Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Bupati Halmahera Barat
Sebagai Bupati Halmahera Barat, saya ingin berterima kasih atas kritik Johnny W. Situmorang melalui rubrik surat pembaca di majalah Tempo edisi 4-10 Juli 2011. Tapi saya ingin juga menjelaskan sejumlah hal untuk meluruskan pemahaman khalayak.
Saudara Situmorang menyebut ruas jalan dari Sofifi menuju Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat rusak berat. Perlu saya jelaskan bahwa jalan itu adalah jalan negara, yang perawatan dan perbaikannya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Selain itu, Saudara Situmorang mengaku melihat banyak anak kecil dan remaja yang mengemis di Kota Jailolo. Itu sama sekali tidak benar. Dari lahir, tumbuh, hingga besar di Halmahera, saya tidak pernah menyaksikan satu pun warga kami mengemis di jalanan. Selain itu, wilayah kami kaya bahan makanan, mulai sayur-mayur, ubi jalar, sampai ikan di laut lepas. Jadi sulit membayangkan ada warga kami yang kelaparan sampai harus meminta-minta di jalan raya.
Saudara juga mengkritik kondisi pelabuhan Jailolo. Penting diketahui bahwa penataan pelabuhan itu juga bukan kewenangan pemerintah kabupaten, melainkan Direktorat Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan. Tapi sejauh yang saya amati, kondisi pelabuhan amat tertib dan baik, tidak semrawut seperti temuan Saudara.
Saya akui Jailolo sampai sekarang masih terus ditata dan dibenahi. Sebelum Halmahera Barat dibentuk menjadi kabupaten pada 2005, kota itu hanya kota kecamatan. Tapi, dalam lima tahun, sudah ada kemajuan. Kami punya industri pengolahan hasil ikan terbesar di Maluku Utara, tepatnya di Kecamatan Loloda.
Ke depan, kami ingin Jailolo menjadi kota teluk yang ramah lingkungan dan berbudaya. Setiap Mei, ada Festival Teluk Jailolo, yang menyuguhkan kekayaan kebudayaan kami.
Mudah-mudahan di kesempatan lain Saudara Situmorang bisa datang dan melihat wajah Halmahera Barat yang sebenarnya. Semua masukan dan saran tentu kami terima dengan lapang dada.
Namto Roba
Bupati Halmahera Barat
Kemacetan Jalan Tol Merak
Saya tinggal di Cilegon dan sering bepergian ke luar kota melalui jalan tol Jakarta-Merak. Semua orang tentu berharap perjalanan melalui jalan tol mempersingkat waktu tempuh, sehingga lebih cepat sampai ke tujuan. Tapi realitasnya di lapangan bertolak belakang.
Sejak beberapa waktu lalu, jalan tol Merak sering diperbaiki. Perjalanan tak pernah lancar karena kendaraan terpaksa minggir, memanfaatkan satu lajur jalan saja. Semua merambat dengan kecepatan rendah.
Perbaikan jalan yang terus-menerus—dan entah kapan selesainya—ini tentu membuat pengguna jalan tol Merak, seperti kami, jadi amat frustrasi. Kondisi ini diperparah oleh banyaknya kendaraan berat—truk dan bus—yang menggunakan jalur tol ini dari dan menuju Sumatera.
Saya setuju-setuju saja jika jalan tol diperbaiki. Tapi, menghadapi masa-masa menjelang mudik Lebaran seperti sekarang, perbaikan itu justru berisiko membuat kemacetan makin panjang. Seharusnya sejak awal semua jalan tol didesain dengan struktur yang kuat dan tahan lama. Dengan begitu, pengelola jalan pun tidak harus sedikit-sedikit memperbaiki jalan dan membuat perjalanan warga terhambat.
Aldila Septia
Citangkil, Cilegon, Banten
Mencari Kerabat Hilang
SAUDARA kami, Jaki Harjanto, sudah lama merantau ke Australia. Dia pamit meninggalkan Indonesia hampir empat dekade lalu untuk merantau. Sesekali dia menelepon kami, keluarganya di Indonesia. Kadang juga sempat berkirim surat. Dari surat-suratnya, kami tahu dia berdomisili di Negara Bagian Victoria.
Tapi semua komunikasi kami dengan Jaki terhenti sejak lebih dari sepuluh tahun lalu. Surat terakhir yang kami terima bertanggal 12 Mei 1997. Ketika itu alamatnya sudah berpindah ke New South Wales, Australia. Tak ada lagi surat atau panggilan telepon sejak saat itu.
Kami mohon bantuan aparatur pemerintah yang berwenang untuk melacak keberadaan kerabat kami di Australia. Kami khawatir akan keselamatannya. Nomor paspor dan identitas lengkap Jaki Harjanto ada pada kami. Terima kasih.
Hasyim Abdullah Assegaf
Sukalarang, Sukabumi
Belajar dari Kasus Murdoch
Kasus penyadapan telepon seluler di Inggris oleh tabloid News of the World milik taipan media Rupert Murdoch memberikan pelajaran berharga buat kita semua. Rahasia kini sudah bukan lagi monopoli negara. Wartawan pun—bekerja sama dengan detektif swasta—bisa menyadap percakapan orang lain dan menyiarkannya kepada publik.
Sebelum kasus ini meledak, publik juga dikejutkan oleh skandal bocornya kawat diplomatik rahasia milik Amerika Serikat oleh WikiLeaks. Tanpa peralatan yang supercanggih, apalagi dukungan undang-undang soal kerahasiaan negara, mereka bisa membobol sistem komunikasi milik negara adikuasa.
Kedua kasus ini menunjukkan bahwa percuma saja menutupi informasi yang penting untuk publik. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah tak perlu repot-repot membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara. Sekarang era keterbukaan. Biarkan pers melakukan investigasi dan mengungkap kebobrokan pejabat publik. Cepat atau lambat, semua temuan media ini pasti sampai ke tangan aparatur penegak hukum. Saya percaya itu.
M.E.D. Ngantung
Setiabudi, Jakarta
Ralat
Ada kesalahan yang mengganggu dalam artikel berjudul "Menggantung Nasib pada Kreditor" yang dimuat majalah Tempo edisi 18-24 Juli 2011. Di sana tertulis Letnan Jenderal (Purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan, seharusnya yang benar: Jenderal (Purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan.
Pada bagian lain artikel itu, tertulis Atmajaya Salim adalah kuasa hukum Sindikasi Sumitomo. Seharusnya yang benar: Atmajaya Salim, kuasa hukum PT Dhanawibawa Arta Cemerlang dan Sino Perfect Investment Ltd.
Terakhir, kami menulis Sino punya tagihan di PT Kertas Nusantara sebesar Rp 1,6 triliun. Yang benar, jumlah tagihan Sino adalah Rp 1,8 triliun. Kami mohon maaf atas kesalahan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo