Setelah kasus bom di Bursa Efek Jakarta, polisi kembali membuat kejutan dengan menangkap buron ''kelas kakap": Soewondo, seorang tokoh kunci dalam skandal Bulog yang menyeret-nyeret nama Presiden Abdurrahman Wahid.
Dalam konferensi pers akhir pekan lalu, Kepala Dinas Penerangan Polri Brigjen Saleh Saaf mengatakan pihaknya telah mencokok Soewondo di sebuah rumahnya yang mewah, di Desa Tugu, Cisarua, Bogor. Soewondo dinyatakan sebagai tersangka dan menjadi buron pada Mei lalu, setelah skandal Bulog ribut dipersoalkan. Skandal itu pula yang belakangan menjadi salah satu titik api dalam perseteruan Presiden versus parlemen beberapa bulan terakhir.
Polisi belum memperbolehkan wartawan menemui Soewondo, yang ''masih stres dan bingung". Dalam pemeriksaan awal, polisi mengaku baru memperoleh kesaksian tentang apa yang dilakukan sang buron selama pelariannya. ''Selama beberapa bulan, Soewondo mengaku bertapa di gua-gua tepi pantai, termasuk di Parangtritis, Yogyakarta," kata Saleh Saaf. ''Baru satu bulan terakhir, dia berada di rumah Cisarua itu," tambahnya.
Polisi tak bersedia mengungkap kronologi rinci bagaimana pihaknya berhasil menangkap Soewondo—orang yang telah diburu bahkan dengan melibatkan jaringan polisi internasional. Dan itu menimbulkan kecurigaan. ''Saya tak percaya Soewondo ditangkap," kata Farid R. Faqih, Koordinator Government Watch (Gowa), organisasi partikelir yang dibentuk untuk menyidik kasus ini. Faqih curiga, polisi memang tak pernah serius mencoba menangkapnya.
Jika Faqih benar, kenapa kali ini polisi menangkapnya? Berita penangkapan Soewondo ini muncul hanya beberapa hari setelah Panitia Khusus DPR mengumumkan akan memanggil Presiden Abdurrahman untuk menjelaskan skandal Bulog dan sumbangan Sultan Brunei. Panitia yang dibentuk pada 5 September lalu itu tampak lebih serius menyidik kasus ini. ''Kami sudah mengetukkan palu untuk memanggil Presiden," kata Ade Komarudin, salah satu anggota panitia.
Melihat nafsu sebagian anggota Pansus, Presiden Abdurrahman akan dibuat pusing oleh pemanggilan ini. Apalagi jika nanti keterangan para saksi itu membuktikan Presiden terlibat. ''Kalau Presiden terlibat, kami akan membawa kasus ini ke sidang pleno DPR, yang bisa mengarah pada memorandum," tutur Ade. Memorandum, hak mengajukan pernyataan, bisa menjadi pijakan pertama menuju sidang istimewa MPR yang bakal menyungkurkan Presiden.
Pemanggilan itu adalah usaha lanjutan DPR untuk mengupas sejauh mana keterlibatan dan kesalahan Presiden, khususnya dalam skandal Bulog. Selain Presiden, diundang pula sejumlah pejabat tinggi: Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Menko Perekonomian Rizal Ramli, dan Jaksa Agung Marzuki Darusman. Sejumlah individu yang dianggap tahu tentang aliran dana itu juga dipanggil. Mereka adalah Siti Farikha (pengusaha), Sapuan (mantan wakil kepala Bulog yang dipidanakan), serta Soewondo sendiri.
Lama menghilang dan bahkan dinyatakan buron, Soewondo adalah salah satu tokoh kunci dalam misteri dana Bulog. Alif Agung Soewondo alias An Peng Sui dikenal tukang pijat Presiden Abdurrahman Wahid, setelah perkenalan mereka pada 1985. Ada yang menyebut Tionghoa muslim itu sebagai sinse khusus Presiden. Dia juga sangat leluasa keluar-masuk Istana Negara.
Adalah Soewondo yang mempertemukan Wakil Kepala Bulog Sapuan dengan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana pada 7 Januari 2000. Dalam pertemuan itu, menurut Sapuan, mereka antara lain membicarakan informasi dari Soewondo soal keinginan Presiden menarik separuh dari sekitar Rp 370 miliar dana taktis Bulog untuk penyelesaian masalah Aceh. Sapuan menyatakan siap mencairkan dana itu tapi menyarankan agar dibuat keputusan presiden supaya jelas pertanggungjawabannya.
Melalui Soewondo pula beberapa hari kemudian Presiden Abdurrahman menyampaikan tidak setuju membuat keppres. Namun, pada 11 Januari, Soewondo menghubungi lagi Sapuan atas nama Presiden agar dicarikan pinjaman senilai Rp 35 miliar untuk penyelesaian Aceh. Permintaan ini dilaporkan Sapuan ke Kepala Bulog Jusuf Kalla. Kalla menolak karena tidak ada surat resmi dari Presiden.
Namun, ketika Kalla berada di luar negeri, Sapuan nekat memerintahkan pencairan dana dengan harapan menjadi Kepala Bulog. Pada 13 dan 20 Januari, Yanatera, yayasan karyawan Bulog, mengeluarkan empat lembar cek yang seluruhnya senilai Rp 35 miliar. Menurut Faqih dari Gowa, uang tadi tidak dipakai untuk ''menyelesaikan masalah Aceh", melainkan meluncur ke rekening pribadi Leo Purnomo (diduga bersama Soewondo duduk dalam manajemen Awair, maskapai penerbangan yang dirintis Presiden Abdurrahman Wahid), Siti Farikha, Teti Sunarti (istri Soewondo), dan Suko Sudarso (Wakil Kepala Litbang PDI-P).
Pada akhir Mei, polisi menangkap Sapuan—Wakil Kepala Bulog yang malang—dengan tuduhan korupsi. Sapuan kini tengah menunggu perkaranya disidangkan. Dalam salah satu kesaksiannya di DPR Mei lalu, Sapuan merasa dirinya dikorbankan oleh Istana.
Akan halnya Soewondo, dia raib setelah kasus ini merebak ke publik. Polisi bertindak lamban. Tiga pekan setelah kasus itu terbongkar, polisi tetap belum bergerak. Baru setelah posisi Presiden kian terdesak oleh opini publik dan politisi DPR, polisi beraksi. Namun, ada kesan yang jelas bahwa semua kesalahan akan diarahkan kepadanya. Dalam pernyataannya di depan DPR, Kepala Bulog kala itu, Rizal Ramli, membenarkan keluarnya uang, tapi itu merupakan pinjaman pribadi Soewondo, dan bukan pinjaman pemerintah atas nama Presiden.
Pada 23 Mei, Polda Metro Jaya menggerebek rumah Soewondo di Kelapagading, Jakarta Utara, yang sudah kosong. (Agak aneh bahwa Sapuan dan Soewondo menjadi tersangka jika benar seperti kata Rizal Ramli bahwa itu hanya soal pinjam-meminjam). Di samping menyita foto-foto Soewondo bersama para pejabat/tokoh penting, polisi juga menyita kartu nama Soewondo yang menyatakan dia pengurus Awair.
Sehari setelah penggerebekan, Kapolri Rusdihardjo (yang kini sudah dipecat) dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab mengeluarkan pernyataan bahwa Soewondo sudah berada di luar negeri. Waktu itu, Kepala Sub-Dinas Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian, Kolonel Saleh Saaf, bahkan mengatakan bahwa pihaknya telah mengontak jaringan interpol. Imigrasi juga diminta mengecek mundur informasi orang yang ke luar negeri sebulan terakhir. Hasilnya? Nol besar.
Ke mana Soewondo? Di tengah pencarian besar-besaran itu, Faqih dari Gowa mengaku berhasil mengontak Soewondo, yang dipercayainya berada di sekitar Jakarta-Bogor. Faqih memastikan Soewondo berada di dalam negeri dari bukti lain: surat pernyataan utang Soewondo kepada Yanatera yang diteken pada pekan-pekan itu dan dikirimkan oleh seorang kerabat ke Bulog. (Artinya, perjanjian utang itu tidak diteken pada Januari, ketika uangnya cair seperti dikatakan Rizal Ramli, melainkan setelah kasus ini merebak.)
Hal menarik terjadi pada Siti Farikha dan Teti Sunarti. Setelah kasus merebak, dua perempuan ini mengembalikan uang yang diterimanya dari Yanatera di bawah sorotan televisi. Namun, polisi sama sekali tidak menyidik mereka. Agak aneh. Sebab, jika Sapuan ditahan dan Soewondo dinyatakan buron, kenapa dua perempuan itu tidak dituduh sebagai penadah?
Ade Komaruddin dari Golkar mengisyaratkan bahwa Siti Farikha punya hubungan istimewa dengan Presiden. Ade mengaku pernah mendengar Presiden Abdurrahman marah karena Siti Farikha hanya diberi proyek seragam oleh Polri.
Penelusuran TEMPO juga menunjukkan betapa Farikha, 33 tahun, memiliki hubungan yang amat dekat dengan Presiden Abdurrahman. Kedekatan itu sudah terjalin semenjak Abdurrahman menjadi Ketua Umum PBNU. Farikha adalah putri almarhum Kiai Haji Rochmat, seorang ulama NU yang cukup disegani di Demak, Jawa Tengah.
Seorang pengurus Partai Kebangkitan Bangsa di Jawa Tengah mengatakan, Presiden Abdurrahman Wahid kerap mengunjungi rumah Farikha di Semarang (Farikha juga memiliki rumah berlantai dua di Kompleks Graha Hijau Eksklusif, perumahan elite di Jakarta). ''Saya melihat hubungan mereka sudah seperti anak dan bapak,'' kata sumber itu. ''Apa pun yang diminta Farikha pasti dikabulkan Gus Dur," kata seorang mantan pengurus Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (organisasi mahasiswa NU).
Benarkah Presiden telah menggunakan pengaruhnya untuk menarik uang dari Bulog dan kemudian menyalurkannya ke pribadi-pribadi, termasuk Siti Farikha? ''Beberapa rekan kami sudah melihat ada indikasi abuse of power yang dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid," kata seorang anggota Pansus DPR.
Pertempuran sengit Presiden versus DPR kembali marak. Tapi, akankah soal serius menyangkut upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas korupsi ini akhirnya berakhir pada konsesi politik semata?
Johan Budi S.P., Tomi Lebang, Adi Prasetya, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini