Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Belajar dari Jepang

Belajar dari Jepang. Jika ada pembangunan, pemerintah berdiskusi dengan masyarakat sampai sepakat.

 

19 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Belajar dari Jepang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lahan Pertamina

PENSIUNAN PT Pertamina (Persero) di Kompleks Pertamina Pondok Ranji Ciputat Timur, Tangerang Selatan, dikejutkan oleh kunjungan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Kedatangan beliau bukan atas undangan kami, melainkan atas ajakan YouTuber, Nex Carlos, yang mampir ke warung nasi sayur asem di pinggir kompleks.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sayang, kami warga pensiunan tidak tahu kedatangan Pak Menteri. Andaikata tahu pasti akan kami laporkan langsung kepada beliau bahwa lahan Pertamina dan aset negara di sana seperti dibiarkan saja dan tidak terurus. Lahan yang dikunjungi Nex Carlos untuk pemancingan itu sejak 1979 oleh Yayasan Pensiun Pertamina direncanakan dijadikan lapangan sepak bola. Namun setelah 40 tahun lahan itu dibiarkan begitu saja. Demikian juga lahan-lahan di sekitar perumahan yang telantar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kami mohon Pak Menteri BUMN memperhatikan lahan-lahan tersebut dan mengurus status kepemilikannya sehingga tidak mudah diserobot oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Deniarto Suhartono
Mantan Karyawan Pertamina


Nasib Guru

KAMI bersyukur menjadi bagian dari pelaku perubahan dalam dunia pendidikan sebagai guru. Pekerjaan mulia ini kami mulai jalani pada 2006, sejak menjadi guru honorer hingga menjadi pegawai negeri. Guru mestilah menjalankan segala ketentuan dan aturan serta regulasi pemangku kebijakan. Konsekuensi setiap regulasi mengalami perubahan sesuai dengan produk dan keputusan yang dihasilkan.

Standar kelulusan Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) mengharuskan nilai uji kompetensi guru minimal 8 menjadi penghambat. Meski tidak sedikit yang lulus, banyak pula yang gagal akibat standar nilai ini. Regulasi penghapusan PLPG menjadi Pendidikan Profesi Guru dalam nomenklatur Undang-Undang Guru dan Dosen membuat para guru eks PLPG kesulitan mengikuti PPG, karena belum ada produk hukum yang menaunginya. Kami sudah berkonsultasi dengan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, tapi belum ada kepastian.

Para guru eks PLPG adalah guru juga. Mereka pun manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum. Persoalan ini harus segera dicarikan solusi, jangan sampai berlarut-larut agar tidak menimbulkan masalah di lain hari. Dibutuhkan keputusan dan kebijakan yang memberi rasa ketenangan dan kenyamanan bagi mereka dalam menjalankan tugas, sehingga tujuan dan cita-cita mulia pendidikan bisa teraih. 

Nur Alam Windu Kuncoro, S.Pd.
Guru eks PLPG


Belajar dari Jepang

BEBERAPA tahun lalu saat mengikuti pelatihan kerja di Kota Kawasaki, Jepang, saya menemukan pemandangan yang tidak akan pernah saya temukan di Jakarta. Calon penumpang bus kota rapi berbaris. Tak ada yang berdesakan atau menyerobot. Mereka dengan sabar menunggu giliran naik bus. 

Di lain kesempatan saya menjumpai hal ajaib. Saat itu saya melihat seorang pria yang berjongkok di depan sebuah bar. Rupanya ia sedang menunggu agar mabuknya hilang. Orang Jepang punya kebiasaan menghilangkan mabuk sebelum melanjutkan perjalanan agar tidak merugikan orang lain.

Jepang juga negara yang paling aman di dunia. Tingkat kriminalitas sangat minim. Bahkan, jika barang kita hilang di Jepang, hampir dipastikan 100 persen akan kembali ke pemiliknya. Di Jepang, ada budaya menyerahkan benda hilang yang ditemukan ke kantor polisi terdekat. Pada 2017, uang tunai yang diserahkan masyarakat ke kantor polisi di sekitar Tokyo mencapai lebih dari 3,3 miliar yen.

Saya pernah sengaja meninggalkan barang bawaan di stasiun kereta. Saat kembali ke loket, barang saya masih ada di sana dan dijaga dengan baik oleh petugas. Lain waktu saya sengaja meninggalkan telepon seluler di tempat pengisian baterai untuk ke toilet dan keliling bandara. Ponsel itu masih di sana tanpa bergeser sedikit pun.

Suatu kali pemerintah Prefektur (provinsi) Kanagawa Ken hendak menata ulang jalur bus kota. Sebelum memulai penataan, pemerintah mengadakan beberapa kali dengar pendapat dengan masyarakat yang memanfaatkan jasa transportasi ini. Prosesnya memakan waktu lama. Setelah sepakat pun hanya beberapa rencana pemerintah yang disepakati masyarakat. Tidak ada penggusuran atau pengurangan frekuensi bus agar penduduk menderita.

Mengapa Jepang bisa seperti itu? Sedari kecil mereka sudah diberi pendidikan pembentukan moral. Mereka akan malu sendiri jika melakukan hal-hal yang bertentangan dengan moral dan aturan.

Di Indonesia, reformasi 1998 yang menjajakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai jualan utama tampaknya belum membuahkan hasil. Harapan rakyat akan terciptanya pemerintahan yang bersih baru sebatas wacana. 

Suharyo Widagdo
Tangerang Selatan

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus