Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mimpi Buruk Lahan Sejuta Hektare

12 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan ini, pemilik perkebunan di Riau telah melecehkan petugas dan pejabat negara yang mendatangi area konsesinya. Pada 2 September 2016, tujuh anggota tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan disandera ketika mendata dan menancapkan tanda segel di lokasi kebakaran lahan di lokasi milik PT Andika Permata Sawit Lestari, Kabupaten Rokan Hulu.

Kasus berikutnya adalah aksi penghadangan oleh petugas keamanan perusahaan terhadap Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead dan rombongan. Pada 5 September 2016, Nazir melakukan inspeksi mendadak terhadap kebakaran di lahan perkebunan milik Riau Andalan Pulp and Paper di Pulau Padang, Kabupaten Meranti.

Setiap musim kemarau, Provinsi Riau menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan. Titik api kebanyakan berasal dari lahan gambut yang dibuka untuk budi daya oleh perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri. Riau merupakan provinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Indonesia, yaitu 4 juta hektare, diikuti Kalimantan Tengah 3 juta hektare.

Tempo edisi 21 Desember 1998 menulis pada rubrik Lingkungan dengan judul "Mimpi Buruk Lahan Sejuta Hektare". Tulisan itu diawali dengan menangnya gugatan warga Desa Batanjung, Kapuas, Kalimantan Tengah, ke Pengadilan Negeri Kuala Kapuas. Mereka menggugat pemerintah atas proyek mencetak sawah satu juta hektare di Kalimantan Tengah yang menyebabkan bencana lingkungan.

Dari sembilan menteri yang mereka tuduh bertanggung jawab terhadap bencana itu, empat di antaranya, yakni Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri/Ketua Bappenas, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Negara Lingkungan Hidup, serta Menteri Keuangan, diwajibkan membayar ganti rugi Rp 2 miliar.

Proyek ambisius untuk swasembada pangan tersebut merupakan inisiatif Presiden Soeharto pada 1995. Pemerintah menyulap lahan gambut di Kalimantan Tengah itu menjadi area persawahan yang bisa ditanami padi.

Namun proyek besar itu ternyata tidak disiapkan dengan perencanaan matang. Salah satu bentuk perencanaan yang mentah itu adalah soal pengairan. Untuk mengairi lahan gambut itu dibangun kanal air utama sepanjang 122 kilometer dari rencana total sepanjang 750 kilometer dan lebar 25 meter. Tapi, karena luasnya lahan, tidak semua petak lahan bisa terairi.

Selain itu, penebangan pohon untuk pembangunan kanal tersebut menjadikan gerusan air tidak tertahan. Akibatnya, beberapa bagian lahan gambut berubah menjadi danau. "Idealnya saluran irigasi itu mengikuti kedalaman gambut. Nah, ini dibuat lurus saja, sehingga ketika ada lapisan gambut yang dalam, irigasi jebol," kata Rusdian Lubis, Direktur Amdal Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal). Selain itu, kanal yang dibangun di bawah permukaan batas air lahan gambut menyebabkan air tersedot. Akibatnya, lahan menjadi kering-kerontang.

Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) proyek ini memang tidak disiapkan dari awal. Menurut Rusdian, amdal regionalnya baru dibuat enam bulan setelah proyek berjalan. Rekomendasi yang dikeluarkan Bapedal agar proyek ini dibatasi sekitar 100 ribu hektare saja tampaknya juga tidak digubris.

Nilai ekonomis proyek raksasa itu pun dipersoalkan. Sebab, dari Rp 2,5 triliun uang yang dipakai untuk membiayai proyek itu, hasilnya tidak kelihatan. Saat ini, menurut Koensatwanto, Kepala Biro Pengairan dan Irigasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, baru 35 ribu hektare lahan yang dimanfaatkan oleh 12.500 keluarga transmigran sebagai lahan tanam. Tiap transmigran mendapat 2 hektare tanah pertanian dan seperempat hektare untuk halaman. Secara keseluruhan jumlah itu terlalu kecil untuk duit Rp 2,5 triliun.

Di samping itu, kondisi tanah yang asam menjadikan lahan gambut bukan merupakan lahan yang subur bagi pertanian, apalagi untuk tanaman pangan. Ada memang cara untuk mengurangi keasaman, yakni dengan menaburkan bubuk kapur. Namun paling tidak dibutuhkan 30 ton kapur untuk menetralkan asam per 1 hektare lahan. Bisa dibayangkan berapa lagi duit yang mesti dikeluarkan untuk mendatangkan kapur untuk sejuta hektare lahan. Selain itu, pengembalian keadaan lahan gambut ke bentuk asalnya memakan waktu paling tidak 40 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus