Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Doktor Kehomatan di Tangan Menteri

TEMPO DOELOE | 28 JANUARI 1978

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Mendapat Doktor Kehormatan di Era Soeharto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemberian gelar doktor honoris causa kepada Nurdin Halid menuai protes dari mahasiswa Universitas Negeri Semarang

  • Di era Soeharto tak gampang mendapat gelar honoris causa karena harus mendapat persetujuan dari menteri

  • Gelar doktor kehormatan untuk Kasman Singodimedjo sempat dipersoalkan di era Orde Baru karena tak mendapat persetujuan menteri

PEMBERIAN gelar doktor kehormatan (honoris causa) di bidang olahraga untuk Ketua Umum Dewan Koperasi Nasional Nurdin Halid dari Universitas Negeri Semarang pada Kamis, 11 Februari 2021, menuai protes dari mahasiswa kampus itu. Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Unnes Wahyu Suryono menilai Nurdin tak memenuhi kriteria yang ditetapkan kampus, yaitu memiliki moral, etika, dan kepribadian baik, karena memiliki catatan kelam di masa lalu.

Nurdin berulang kali terjerat kasus hukum. Pada 2004, dia sempat ditahan meski akhirnya divonis bebas dalam kasus penyelundupan gula impor. Ia juga divonis 2 tahun penjara dalam perkara distribusi minyak goreng Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp 169 miliar pada 2007. Sebelum Nurdin, Unnes pun memberikan gelar serupa kepada Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto. “Pemberian gelar itu bersifat politis,” ucap Wahyu.

Jika sekarang kampus cenderung obral gelar, pada era Orde Baru tak sembarang orang mendapat gelar doktor kehormatan. Artikel majalah Tempo edisi 28 Januari 1978 berjudul “Gelar Kasman Bisa Digugat” mewartakan bahwa gelar doktor kehormatan bisa dicabut kalau tidak mendapat persetujuan menteri. Hal ini dialami Kasman Singodimedjo.

Pada 24 Desember 1977, Kasman memperoleh gelar doktor honoris causa dalam bidang hukum dari Universitas Muhammadiyah. Belum sebulan gelar itu disandang tokoh Islam yang berusia 74 tahun tersebut, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 19 Januari 1978 mengeluarkan siaran pers tentang prosedur pemberian gelar itu.

Dalam siaran pers tersebut memang tak ada kata-kata yang langsung tertuju untuk gelar yang diberikan UM kepada Kasman. Namun Departemen Pendidikan mengatakan setiap perguruan tinggi yang hendak memberikan gelar doktor honoris causa wajib memperoleh persetujuan dari menteri.

Apakah ini bisa menjadi dasar utama untuk menggugat pemberian gelar untuk Kasman? Biro Hubungan Masyarakat Departemen Pendidikan mengatakan belum ada permohonan dari UM dalam rangka pemberian gelar itu. Yang sampai hanya undangan kepada menteri untuk menghadiri upacara penganugerahan tanpa menyebutkan nama Kasman. “Menteri tidak datang. Kalau datang artinya merestui,” ucapnya.

Meski Menteri Sjarif Thajeb tak datang, toh ia mengirimkan seorang anggota staf dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi sekadar untuk menyaksikan, tanpa menyambut. Dalam pidato sambutannya yang berjudul “Hal Kedaulatan” setebal 37 halaman, Kasman mengingatkan bangsa lndonesia tentang hal yang sering dilupakan, yaitu kedaulatan Allah.

Departemen Pendidikan tampaknya masih ragu-ragu terhadap pribadi Kasman, tokoh yang pernah diangkat sebagai Ketua Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Keamanan Rakyat yang lahir pada 5 Oktober 1945. Ia pernah menjadi Jaksa Agung pada 1945 dan Menteri Muda Kehakiman tiga tahun kemudian.

“Ini kan suatu peristiwa penting, enggak sembarang orang dapat diangkat. Seseorang bisa diangkat, pertama, karena pertimbangan politis. Kedua, karena ilmiah, mengingat pengabdian dan prestasinya yang hebat sekali. Kalau semua orang bisa diangkat dengan gampang, bisa celaka,” tutur Kresno.

Menurut Kresno, gelar untuk Kasman tidak dapat dibenarkan dan tidak sah karena belum mendapat persetujuan menteri. “Bagaimana bisa disetujui, permohonan saja belum diterima?” katanya.

Prosedur permohonan itu, menurut dia, seharusnya lewat Koordinator Perguruan Tinggi Swasta. Adapun surat yang disampaikan UM kepada Kopertis bukan berisi permohonan, melainkan pemberitahuan. Pemberitahuan yang bertanggal 24 Desember itu baru sampai ke Kopertis pada 24 Desember—waktu berlangsungnya upacara penganugerahan gelar.

Ismail Suny mengakui sampai saat upacara pemberian gelar belum ada lampu hijau dari menteri. “Ada-tidaknya jawaban buat saya tidak soal. Kalau dulu kami dapat memberi gelar kepada Bung Karno, mengapa sekarang tidak kepada Kasman?”

Kasman menjelaskan ia tak mau mempersoalkan niat UM untuk memberi gelar kepadanya. “Saya yang diberi. Kalau Saudara diberi sesuatu oleh seseorang, lantas pemberian itu Saudara campakkan, bagaimana?” Dan UM sampai sekarang tetap berpendirian Kasman pantas menyandang gelar itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus