Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Anda yakin, dengan kepengurusan baru PSSI, prestasi sepak bola kita akan membaik?
(Periode 13-20 Juli 2011) |
||
Ya | ||
40,63% | 258 | |
Tidak | ||
49,29% | 313 | |
Tidak Tahu | ||
10,08% | 64 | |
Total | 100% | 635 |
Sebagian pembaca tempointeraktif.com memilih bersikap realistis dalam menyambut kepemimpinan baru Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia. Sekitar 50 persen pembaca yang mengikuti jajak pendapat di situs berita ini selama pekan lalu mengaku tidak yakin prestasi Indonesia di cabang olahraga paling populer itu bakal langsung melonjak. Yang menarik, berbeda dengan pekan-pekan sebelumnya, jumlah pembaca yang memilih opsi "tidak tahu" ternyata cukup banyak: sampai lebih dari 10 persen.
Kisruh di tubuh PSSI memang sudah mencapai titik kulminasi. Awal Juli lalu, lewat kongres luar biasa di Solo, Jawa Tengah, seratusan pengurus daerah dan klub anggota PSSI memilih duet Djohar Arifin Husin dan Farid Rahman sebagai ketua umum dan wakil ketua umum organisasi itu. Keduanya mewakili kubu perubahan yang dimotori pengusaha Arifin Panigoro dan mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal George Toisutta.
Pemilihan pasangan ini mengakhiri konflik internal yang sudah berlarut-larut sejak enam bulan lalu. Dimulai dengan pembentukan liga baru, Liga Primer Indonesia, disusul mosi tak percaya kepada Ketua Umum PSSI lama, Nurdin Halid, perseteruan terus bergulir bak tak berujung. Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) pun akhirnya turun tangan, membentuk Komite Normalisasi, yang dipimpin mantan Ketua Umum PSSI Jenderal (Purnawirawan) Agum Gumelar.
Kini semua hiruk-pikuk telah usai. Saatnya bekerja, berbenah untuk persepakbolaan nasional. Tapi tentu ini tak semudah membalik telapak tangan. Publik pun amat menyadari hal itu. Mereka tahu mengganti pucuk kepemimpinan PSSI itu baru langkah awal reformasi sepak bola nasional. Masih ada soal infrastruktur dan fasilitas pertandingan yang perlu dibenahi, soal mental pemain, pelatih dan wasit yang masih bisa disuap, pendanaan yang kini kudu mandiri, serta banyak soal lain lagi.
Djohar Arifin pun tahu persis beratnya tantangan yang dia hadapi. "Itulah yang harus dikejar, membangun sistem, sehingga nanti siapa pun yang menjadi pengurus PSSI, sistemnya tetap jalan," katanya dalam sebuah wawancara.
Indikator Pekan Ini Pemilihan Gubernur DKI Jakarta masih satu tahun lagi. Tapi kampanye sepertinya sudah dimulai. Gubernur petahana Fauzi Bowo sudah sibuk pasang spanduk dan baliho di mana-mana. Dia memang masih punya peluang maju untuk masa jabatan kedua. Tapi wakilnya, Prijanto, konon sudah berancang-ancang maju sendiri lewat partai lain. Partai lain pun pasang kuda-kuda. Partai Golkar punya sejumlah nama jagoan, mulai Azis Syamsuddin sampai Tantowi Yahya. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan kabarnya bakal mengusung aktor kawakan Rano Karno. Partai Keadilan Sejahtera konon mengelus-elus mantan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Nugroho Jayusman. Nah, di saat partai kencang bersaing, muncullah calon kuda hitam. Pengamat ekonomi Faisal Basri sudah menyatakan diri siap menjadi calon gubernur. Juga pengamat politik Eep Saefulloh Fatah. Tak ketinggalan pakar tata kota Marco Kusumawijaya. Ketiganya maju dari jalur independen. Menurut Anda, apakah Jakarta akan lebih tertata jika dipimpin oleh gubernur dari kalangan profesional, bukan yang didukung partai politik? Komentar dan pendapat Anda ditunggu di situs berita www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo