Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM Kolom Prof. James Danandjaja, TEMPO, 12 April 1999, berjudul ”Tionghoa, Dayak dan Madura”, menurut saya ada dua kalimat yang perlu dibenarkan. Alinea ke-3: ”Namun, kemudian orang terhentak … disambung lagi dengan konflik di Kalimantan Barat (antara orang Dayak dan Madura)”. Konflik di Kal-Bar bukan semata-mata antara Dayak dan Madura, bahkan dalam beberapa kejadian berkembang menjadi konflik antara Melayu, Dayak, Bugis, Tionghoa, dan Madura.
Pada alinea ke-8 dikatakan ”Oleh orang Dayak yang tergusur karena konsesi hak pengusahaan hutan, orang Madura dijadikan ’kambing hitam’ atas kemelaratan mereka.” Menurut saya, pendapat ini kurang tepat karena dalam dua kali konflik besar (Dayak-Madura) di Kal-Bar bukan di daerah perusahaan pemegang HPH. Saya setuju jika perusahaan HPH (ditambah HTI, pertambangan, transmigrasi, perkebunan besar) meminggirkan orang Dayak dan Melayu dari tanah tumpah darahnya.
Perlu diketahui, orang Dayak di Kabupaten Pontianak dan Sambas tidak terlalu merasakan dampak perusahaan HPH karena memang di sana hanya ada beberapa. Pernyataan Anda mungkin dapat diterima jika peristiwa itu tetrjadi di Kabupaten Ketapang, Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, karena di daerah ini sangat banyak perusahaan HPH.
Untuk mengerti konflik etnik di Kal-Bar, harus dijelaskan dari berbagai aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain. Mungkin Prof. Danandjaja belum pernah ke Kal-Bar?
EDI PETEBANG
PO Box 1228 Pontianak
Alamat lengkap ada pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo