Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RATUSAN muslim Rohingya, asal Myanmar, tiba di Lhokseumawe, Aceh, pekan lalu. Mereka datang mencari suaka karena ditindas di negara asalnya, yang dipimpin pejuang hak asasi Aung San Suu Kyi. Indonesia, negeri muslim terbesar di Asia, menjadi tujuan pelarian karena lebih terbuka pada imigran.
Urusan pencari suaka pernah mengemuka pada 1979. Pendatangnya dari Vietnam. Majalah Tempo menulis bagaimana penanganan pemerintah terhadap para pengungsi itu pada edisi 19 Mei 1979. Mereka dikenal sebagai "manusia perahu" karena mengarungi samudra dengan tongkang, lalu terdampar di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
Saat itu, 9 Mei 1979, Bupati Kepulauan Riau Firman Eddy mencatat jumlah pengungsi sudah mencapai 13.939 orang, yang tersebar di 14 tempat penampungan. Angka itu ia sampaikan di depan para tamu penting dari Jakarta pada 10 Mei 1979. Bukan mustahil angka yang diungkapkannya itu berubah keesokan harinya. "Arus yang masuk seperti deret ukur, tapi yang keluar seperti deret hitung," ujar seorang pegawai imigrasi di Tanjung Pinang.
Hingga 10 Mei itu, baru 1.529 pengungsi yang diberangkatkan ke pelbagai negara. Amerika Serikat sanggup menerima 7.000 orang setiap bulan dari berbagai negara ASEAN, termasuk Hong Kong. Amerika memang merupakan penampungan akhir terbesar, disusul Australia.
Duta Besar Amerika untuk Indonesia, Edward E. Masters, mengunjungi kamp Tanjung Unggat di Tanjung Pinang bersama sepuluh pejabat kedutaan. Di pergudangan Satya Niaga, ribuan pengungsi tinggal secara mengenaskan. "Lebih cepat mereka meninggalkan tempat ini lebih baik," katanya.
Kondisi serupa dialami di kamp Air Raja. Meskipun sulit air, keadaan di sana agak mendingan. Perusahaan air minum di Letung biasa melayani sekitar 800 orang. Mereka kewalahan setelah kedatangan pengungsi 7.255 orang.
Bentrokan pun tak bisa dihindari. Di Letung, timbul cerita bahwa penduduk dirugikan karena pengungsi menebangi pohon cengkeh untuk kayu bakar. Polisi, yang cuma sembilan orang, pun tak berdaya. Apalagi komunikasi, seperti radio, tak ada di Kepulauan Natum yang terpencil itu.
Pernah seorang polisi dikeroyok pengungsi gara-gara mereka tak mau disuruh membersihkan baraknya yang kotor. Terpaksa semua pejabat dan satuan turun tangan mencegah keributan.
Cuong Hua Phu, 31 tahun, yang hari itu tampil sebagai juru bicara dan membawa keliling Duta Besar Masters, merasa senang juga ada rencana untuk menampung para pengungsi tersebut di Pulang Galang. Direktur Jenderal Pengamanan Hubungan Luar Negeri A. Adenan, yang memimpin rombongan para diplomat itu, beranggapan bahwa Pulau Galang paling cocok. Selain pernah jadi perkebunan karet sebelum Perang Dunia II, pulau seluas 164 kilometer persegi dan berbukit-bukit itu penduduknya hanya 200 orang.
Menurut Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja, sudah ada lampu hijau dari Erick Morris, Kepala Perwakilan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR), untuk mendrop uang buat membangun pulau itu. Usaha patungan itu akan datang dari Amerika sebanyak US$ 120 juta dan pada 1980 akan ditingkatkan lagi menjadi US$ 140 juta. Separuhnya lagi dari negara seperti Jepang, Jerman Barat, dan Kanada.
Jika terealisasi, Galang akan bisa menampung 10 ribu orang, untuk pengungsi dari Asia Tenggara dan Indonesia. Tapi dari Malaysia sendiri tercatat lebih dari 26 ribu pengungsi, dan bisa dipastikan betapa padatnya Galang yang sulit air itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo