Tokoh penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok, Singgih, 70 tahun, Kamis sore pekan lalu, berpulang ke rahmatullah. Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta, akibat penyakit jantung. Esoknya, almarhum dimakamkan di pemakaman keluarga keturunan Sunan Kalijaga di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah. Ia meninggalkan seorang istri, lima anak, dan tujuh cucu. Rabu malam sebelumnya, tatkala segenap keluarga sedang melakukan pengajian, tutur Nyonya Singgih, 63 tahun, almarhum masih asyik membaca koran di kamarnya. Mendadak dari dalam kamar, Singgih memanggil pelan istrinya. Ia mengaku merasa seperti masuk angin. Nyonya Singgih pun mengurut sang suami, dan menempeli botol berisi air panas di dekat ulu hatinya. Singgih rupanya sudah tak tahan. Ia meminta agar anak-anak berkumpul untuk diberi wejangan. Setelah itu, anak bungsunya, dr. Heru Mahendrata, menyarankan agar Singgih segera dibawa ke RS Pertamina. Di rumah sakit, Singgih sempat menjalani operasi kecil dan dipasangi alat pacu jantung. Kamis siang, kata si istri, debar jantungnya sudah membaik dan teratur. Sampai pukul 15.30, Singgih kembali terengah-engah. Sekitar sejam kemudian, ia mengembuskan napas terakhir. Singgih, pensiunan pejabat di Sekneg (1975) berpangkat mayor, memang telah pergi. Tapi namanya tetap terukir indah dalam sejarah kelahiran negara Republik Indonesia. Dialah syodanco (letnan satu) Singgih, tokoh yang sering disebut-sebut orang -- kendati jarang terdengar suaranya -- dalam peristiwa bersejarah, penculikan Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Bersama sejumlah pemuda, yang dipimpin Sukarni, Singgih ditugasi selaku eksekutor penculikan ketua pimpinan negara itu pada fajar hari, 16 Agustus 1945. Hasilnya, keesokan harinya, kemerdekaan bangsa dan rakyat Indonesia diproklamasikan. Singgih, anggota Peta Jakarta, kemudian dinaikkan pangkatnya menjadi cudanco (kapten).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini