Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font face=arial size=1 color=brown>Pencemaran Nama Baik</font><br />Menggugat Lima Gertakan

Merasa dicemarkan namanya, pemilik sebuah lembaga pendidikan menggugat lima wartawan Rp 7,5 miliar. Gugatan itu dinilai tak tepat.

25 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat wartawan mencegat Agus Budiarto yang baru saja kelar mengajar. Mereka mengaku keluarga Siti Marifat Sarita, salah seorang alumnus Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kebandarudaraan dan Pramugari, lembaga milik Agus. Bergantian para wartawan itu memberondong Agus dengan berbagai pertanyaan tentang kampusnya. Mereka adalah Febrian Putra (Lombok Post), Iza Helmi (TVRI), Haris Mahful (Suara NTB), dan Ahmad Yani (RRI).

Sebelumnya, kepada keempat wartawan itu, Sarita mengaku dikibuli Agus. Kepada mereka yang mengikuti pelatihan di sana, ujar Sarita, Agus menjamin alumnus Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kebandaraudaraan bakal diterima bekerja di Bandara Internasional Lombok. Sarita alumnus lembaga ini. Tapi, alih-alih diterima, ijazah yang dikeluarkan kampus yang terletak di Jalan Panji Anom, Mataram, Nusa Tenggara Barat itu, kata Sarita, tak laku untuk mencari kerja.

Sarita juga ikut tatkala para wartawan itu mendatangi Agus. "Suasananya saat itu tegang," kata Febrian menceritakan kejadian yang ia alami. Febrian mengaku kala itu mereka mengaku keluarga Sarita. Agus menampik disebut lembaganya melakukan penipuan. Adu mulut pun terjadi. "Mereka mencoba menggertak saya, ya saya balik gertak," kata Agus, 55 tahun, kepada Tempo.

Ketika adu fisik hampir terjadinya, keempat wartawan itu mengeluarkan tanda pengenal mereka. "Kami mengaku wartawan yang ingin mengkonfirmasi penipuan itu," kata Febrian. Hasil "konfirmasi" itu pun kemudian muncul, antara lain, di Lombok Post dan Suara NTB pada 10 Mei 2011, sehari setelah pertemuan itu.

Agus lemas membaca berita itu. Di matanya berita itu penuh rekayasa. Pertemuan di lembaganya ia anggap bukan wawancara. Menurut Agus, kepada empat wartawan tersebut ia sudah menjelaskan lembaga pendidikan yang didirikannya pada 2006 itu tak pernah menjanjikan menjamin pekerjaan untuk sekitar 400 siswanya. Ia juga menyesalkan cara Febrian yang sebelumnya mengaku-aku sebagai polisi.

Dua pekan kemudian Agus mengadukan empat wartawan itu ke polisi. Di luar mereka, ia juga mengadukan wartawan Radar Lombok, Sudirman, yang datang pada saat akhir perang mulut itu. Sudirman juga dianggapnya telah mencemarkan namanya. "Dia sempat mencengkeram baju saya," katanya.

Tak hanya ke polisi, Agus membawa kasus ini ke meja hijau. Ia mengajukan gugatan perdata, menuntut ganti rugi Rp 7,5 miliar. Selain lima wartawan itu, Sarita masuk daftar yang digugat. Agus merasa nama kampusnya sudah tercemar. Setelah pemberitaan itu muncul, katanya, hanya ada 14 orang yang kini mendaftar di lembaganya. "Padahal sebelumnya mencapai 40 orang per kelas," ujarnya.

Kamis dua pekan lalu gugatan Agus mestinya mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Mataram. Tapi hari itu majelis hakim urung membacakan gugatan lantaran Sarita tak hadir. Febri mengaku tak tahu lagi keberadaan narasumbernya. "Telepon selulernya tidak lagi aktif," ujarnya. Hakim memutuskan sidang sengketa pemberitaan itu akan digelar kembali pada Kamis, 11 Agustus nanti.

Burhanuddin, pengacara para wartawan itu, menyebut gugatan Agus salah alamat. Ini, ujar Burhanuddin, karena ketiga koran yang disebut-sebut Agus itu sudah memuat hak jawab seperti yang dikirimkan Agus. "Gugatannya blunder," katanya. Sudirman, yang juga digugat Agus, kini berbalik mengadukan Agus ke polisi. Ia mengaku tak terlibat adu mulut dengan Agus dan korannya tak memuat berita yang dipersoalkan Agus. "Nama baik saya dicemarkan," ujarnya.

Agus menyatakan, kendati sudah ada hak jawab, bukan berarti dia tak boleh melakukan langkah hukum membawa perkara tersebut ke pengadilan. "Itu tidak menghilangkan hak saya menggugat mereka," katanya. Kasus ini memang menjadi perhatian para wartawan di Mataram. Hingga kini kelima wartawan yang menjadi pesakit­an itu juga belum melaporkan nasib mereka ke Dewan Pers. "Kami belum menerima pengaduan kasus ini," kata Ketua Dewan Pers Bagir Manan.

Mustafa Silalahi (Jakarta), Supriyantho Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus