Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GRUP bisnis Bakrie seperti tak pernah berhenti "mencuri" perhatian publik. Kali ini memang bukan soal prestasi klub-klub sepak bola milik keluarga itu, melainkan masalah lama yang kembali berulang: utang yang besar.
Salah satu anak usaha Bakrie, Viva, yang berbisnis media—terdiri atas TV One, ANTV, dan situs berita Vivanews.co.id—mengajukan kredit Rp 2,3-2,5 triliun kepada Bank BNI untuk merestrukturisasi utangnya pada sindikasi Credit Suisse. Utang itu besar: US$ 220 juta. BNI lalu mengajak BRI, bank daerah, dan Credit Suisse membentuk sindikasi baru. Secara prinsip direksi bank-bank itu setuju memberikan kredit dengan tenor 7 tahun dan bunga 12 persen.
Sepintas tak ada yang janggal dengan pengajuan itu. Sebagai lembaga yang menjalankan fungsi intermediasi, peran penting perbankan adalah mengumpulkan dana publik dan menyalurkannya kepada yang membutuhkan dana. Dari pengelolaan bank yang berhati-hati, ekonomi akan tumbuh. Sebaliknya, akibat pengelolaan bank yang sewenang-wenang, seperti yang terjadi di masa lalu, muncul krisis yang menggoyahkan sendi-sendi perekonomian negara.
PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) mesti menyadari hal ini dalam menimbang permohonan kredit PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) itu. Urusan kredit mesti dilihat secara pruden dengan kacamata bisnis perbankan dan tak boleh bercampur dengan kepentingan politik pihak mana pun.
Dalam hal kredit VIVA, soal pengajuan kredit yang sebenarnya merupakan aktivitas biasa itu menjadi masalah yang tidak biasa.
Diduga proses persetujuan pinjaman berlangsung tidak pruden. Direksi BNI dan sindikasi tak mengindahkan rekomendasi tim analisis agar menolak proposal VIVA. Padahal hasil kerja tim analisis biasanya selalu dipakai manajemen bank untuk memutuskan pengucuran kredit.
Alasan yang dikemukakan tim analisis sesungguhnya patut didengar. Pertama, Grup Bakrie punya reputasi kurang baik dalam hal utang, suka gali lubang tutup lubang. Kedua, datangnya era televisi digital diramalkan menggerus prospek bisnis stasiun televisi analog di bawah bendera VIVA, sehingga mengurangi kemampuan perusahaan membayar utangnya nanti. Menurut laporan keuangan VIVA tahun 2015, pendapatan kotor perusahaan itu tahun lalu Rp 2,1 triliun, berkurang Rp 170 miliar dari tahun sebelumnya.
BNI, BRI, dan bank daerah mesti belajar dari lembaga keuangan asing yang sudah lebih dulu menolak permintaan kredit kelompok perusahaan Bakrie. Manajemen bank-bank itu sepatutnya turut mengkaji dengan kritis poin-poin keberatan bank asing, mengingat besarnya nilai kredit yang hendak dikucurkan.
Soalnya, jika kredit tersebut macet, itulah asal-muasal dari masalah besar pada perekonomian, yakni krisis. Kita tentu belum lupa dua periode besar krisis keuangan dalam 20 tahun terakhir. Keduanya berawal dari manajemen kredit yang tidak sehat, yang kemudian memaksa negara mengeluarkan dana sangat besar untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Pada krisis 1998, pemerintah mengucurkan dana talangan untuk 48 bank hingga sekitar Rp 600 triliun. Sedangkan pada 2008 Lembaga Penjamin Simpanan mem-bailout Bank Century Rp 6,7 triliun.
Saat ini perbankan nasional sedang dalam keadaan yang tak begitu bagus. Rasio kredit bermasalah sudah mencapai 2,8 persen pada kuartal pertama tahun ini, naik 4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Dana cadangan risiko perbankan pun meningkat hampir 40 persen dibanding tahun lalu, mencapai Rp 126,62 triliun.
Bank BNI, menurut perhitungan terakhir, rasio kredit bermasalahnya telah menyentuh angka 3 persen. Yang paling banyak macet adalah kredit korporasi.
Berhati-hati bukan berarti berhenti menyalurkan pinjaman. Bank sebaliknya mesti selalu berusaha meningkatkan kredit, terutama pendanaan usaha, demi terciptanya virtuous circle, yang mendorong percepatan ekonomi. Hanya, BNI dan bank sindikatnya perlu ekstra-hati-hati.
Manajemen bank harus memastikan keputusan pemberian kredit dibuat berdasarkan analisis kelayakan yang komprehensif. Analisis itu mesti dipastikan sudah mempertimbangkan karakter calon debitor, kemampuannya menjalankan usaha, aspek kapital yang meliputi kekayaan dan tingkat likuiditas, serta kondisi ekonomi secara umum. Yang sangat penting, bank wajib menghitung kolateral atau jaminan yang diberikan atas kreditnya. Dalam kasus utang berskala besar begini, lebih baik Otoritas Jasa Keuangan mengambil langkah preventif, lebih ketat mengawasi proses pengucuran kredit, agar tak tergopoh-gopoh ketika terjadi masalah.
Di negeri ini, skandal kredit yang melibatkan bank negara biasanya lahir akibat bersatunya kepentingan politik penguasa dan urusan bisnis pengusaha. Bank BNI pernah mengalaminya dalam kasus kredit macet Texmaco. Jangan sampai sejarah kelam itu berulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo