Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Musim Obral Doktor Abal-abal

Gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) seharusnya diberikan hanya kepada mereka yang mempunyai kontribusi nyata bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Perguruan tinggi malah mempermalukan diri sendiri.

13 Februari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Musim Obral Doktor Abal-abal

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBERIAN gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) secara serampangan kepada orang-orang yang tidak patut adalah aib besar dunia pendidikan tinggi Indonesia. Gelar akademik itu semestinya dianugerahkan kepada orang-orang yang berkarya luar biasa bagi ilmu pengetahuan dan umat manusia. Nyatanya, gelar itu diobral untuk pejabat negara, pengusaha kakap, atau politikus yang sedang memegang posisi penting.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi-bagi gelar doctor honoris causa ini jelas menunjukkan ada kekeliruan mendasar dalam pengelolaan perguruan tinggi kita. Apalagi ada dugaan sejumlah universitas memberikan gelar ini sebagai imbalan untuk perlindungan politik, sumbangan finansial, ataupun dukungan dalam bentuk lain. Memberikan gelar akademik demi imbalan koneksi dan fasilitas politik atau ekonomi sama saja dengan korupsi. Para petinggi perguruan tinggi yang terlibat telah mempermalukan diri sendiri dan menjatuhkan martabat kampusnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pejabat dan pengusaha yang sengaja berburu gelar doctor honoris causa juga patut dipersalahkan. Ada kemungkinan mereka mengidap kelainan psikologis karena merasa bisa menyembunyikan inkompetensi dan buruknya rekam jejak dengan gelar akademis abal-abal. Mereka tampaknya yakin betul bahwa, setelah mendapat gelar doktor kehormatan, mereka bakal dapat dinilai berbeda oleh publik. Tokoh masyarakat semacam itu sebenarnya tak butuh titel honoris causa. Mereka lebih memerlukan perawatan jiwa agar segera sembuh dari halusinasi.

Acara penganugerahan gelar doktor kehormatan oleh Universitas Negeri Semarang pada Kamis, 11 Februari lalu, adalah contoh nyata salah kaprah ini. Senat kampus itu, bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sepakat memberikan gelar doktor kehormatan dalam bidang olahraga untuk mantan Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Nurdin Halid. Menurut para guru besar Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Semarang, Nurdin Halid layak menjadi doctor honoris causa karena sukses dan berjasa luar biasa saat menjadi Ketua Umum PSSI pada 2003-2011.

Argumentasi semacam itu pasti membuat banyak orang garuk-garuk kepala. Pada periode kepemimpinan Nurdin di PSSI, kita tahu, tak ada prestasi besar tim nasional sepak bola kita. Ketika itu, dunia sepak bola kita malah penuh dengan cerita buram soal suap pengaturan skor pertandingan hingga tawuran mematikan antarsuporter di banyak pertandingan. Pada masa itu, Nurdin bahkan sempat dipenjara karena kasus korupsi. Ujungnya, federasi sepak bola dunia (FIFA) membekukan kepengurusan PSSI karena berbagai pelanggaran.

Cerita Nurdin hanya satu dari serangkaian kisah absurd pemberian gelar doctor honoris causa di kampus-kampus negeri ini. Ada cerita lain soal hakim agung yang rajin menghubungi petinggi universitas agar mendapat gelar kehormatan. Ada pengusaha yang mendadak dermawan kalau sudah mengantongi gelar honoris causa. Ada menteri, pejabat, dan politikus yang keliling mencari perguruan tinggi yang mau memberikan gelar buat mereka. Kampus seolah-olah menjadi pasar yang menjajakan gelar kehormatan untuk mereka yang bisa membayar paling mahal.

Pemerintah harus bertanggung jawab memperbaiki situasi ini. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bisa memulainya dengan mengubah regulasi yang mengatur pemberian gelar doktor kehormatan. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 65 Tahun 2016 tentang Gelar Doktor Kehormatan harus segera direvisi. Kedua peraturan itu tidak memberikan definisi jelas tentang parameter dan kriteria penerima gelar doktor kehormatan. Celah itulah yang dimanfaatkan pengelola kampus untuk bermain mata dengan para pemburu gelar.

Kementerian Pendidikan juga harus meningkatkan pengawasan dengan menyeleksi secara ketat setiap usul pemberian gelar doktor kehormatan. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, yang ditugasi memeriksa karya atau jasa para kandidat peraih gelar doktor kehormatan yang diusulkan kampus, tak boleh lagi hanya menjadi “tukang stempel”. Jika usul kampus soal calon penerima gelar doctor honoris causa mengada-ada, Kementerian harus tegas menolaknya.

Lebih dari itu, Menteri Nadiem harus memperbaiki arah dan tujuan pendidikan tinggi kita. Kampus seharusnya menjadi barometer moral publik dan teladan kejujuran intelektual. Lembaga terhormat ini tak boleh dikotori praktik negosiasi gelar yang berbau korupsi. Selama kampus-kampus terperangkap pola pemberian gelar kehormatan yang transaksional, jangan heran jika melihat banyak orang Indonesia mudah tertipu hoaks atau gampang termakan propaganda yang menyesatkan akal sehat.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus