Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Lintas Internasional

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Lanka:
Perginya Nyonya B

Sri Lanka berduka. Saat ketegangan sedang berlangsung di tengah pemilihan anggota parlemen dan ancaman kekerasan oleh gerilyawan Macan Tamil Eelam, bekas perdana menteri Sri Lanka, Sirimavo Bandaranaike, wafat. Di usianya yang ke-84, sang Ibu, Selasa pekan lalu, masih sempat mampir ke tempat pemilihan dan meninggal akibat serangan jantung.

Bandaranaike hanyalah ibu rumah tangga yang pemalu ketika suaminya, Solomon Bandaranaike, menjadi perdana menteri Sri Lanka pada 1956. Tiga tahun kemudian Solomon dibunuh oleh seorang pendeta Buddha, yang memaksa Nyonya B, panggilan akrab Bandaranaike, memimpin Partai Kemerdekaan Sri Lanka, dan pada 1960 dia menjadi perempuan pertama di dunia yang menjabat perdana menteri.

Keluarga Bandaranaike selalu disamakan dengan keluarga Bhutto di Pakistan dan Nehru di India, yang melahirkan dinasti politik. Chandrika Kumaratungga, Presiden Sri Lanka saat ini, adalah putri Bandaranaike. Sedangkan anak lelakinya, Anura Bandaranaike, tokoh partai oposisi. "Saya senang, kemurahan sejarah menjadikan suami saya, diri saya, dan kini anak perempuan saya pemimpin negeri ini," ujarnya beberapa waktu lalu. Meski sama-sama mengambil jalan sosialis, Bandaranaike memperlakukan sosialisme dengan cara berbeda dengan Kumaratungga.

Atas nama sosialisme Nyonya B mendepak perusahaan multinasional semacam Caltex dan Shell hengkang dari bumi Sri Lanka, dan menasionalisasi perusahaan partikelir selama dua periode pemerintahannya (1960-1965 dan 1970-1972).

Ironisnya, 40 tahun kemudian, sang putri, Kumaratungga, justru mengundang kembali 500 perusahaan multinasional. Saat itu pula sejarah politik modern juga mencatat pertama kali pada 1994 anak-beranak Nyonya B dan Kumaratungga memerintah sebuah negara.

Kumaratungga mungkin tak akan lama berduka, karena kubu politiknya Aliansi Rakyat menang dalam pemilu parlemen guna melempangkan jalan mengakhiri 17 tahun perlawanan separatis Tamil.

Korea Utara-Amerika:
Akhir Perang Dingin

Perang dingin sepenuhnya berakhir saat orang kedua paling berkuasa di Korea Utara, Wakil Ketua Komisi Pertahanan, Jo Myong-rok, menjejakkan kakinya di Bandara San Francisco, Ahad 9 Oktober. Inilah kunjungan pertama kalinya petinggi Korea Utara ke Amerika Serikat sejak Perang Korea pecah pada 1950. "Saya ingin menggunakan momen bersejarah di abad baru ini untuk memulihkan hubungan dengan Amerika," ujar Jo.

Hingga saat ini Amerika dan Korea Utara sebenarnya masih dalam keadaan perang dingin. Sebab, sejak Perang Korea usai pada 1953, tidak ada perjanjian damai. Misi utama kunjungan Jo adalah sebagai utusan khusus Pemimpin Korea Kim Jong-il untuk mencoret Korea Utara dari daftar hitam Departemen Luar Negeri Amerika sebagai satu dari tujuh negara yang mensponsori terorisme. Untuk itu, Amerika selama ini menghadiahi sanksi perdagangan bagi Korea Utara.

Sebaliknya, Amerika mempersoalkan program nuklir Korea Utara, teknologi rudal balistik, dan penjualan senjata ke negara yang tidak disukai Washington. Amerika selama ini menawarkan bantuan untuk membangun PLTN jika Korea Utara mau membekukan program senjata nuklirnya.

Selama tiga hari kunjungannya, Jo bertemu dengan Menteri Pertahanan Cohen, Menteri Luar Negeri Albright, dan Presiden Clinton. Di Gedung Putih Jo terlibat dalam pembicaraan sangat serius, membahas tuduhan penggunaan teknologi rudal balistik Korea Utara untuk kepentingan terorisme.

Tanda-tanda membaiknya hubungan Amerika-Korea Utara seiring dengan keberhasilan Konferensi Tingkat Tinggi Korea Utara-Korea Selatan Juli lalu, yang akan membuka penyatuan kembali dua Korea. Amerika dan Korea Utara saat ini sedang menjajaki kemungkinan pembukaan kantor penghubung di ibu kota masing-masing, sebagai langkah awal untuk pertukaran duta besar. Albright akan bertandang ke Pyongyang bulan depan untuk mempersiapkan pertemuan Clinton dengan Ketua Kim Jong-il.

Hungaria:
Dalai Lama Kampanye Kemerdekaan Tibet

Pemimpin spiritual Tibet di pengasingan, Dalai Lama, Kamis pekan lalu berkunjung ke Hungaria. Kunjungan ini atas undangan Central European University (CEU) dan Open Society Institute. Kedua lembaga ini berada di bawah pengelolaan sebuah yayasan milik pialang kelas dunia, George Soros.

Enam juta umat Buddha Tibet menganggap Dalai Lama sebagai perwujudan Buddha yang dilahirkan kembali untuk menyelamatkan manusia dari kehancuran. Belakangan ini Dalai Lama, 65 tahun, gusar jika pemerintah Cina pada saat kematiannya akan mentahbiskan seorang anak laki-laki selaku Panchen Lama, figur paling penting kedua bagi umat Buddha Tibet, yang akan dipilih sebagai reinkarnasi Dalai Lama. Sebelumnya, Dalai Lama sudah memperkenalkan anak lelaki lain sebagai reinkarnasi Panchen Lama pada 1995. Tapi pilihannya itu ditolak pemerintah Cina. "Jika saya wafat, reinkarnasi Dalai Lama logisnya akan berasal dari luar Tibet, di sebuah negara bebas," ujar Dalai Lama.

Perjuangannya membebaskan Tibet dari cengkeraman Cina tanpa kekerasan menghasilkan hadiah Nobel Perdamaian pada 1989. Sejak 1967 ia sudah mengunjungi lebih dari 46 negara. Dalam rangka itu pula Dalai Lama berbicara di depan akademisi dan ilmuwan di CEU untuk memperoleh dukungan dalam upaya melepaskan Tibet dari pendudukan Cina sejak 1950. Ironisnya, baru-baru ini ia menyatakan tidak setuju dengan gagasan Taiwan menyatakan kemerdekaannya dari Cina.

Swedia:
Pembangkang dan Mantan Pembangkan Memperoleh Hadia Nobel

"Ini sebuah keajaiban," ujar Gao Xingjian, 60 tahun, ketika Akademi Swedia, Kamis pekan lalu, mengumumkan dirinya sebagai pemenang Nobel dalam bidang susastra. Komentar Gao itu tak berlebihan, karena memang Gao adalah orang Cina pertama yang menerima hadiah itu selama 100 tahun sejarah Nobel.

Keputusan pemberian Nobel untuk Gao, yang belum dikenal oleh pembaca Barat, seolah merupakan pernyataan politik Akademi Swedia. Meski Akademi Swedia menyatakan bahwa penghargaan ini tak berkaitan dengan masalah geografis ataupun politik, toh sejarah hidup Gao selaku penulis menggambarkan kekacauan politik dalam negeri Cina. Gao selamat dari ganasnya kerja paksa selama sepuluh tahun di kamp reedukasi pada saat gelombang Revolusi Kebudayaan pada 1966 hingga 1976. Ia menulis secara sembunyi, dan ia terpaksa membakar sebuah tas penuh berisi manuskripnya. "Bagi saya, menulis adalah masalah bertahan hidup. Di Cina saya tidak bisa percaya pada sembarang orang, bahkan pada keluarga saya," ujar Gao.

Setelah Revolusi Kebudayaan, Gao bekerja sebagai penulis naskah drama di teater Seni Rakyat Beijing, tapi karyanya selalu dikritik idiolog komunis. Pada 1986 naskah dramanya berjudul Pantai yang Lain (The Other Shore) dilarang di Cina. Tak tahan menanggung represi, Gao hengkang ke Paris sebagai pengungsi politik pada 1987. Di Paris ia menulis karya berjudul Buron, dengan menggunakan latar belakang insiden di Lapangan Tiananmen pada 1989, dan sebagai protes Gao keluar Partai Komunis. Akibatnya, pemerintah Cina menyatakannya sebagai "orang yang tidak disukai". Sejak itu semua karyanya dilarang di Cina.

Novel ini menggambarkan pencarian kebebasan selama Gao melakukan perjalanan 10 bulan di pedalaman Cina. Pemerintah Cina bersikap sinis terhadap pemberian Nobel untuk Gao, dan menilai bahwa Nobel telah digunakan sebagai motif politik tersembunyi.

Pemerintah Cina boleh saja gerah ketika Gao memperoleh Nobel, tapi pemerintah Korea Selatan justru sebaliknya. Komite Nobel, Jumat pekan lalu, memutuskan Kim Dae-jung yang berhak memperoleh Nobel Perdamaian tahun 2000 ini. Presiden Korea Selatan ini dinilai telah berusaha keras menegakkan demokrasi dan hak asasi di Korea Selatan pada umumnya dan khususnya sangat berperan memperbaiki hubungan dua Korea.

Kim menjalani aktivitasnya sebagai pembangkang politik pada 1970 hingga 1980. Selama itu pula ia mengalami represi politik berupa penyiksaan, hukuman mati, pembuangan, tahanan rumah, yang dilakukan oleh rezim militer di Korea Selatan. Tapi hal itu tetap tak menggoyahkan semangatnya memperjuangkan prinsip demokrasi, hingga ia meraih kursi presiden secara demokratis pada 1997. Selaku presiden Korea Selatan, pada 1998 Kim berusaha mencairkan kebekuan hubungan politik selama 50 tahun dengan Korea Utara lewat "Kebijakan Cahaya Matahari". Dan puncaknya, pertemuan bersejarah antara Kim Dae-jung dan Kim Jong-il, pemimpin Korea Utara, di Pyongyang, 13 Juni lalu. "Saya akan terus mencurahkan diri saya pada hak asasi manusia, demokrasi, dan perdamaian di Semenanjung Korea, Asia, dan di dunia," ujar Kim Dae-jung, yang sebelum memimpin Korea Selatan dikenal sebagai aktivis.

Polandia:
Rakyat Polandia Memilih Bekas Birokrat Komunis

Aleksander Kwasniewski memastikan kemenangannya dalam pemilihan presiden Polandia dengan meraup 55 persen suara Senin pekan lalu. Ini masa jabatan kedua bekas menteri olahraga di bawah rezim komunis Polandia.

Kemenangan Kwasniewski terhadap lawan dari blok Solidaritas-termasuk Lech Walesa—membuktikan keunggulan administrasi mantan birokrat rezim komunis daripada kampanye retorik para pendobrak rezim komunis. Setelah rezim komunis runtuh di Polandia pada 1989, Kwasniewski, 46 tahun, berusaha mengikis akar komunisnya menjadi seorang sosial demokrat. Ia menerapkan ekonomi pasar dan berorientasi ke Barat. Ia merestukturisasi erusahaan negara, yang mulanya meningkatkan pengangguran sebesar 14 persen, tapi hasil akhirnya membuat perekonomian Polandia semakin sehat. Kebijakan ekonomi pasar ini mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Polandia menjadi 5,5 persen, dan akan tetap bertahan tahun depan.

Prestasi inilah yang diyakini membuat rakyat Polandia lebih memilih tokoh komunis yang murtad sebagai presiden. Bahkan Kwasniewski saat ini ingin bergabung dengan Uni Eropa. Aliansi Demokratik Kiri (DLA), yang merupakan gabungan partai kiri yang pro-Kwasniewski, dinilai berhasil menjaga stabilitas politik dan ekonomi, tinimbang Blok Solidaritas yang dipimpin oleh Marian Krzaklewski, yang pada pemilu ini hanya memperoleh 16 persen suara.

Yang menyedihkan, tokoh Solidaritas Lech Walesa hanya mampu meraih satu persen suara. Gejala yang sama terjadi di Lithuania, bekas republik Uni Soviet. Bekas presiden Algirdas Brazauskas memenangi pemilu pada Ahad, 8 Oktober. Tokoh komunis Lithuania di era Uni Soviet yang kini berganti baju memimpin koalisi partai Sosial Demokrat ini berhasil menyingkirkan Perdana Menteri Andirus Kublilius dari partai sayap kanan. Kebijakan barunya juga akan menggabungkan Lithuania dalam barisan kapitalis Uni Eropa.

Raihul Fadjri (dari Reuters dan AFP) dan Andree Priyanto (Budapest)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus