Beruntunglah pemerintahan Habibie. Meskipun mereka menunda rencana penutupan sejumlah bank tiga pekan lampau, rapor mereka untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan nasional rupanya lumayan juga. Paling tidak, jika diukur dari tingkat kepanikan responden menyongsong kebijakan stop kliring terhadap sejumlah bank swasta yang lagi sekarat. Mayoritas responden tidak lagi melihat rencana "likuidasi" itu sebagai ancaman atas keselamatan simpanan mereka. Kecenderungan itu berbeda betul ketika pada November 1997 pemerintah secara sembrono "membunuh" 16 bank. Gelombang kepanikan melanda. Antrean panjang nasabah mengular di berbagai mesin anjungan tunai mandiri dan kantor bank.
Kebijakan pemerintah untuk menjamin sepenuhnya simpanan nasabah rupanya merupakan faktor utama dari fenomena kalemnya publik. Karena itu, yang terlihat, sebagian besar nasabah tenang-tenang saja. Mereka tidak merasa perlu buru-buru menarik atau memindahkan simpanannya di bank semula. Alasannya, toh sudah dijamin pemerintah. Kalaupun ada yang merasa perlu pindah bank, itu karena mereka tidak mau repot mengurus tetek-bengek pemindahbukuannya bila banknya ditutup. Cuma seperlima responden yang kalang-kabut dananya tak bisa ditarik lagi.
Lalu, bank mana yang menjadi pilihan? Sebelum ada gonjang-ganjing likuidasi, bank swasta nasional memang boleh bertepuk dada. Dengan jaringan luas dan berbagai layanan yang memanjakan nasabah, mereka berhasil menyedot porsi terbesar dana masyarakat, sampai akhirnya badai krisis membuka kedok mereka. Rupanya, dalam prakteknya, lembaga keuangan ini difungsikan tak lebih sebagai kasir dan sapi perahan bagi kelompok usahanya sendiri. Bukti telanjang penggarongan dana masyarakat ini tak pelak lagi membuat kredibilitas bank swasta nasional anjlok. Menurut jajak pendapat ini, hampir 60 persen nasabahnya ramai-ramai menarik simpanannya.
Limpahan "berkah nasabah" itu tentunya lalu menggelontor ke bank pemerintah. Bank pelat merah yang dinilai lebih aman itu sekarang nangkring di peringkat pertama. Setelah likuidasi, jumlah nasabahnya meroket hampir dua kali lipat. Tentu saja, itu bukan berarti semua bank kategori ini lebih bugar. Sebagian juga tak kalah brengseknya dari yang swasta. Timbunan kredit macet gara-gara kolusi di Bapindo, Bank Rakyat Indonesia, dan Bank Bumi Daya, misalnya, tak kalah bau busuknya. Sebagian lainnya, saat ini juga tengah megap-megap dihajar kredit macet akibat sektor riil yang mampet gara-gara krisis ekonomi serta negative spread akibat kebijakan uang ketat dan meroketnya suku bunga.
Yang menarik, kehancuran bank swasta nasional itu juga diikuti dengan naiknya jumlah "nasabah bantal". Kalangan ini lebih suka menyimpan uang dengan caranya sendiri. Mungkin di bawah bantal atau di tempat lain, yang jelas bukan di bank. Jika dikaitkan dengan latar belakang pendidikan, kecenderungan itu terutama berasal dari kalangan berpendidikan SMTA ke bawah. Untuk jebolan perguruan tinggi atau akademi, kalaupun ada, peningkatannya tidak signifikan.
Dalam masalah penyimpanan uang ini, bagi nasabah yang terpenting adalah kejelasan informasi mengenai kondisi kesehatan banknya. Sumber informasi yang paling mereka andalkan adalah penjelasan pemerintah. Apa mau dikata, pemerintah?meski kelewat sering plintat-plintut?adalah tokoh sentral dalam urusan ini. Sayangnya, soal transparansi justru merupakan bagian langsung dari kebobrokan perbankan negeri ini. Informasi yang amat tertutup bahkan manipulatif membuat nasabah memilih bank seperti membeli kucing dalam karung. Yang ada cuma fatamorgana menyesatkan. Efek dari tampilan gedung mentereng, iming-iming hadiah, dan suku bunga yang kadang-kadang tak masuk diakal. Betapa orang banyak tersentak ketika, misalnya, Bank Harapan Sentosa milik Hendra Rahardja?kakak kandung Edi Tansil?dilibas pemerintah.
Beginilah nasib nasabah di negeri ini setiap kali pemerintah mulai mengasah pisau bedah. Menebak nasib banknya seperti main tebak kancing atau menguping desas-desus dan spekulasi dari kiri-kanan.
Karaniya Dharmasaputra
INFO GRAFISSimpanan Anda terancam? | Tidak | 56% | Ya | 28% | Ragu-ragu | 16% | | Anda mempercayai jaminan pemerintah? | Ya | 66% | Tidak | 6% | Ragu-ragu | 28% | | Apa tindakan Anda? | Membiarkan simpanan di bank semula, karena sudah dijamin pemerintah | 48% | Memindahkannya ke bank yang lebih aman, khawatir tidak bisa ditarik | 20% | Memindahkannya ke bank yang lebih aman, agar tidak repot mengurus pemindahannya | 19% | Saya tarik dan simpan sendiri | 9% | Tidak menjawab | 4% | | Sumber informasi soal kesehatan bank | Penjelasan pemerintah | 51% | Berita dan ulasan pakar di media massa | 23% | Kalangan terdekat | 22% | Neraca dan penjelasan bank di media massa | 20% | Bertanya langsung ke manajemen bank | 17% | Lain-lain | 2% | | Di mana Anda menyimpan uang? | | Setelah ada likuidasi | Sebelum ada likuidasiBank pemerintah | 60% | 38%Bank swasta nasional | 24% | 56%Menyimpannya sendiri (tidak di bank) | 13% | 8%Bank campuran (swasta nasional _ asing) | 4% | 9%Bank swasta asing | 2% | 4%Bank di luar negeri | - | -Tidak menjawab | 5% | 2% | |
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
---|
|
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 505 responden di lima wilayah DKI pada 24 Februari sampai 2 Maret 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini