Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Mereka Setuju Poligami

Sebagian besar responden—pria pegawai negeri—menolak Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENIKAH sejatinya urusan pribadi. Namun, buat orang Indonesia, khususnya pegawai negeri, soal itu bisa tak pribadi lagi. Pemerintah telah mengelolanya secara sepihak lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Peraturan ini dibuat sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang (UU) Perkawinan Tahun 1974. Isinya antara lain mengatur: pegawai negeri yang berniat bercerai atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya. Pegawai negeri juga dilarang ”hidup bersama di luar nikah”. Bila itu dilanggar, sanksinya berat: dipecat.

Nah, pekan-pekan kemarin, peraturan itu kembali ramai dibicarakan. Adapun muasalnya: isu perselingkuhan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dan Aryanti serta perkawinan kedua Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli. Yang diperdebatkan adalah perlu tidaknya peraturan itu dihapus.

Salah satu yang paling kencang menuntut dihapus justru wanita, yakni Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Khofifah Indar Parawansa. Alasannya, urusan poligami tergolong kesadaran pribadi, sehingga tak perlu diatur oleh negara. ”Kalau laki-laki sampai diatur-atur seperti itu, apa tidak malu?” ujar Khofifah.

Sedangkan pihak yang ngotot mempertahankan aturan itu antara lain Nila F. Moeloek, Ketua Dharma Wanita, organisasi istri pegawai negeri. Menurut Nila, berdasarkan pengalaman selama ini, posisi hukum istri selalu lemah bila suami menikah lagi. Belum lagi akibat berikutnya dari perceraian, baik terhadap masalah warisan maupun nasib anak-anak dari istri pertama. Bagaimana komentar pegawai negeri pria sendiri mengenai kontroversi ini?

Menurut lebih dari separuh peserta jajak pendapat TEMPO, peraturan itu sebaiknya dihapus saja. Alasan mereka, selain bertentangan dengan syariat agama Islam—Islam memang memperbolehkan seorang pria beristri sampai empat (sebagian ulama berbeda tafsir)—perkawinan itu urusan pribadi. Dengan kata lain, negara tak berhak mencampuri urusan individu. Di mata responden, dihapuskannya PP Nomor 10/1983 bisa memperkecil hubungan di luar nikah.

Pendapat itu masuk akal dan mudah ditebak. Masuk akal karena, ”Walaupun ada peraturan itu, toh banyak juga yang selingkuh,” ujar Muhamad Ibnu Wasum, 36 tahun, karyawan di Departemen Keuangan, Jakarta. Pegawai golongan IIB berpenghasilan Rp 600 ribu per bulan ini—dan bapak tiga anak—bukan tak ingin menikah lagi. Sebagai manusia biasa, ada juga godaan buat punya gandengan lebih dari satu. Hanya karena merasa tak mampu, baik secara lahir maupun batin, niat itu belum terlaksana sampai sekarang.

Mudah ditebak, karena pendapat itu khas mewakili suara lelaki—jenis kelamin yang paling diuntungkan bila PP 10/1983 dihapus. Hasil jajak pendapat boleh jadi berbeda seandainya menyertakan pendapat wanita.

Sementara itu, mereka yang tak ingin PP 10/1983 dihapus punya argumen sendiri. Peraturan itu justru dianggap bagus untuk menjaga keutuhan rumah tangga para pegawai negeri. Jika larangan itu dicabut, responden khawatir keluarga pegawai negeri sipil bakal berantakan. Responden juga menilai peraturan itu justru memperkuat posisi wanita di mata hukum.

Bagaimana dua pendapat yang berbeda itu mesti dilihat? Menurut aktivis perempuan Julia I. Suryakusuma, persoalan yang lebih penting sebenarnya bukan PP 10 Tahun 1983, melainkan aturan induknya, yaitu UU Perkawinan Tahun 1974. Seharusnya, kata Julia, UU Perkawinan itulah yang disempurnakan agar lebih memperhatikan masalah gender.

Peraturan itu, menurut Julia, yang pernah meneliti penerapannya selama empat bulan pada 1990, malah menimbulkan sejumlah ekses. Banyak pegawai negeri (tentu juga pejabat tinggi) yang tidak menikah lagi tapi berselingkuh. Selain itu, aturan itu acap dijadikan alat represi oleh kekuasaan negara, misalnya digunakan sebagai alasan mendepak seorang pejabat pria yang tak disukai. Sebaliknya, bila ada pejabat laki-laki mau dipertahankan, biar ia mengambil istri berapa pun bisa diabaikan. Wicaksono


Apakah Anda pernah berniat punya istri lebih dari satu tapi batal terlaksana?
Ya19%
Tidak81%
Bila ya, apa sebabnya?
Ada larangan dari pemerintah38%
Tidak mampu secara finansial35%
Tidak diizinkan istri pertama26%
Tidak setuju poligami11%
Dilarang agama6%
Belum punya anak2%
Belum ada kecocokan2%
Tidak puas2%
Tidak mampu secara moril1%
Takut tidak adil1%
* Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban
 
Apakah Anda setuju Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 dihapus?
Ya62%
Tidak38%
 
Bila ya, mengapa Anda menjawab demikian?
Pernikahan adalah urusan pribadi48%
Bertentangan dengan kaidah agama (Islam)47%
Memperkecil hubungan di luar nikah39%
Mengurangi keinginan korupsi3%
Melanggar hak asasi manusia1%
* Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban
 
Bila tidak, mengapa Anda menjawab demikian?
Menjaga keutuhan rumah tangga pegawai negeri55%
Memperkuat posisi wanita di mata hukum36%
Mencegah poligami25%
Menjaga citra pegawai negeri sendiri3%
Pendapatan pegawai negeri belum tercukupi2%
* Responden boleh memberikan lebih dari satu jawaban
 
Apakah Anda mengetahui ada di antara sesama rekan pegawai negeri di lingkungan Anda yang punya istri lebih dari satu?
Ya33%
Tidak67%
 

Metodologi jajak pendapat :

  • Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight, pada 28 September hingga 3 Oktober 2000. Pengumpulan data dilakukan terhadap 508 responden pegawai negeri di Jakarta, yang terdiri dari pegawai pria di lingkungan Pemerintah Daerah DKI, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Biro Pusat Statistik, Inspektorat Jenderal Pajak, perguruan tinggi negeri, guru, serta beberapa departemen. Golongan kepegawaian responden bervariasi, dari IB sampai IVD. Pengumpulan data dilakukan lewat wawancara tatap muka dan lewat telepon.

    MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.30 WIB

    Independent Market Research
    Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus