lalu penilai yang dikoordinasikan staf sirkulasi TEMPO Diding Sukowiradi, 19 September lalu, menetapkan Sahat Pasaribu, 40 tahun, sebagai peserta terbaik dan berhak memperoleh sepeda Federal. Pria asal Medan ini telah delapan tahun mangkal di halte bus Jalan Saharjo, Tebet, Jakarta Selatan. Bagi Sahat, lomba ini memberi hikmah lain. Dengan penataan yang menarik dan rapi ini, menurut Sahat, penjualan majalahnya meningkat. Jakarta memang kami pilih untuk uji coba lomba display ini. Ternyata dari lomba ini banyak masukan yang kami terima. Ada yang mengusulkan agar mereka ditampung dalam satu wadah: koperasi. Ada pula yang minta disediakan meja. Yang jelas, mereka ini kami anggap sebagai "pejuang". Merekalah ujung tombak kami yang menjajakan TEMPO setiap pekan, maka pantas kami memperhatikan mereka. Satu lagi, Pembaca, mereka adalah pedagang lemah di sektor nonformal yang selama ini sering luput dari perhatian Pemerintah. Padahal, peran mereka amat penting dalam menyerap kaum penganggur di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini