Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Luka Wamena Salah Siapa

Wamena akhirnya harus bergelimang kekerasan. Satu lagi korban inkonsistensi kebijakan Presiden Abdurrahman.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI udara, Lembah Baliem tampak seperti kepingan-kepingan hijau tua terpagari sungai yang bagaikan ular keputih-putihan. Lembah yang terhampar di sisi timur Dataran Tinggi Jayawijaya, Papua, itu seperti misteri yang indah. Tapi ketika dilihat dengan berpijak di bumi, akan tampak Kota Wamena yang poranda dan hangus. Kengerian masih begitu terasa di sana setelah berlangsungnya kerusuhan berdarah dua pekan silam: 30 orang tewas, lebih dari 40 orang luka, dan ratusan orang mengungsi. Wajah Wamena tidak akan kembali seperti sediakala.

Kerusuhan bermula dari apel pagi anggota Polisi Resor (Polres) Jayawijaya, Wamena, Jumat dua pekan lalu. Kapolres Jayawijaya, Superintenden D. Suripatty, memberi perintah kepada anggota staf kepolisan untuk menurunkan bendera Papua, Bintang Kejora, yang dikibarkan hampir di setiap sudut kota. Bendera Bintang Kejora dipandang sebagai cermin kemerdekaan Papua.

Usai apel, Kapolres Suripatty memimpin satu peleton Pasukan Pengendalian Massa dan satu peleton Pasukan Huru-Hara dari Brigade Mobil menuju pos komando Satuan Tugas Papua—milisi sipil—terdekat. Sesampainya di posko itu, pasukan Suripatty langsung menurunkan bendera biru Bintang Kejora dan memotong tiang penyangganya.

Lalu, rombongan Suripatty melanjutkan inspeksi ke posko-posko lain untuk melakukan hal serupa. Aksi mereka berjalan tanpa hambatan. Barulah ketika mereka sampai di posko kelima, mereka dihadang oleh 50 anggota Satgas Papua dan puluhan rakyat simpatisan gerakan Papua merdeka. Kelompok penghadang polisi itu tampak beringas, marah, dan siap berperang dengan beragam senjata di genggaman: panah, tombak, kapak, dan parang.

Melihat situasi genting, Superintenden Suripatty berbicara melalui pengeras suara, meminta agar bendera Bintang Kejora diturunkan. Tapi imbauan itu malah membuat marah anggota satgas. Mereka mulai merangsek maju, siap melawan. Lalu, Suripatty meletuskan tembakan peringatan ke udara, tiga kali.

Situasi sudah tak terkendali. Beberapa detik kemudian terjadi bentrok fisik antara Satgas Papua, yang didukung rakyat, dan pasukan polisi. Superintenden Suripatty nyaris terkena panah. Sersan Dua Muchtar Ode Belo, yang berusaha melindungi Kapolres, terkena tembakan pada pantatnya hingga harus dirawat di dumah sakit. Akhirnya, Kapolres Suripatty memerintahkan anak buahnya mundur ke Mapolres.

Kapolres Jayawijaya kembali menyusun kekuatan dan berkoordinasi dengan berbagai pihak, termasuk Polda Papua. Masih pagi, Suripatty bersama pasukannya kembali beraksi. Sasaran mereka kali ini adalah Posko Induk Satgas Papua—semacam markas besar—yang hanya berjarak 100 meter dari Mapolres Jayawijaya. Ketika pasukan polisi tiba, anggota Satgas Papua sudah bersiap menyambut dengan posisi siap berperang. Mereka langsung menyerang. Serda M. Arifin dari Brimob tertembak anak panah. Lalu jatuh korban dari Satgas Papua, Elieser Alua mati tertembak, terkapar berlumuran darah. Sementara itu, seorang anggota Brimob berhasil menurunkan bendera Papua, sekaligus merobek-robeknya.

Tumbangnya Alua dan robeknya Bintang Kejora seperti bensin disiramkan ke api. Kemarahan Satgas Papua dan penduduk sipil meledak. Bahkan terdengar pekik perang khas suku Dani—suku yang menganggap balas dendam atas kehormatan yang dilecehkan adalah keharusan. Lalu, tubuh bertumbangan dengan air mancur darah. Rumah-rumah dibakar. Kebrutalan di Wamena segera menjalar ke desa-desa sekitarnya. Terjadi pembantaian pendatang oleh orang asli Wamena dan Satgas Papua.

Kerusuhan dan pembantaian terhadap para transmigran tetap berlangsung keesokan harinya. Walaupun Kapolda Papua, Brigjen Pol. Drs. S.Y. Wenas, sudah mengedrop sekompi Brimob ke Wamena, keberingasan Satgas Papua masih sulit dikendalikan. Situasi gawat itu membuat penduduk pendatang di Wamena, termasuk orang-orang Papua yang non-Wamena, memilih mengungsi.

Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Dewan Papua, langsung menuding bahwa aparat polisilah yang menjadi gara-gara kerusuhan. Menurut Theys, Kapolres Jayawijaya telah melanggar hasil rapat Musyawarah Pimpinan Daerah 3 Oktober 2000, yang menyepakati bahwa Bintang Kejora boleh dikibarkan hingga 19 Oktober 2000. Tapi, Kapolda malah membuat aturan tambahan, yaitu bendera Bintang Kejora boleh berkibar asalkan di bawah Merah Putih dan ukurannya lebih kecil.

Pengibaran Bintang Kejora di bumi Papua tak hanya direstui pejabat setempat, tapi juga Presiden Abdurrahman Wahid saat dia berkunjung ke sana akhir tahun silam. Bahkan Presiden Abdurrahman sendiri yang mengganti nama Irianjaya menjadi Papua.

"Keberpihakan" Presiden tidak berhenti sampai di situ. Pada 4 Juli 2000, Presiden mengadakan pertemuan—tidak dijadwal oleh pihak sekretariat kepresidenan—dengan Theys di Jalan Irian 7, Jakarta Pusat. Presiden juga menyumbang Rp 1 miliar untuk Kongres Rakyat Papua, yang diselenggarakan pada 29 Mei-3 Juni 2000 dan salah satu resolusinya adalah keinginan Papua merdeka dari Indonesia.

Luapan harapan besar untuk merdeka telah membuat anggota Satgas Papua kian percaya diri. Mereka mengibarkan bendera Bintang Kejora di pos-pos mereka sebagai "bukti kedaulatan". Mereka terlibat dalam aksi pengamanan seperti layaknya polisi. Mereka juga terlibat bentrok dengan kelompok milisi lain yang tetap menginginkan bergabung dengan Indonesia (lihat tabel).

Namun, harapan itu masih tinggal harapan. Setelah ledakan kerusuhan dua pekan silam, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri tak menganggap bendera Bintang Kejora sebagai lambang kemerdekaan Papua. Presiden mengatakan, bendera Papua hanya boleh dikibarkan sebagai simbol kultural, bukan separatisme. "PSSI saja boleh bikin bendera, PON ada bendera, NU juga ada benderanya, tapi bendera budaya," kata Presiden Abdurrahman, pekan lalu.

Nasi sudah menjadi bubur. Kerusuhan Wamena membuktikan bahwa rakyat Papua sudah telanjur patah arang terhadap pemerintah pusat. Sejarah kekecewaan yang panjang akibat ketidakadilan dan penindasan rezim Orde Baru, serta konflik laten antara kaum asli dan pendatang, adalah magma matang dari perut gunung berapi yang siap menyembur.

Meskipun sudah diperingatkan pemerintah pusat bahwa aktivitas politik Papua merdeka akan berhadapan dengan tindakan keras aparat keamanan, mereka tidak gentar. Buktinya, Presidium Dewan Papua bertekad tetap mengumumkan kemerdekaan Papua, 1 Desember 2000, seperti diamanatkan Kongres Papua.

Sementara itu, sikap pemerintahan Presiden Abdurrahman, yang terkesan plin-plan terhadap isu Papua, telah memperparah kerusakan sosial. Presiden telah mengecewakan rakyat Papua karena bendera Papua harus diturunkan setelah hampir setahun berkibar dengan bebas di sana. Terlebih lagi, Bintang Kejora adalah lambang kemerdekaan Papua, wakil identitas politik, seperti halnya bendera rakyat Aborigin di Australia dan bendera Palestina.

"Sekarang, setelah terlambat, atau sudah sangat terlambat, kita baru menyadari. Dan sekarang, saudara-saudara kita di Papua merasa ditipu, dikhianati," kata Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais.

Kondisi Papua sudah mencapai tahap "tak bisa melangkah surut". Rekonsiliasi antara pihak yang menginginkan Papua merdeka dan pemerintah Indonesia makin tinggal di angan-angan saja. Sementara itu, tenggat 1 Desember 2000 makin dekat. Tampaknya pemerintah harus lebih rendah hati dan kembali mendekati rakyat Papua yang ingin merdeka, sebelum korban semakin banyak berjatuhan. Siapa tahu, kalau nanti berhasil, pemerintahan Presiden Abdurrahman bisa juga menyelesaikan ancaman disintegrasi lainnya, seperti Aceh.

Bina Bektiati, Tomi Lebang, Kristian Ansaka (Wamena)

Perlawanan Demi Bendera Bintang Kejora
TanggalTempatPeristiwaKorban
2 Desember 1999Timikapenurunan bendera oleh aparat keamanan disertai tembakan untuk membubarkan warga Papuatidak jelas
3 Maret 2000Nabirebentrok polisi vs Satgas Papua10 Satgas Papua tertembak (2 tewas)
22 Agustus 2000Sorongbentrok Satgas Papua vs Brimob3 tewas, 12 luka-luka, dan 23 ditangkap
5 September 2000Wosi dan Sanggeng, Manokwaribentrok Satgas Papua dan warga vs Brimob1 luka berat (sipil), 2 polisi babak-belur digebuki massa
12 September 2000Hamadi, Kecamatan Jayapura Selatanbentrok warga vs Polisitidak ada
6 Oktober 2000WamenaSatgas Papua dan warga vs polisi30 tewas, 45 luka-luka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus