Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENIKAH sejatinya urusan pribadi. Namun, buat orang Indonesia, khususnya pegawai negeri, soal itu bisa tak pribadi lagi. Pemerintah telah mengelolanya secara sepihak lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Peraturan ini dibuat sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang (UU) Perkawinan Tahun 1974. Isinya antara lain mengatur: pegawai negeri yang berniat bercerai atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya. Pegawai negeri juga dilarang ”hidup bersama di luar nikah”. Bila itu dilanggar, sanksinya berat: dipecat.
Nah, pekan-pekan kemarin, peraturan itu kembali ramai dibicarakan. Adapun muasalnya: isu perselingkuhan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dan Aryanti serta perkawinan kedua Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli. Yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya peraturan itu dihapus.
Salah satu yang paling kencang menuntut dihapus justru wanita, yakni Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa. Alasannya, urusan poligami tergolong kesadaran pribadi, sehingga tak perlu diatur oleh negara. ”Kalau laki-laki sampai diatur-atur seperti itu, apa tidak malu?” ujar Khofifah.
Sedangkan pihak yang ngotot mempertahankan aturan itu antara lain Nila F. Moeloek, Ketua Dharma Wanita, organisasi istri pegawai negeri. Menurut Nila, berdasarkan pengalaman selama ini, posisi hukum istri selalu lemah bila suami menikah lagi. Belum lagi akibat berikutnya dari perceraian, baik terhadap masalah warisan maupun nasib anak-anak dari istri pertama. Bagaimana komentar pegawai negeri pria sendiri mengenai kontroversi ini?
Menurut lebih dari separuh peserta jajak pendapat TEMPO, peraturan itu sebaiknya dihapus saja. Alasan mereka, selain bertentangan dengan syariat agama Islam—Islam memang memperbolehkan seorang pria beristri sampai empat (sebagian ulama berbeda tafsir)—perkawinan itu urusan pribadi. Dengan kata lain, negara tak berhak mencampuri urusan individu. Di mata responden, dihapuskannya PP Nomor 10/1983 bisa memperkecil hubungan di luar nikah.
Pendapat itu masuk akal dan mudah ditebak. Masuk akal karena, ”Walaupun ada peraturan itu, toh banyak juga yang selingkuh,” ujar Muhamad Ibnu Wasum, 36 tahun, karyawan di Departemen Keuangan, Jakarta. Pegawai golongan IIB berpenghasilan Rp 600 ribu per bulan ini—dan bapak tiga anak—bukan tak ingin menikah lagi. Sebagai manusia biasa, ada juga godaan buat punya gandengan lebih dari satu. Hanya karena merasa tak mampu, baik secara lahir maupun batin, niat itu belum terlaksana sampai sekarang.
Mudah ditebak, karena pendapat itu khas mewakili suara lelaki—jenis kelamin yang paling diuntungkan bila PP 10/1983 dihapus. Hasil jajak pendapat boleh jadi berbeda seandainya menyertakan pendapat wanita.
Sementara itu, mereka yang tak ingin PP 10/1983 dihapus punya argumen sendiri. Peraturan itu justru dianggap bagus untuk menjaga keutuhan rumah tangga para pegawai negeri. Jika larangan itu dicabut, responden khawatir keluarga pegawai negeri sipil bakal berantakan. Responden juga menilai peraturan itu justru memperkuat posisi wanita di mata hukum.
Bagaimana dua pendapat yang berbeda itu mesti dilihat? Menurut aktivis perempuan Julia I. Suryakusuma, persoalan yang lebih penting sebenarnya bukan PP 10 Tahun 1983, melainkan aturan induknya, yaitu UU Perkawinan Tahun 1974. Seharusnya, kata Julia, UU Perkawinan itulah yang disempurnakan agar lebih memperhatikan masalah gender.
Peraturan itu, menurut Julia, yang pernah meneliti penerapannya selama empat bulan pada 1990, malah menimbulkan sejumlah ekses. Banyak pegawai negeri (tentu juga pejabat tinggi) yang tidak menikah lagi tapi berselingkuh. Selain itu, aturan itu acap dijadikan alat represi oleh kekuasaan negara, misalnya digunakan sebagai alasan mendepak seorang pejabat pria yang tak disukai. Sebaliknya, bila ada pejabat laki-laki mau dipertahankan, biar ia mengambil istri berapa pun bisa diabaikan. Wicaksono
Apakah Anda pernah berniat punya istri lebih dari satu tapi batal terlaksana? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ya | 19%Tidak | 81% | | Bila ya, apa sebabnya? | Ada larangan dari pemerintah | 38% | Tidak mampu secara finansial | 35% | Tidak diizinkan istri pertama | 26% | Tidak setuju poligami | 11% | Dilarang agama | 6% | Belum punya anak | 2% | Belum ada kecocokan | 2% | Tidak puas | 2% | Tidak mampu secara moril | 1% | Takut tidak adil | 1% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah Anda setuju Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 dihapus? | Ya | 62% | Tidak | 38% | | Bila ya, mengapa Anda menjawab demikian? | Pernikahan adalah urusan pribadi | 48% | Bertentangan dengan kaidah agama (Islam) | 47% | Memperkecil hubungan di luar nikah | 39% | Mengurangi keinginan korupsi | 3% | Melanggar hak asasi manusia | 1% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Bila tidak, mengapa Anda menjawab demikian? | Menjaga keutuhan rumah tangga pegawai negeri | 55% | Memperkuat posisi wanita di mata hukum | 36% | Mencegah poligami | 25% | Menjaga citra pegawai negeri sendiri | 3% | Pendapatan pegawai negeri belum tercukupi | 2% | * Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban | | Apakah Anda mengetahui ada di antara sesama rekan pegawai negeri di lingkungan Anda yang punya istri lebih dari satu? | Ya | 33% | Tidak | 67% | | |
---|
Metodologi jajak pendapat :
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.30 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo