APA hubungan pemilu dengan semangkuk sup? Bagi Safril Faried, Senior Research Executive ACNielsen, keduanya punya keterkaitan. Menghadapi pesta coblosan yang serba baru, kesiapan 131 juta calon pemilih perlu diteliti dengan cermat. Tapi, ibarat memasak semangkuk sup, untuk mengetahui gurih-tidaknya tak perlu menyeruput seluruhnya. Cukup mencicipi satu sendok. Itulah kira-kira yang dilakukan sebuah penelitian bertajuk Survei Nasional Pendidikan Pemilih Indonesia.
Tentu saja urusannya tidak sesederhana masak-memasak. Penelitian yang baru pertama kali dilaksanakan itu melibatkan berbagai lembaga beken. Pemrakarsanya adalah The Asia Foundation bekerja sama dengan United Nations Development Programme dan Clearing House Pendidikan Pemberi Suara Yogyakarta. Penelitian lapangan ditangani lembaga riset terkemuka, ACNielsen Indonesia (sebelumnya: Survey Research Indonesia Nielsen). Penelitian ini juga melibatkan konsultan dari Charney Research, yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Jajak pendapat ini membidik populasi 131 juta calon pemilih. Mereka inilah responden potensial dengan kriteria: warga negara berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah bagi yang belum cukup umur. Daerah penelitian meliputi semua provinsi?kecuali Timor Timur, yang dinilai rawan. Aceh cuma sebagian. Pergolakan setelah pembunuhan tentara membuat Aceh Timur dan Aceh Utara terpaksa dikesampingkan. Safril mengungkapkan, salah seorang penelitinya sudah sempat memasuki Pidie, tapi lalu ditarik karena dirazia warga yang dicekam curiga.
Responden dijaring melalui metode sampel acak bertahap (multi-stage random sampling). Caranya, berdasarkan data Biro Pusat Statistik, pertama-tama dipilih kelurahan atau desa di setiap provinsi sesuai dengan perimbangan populasi. Kemudian, petugas lapangan memilih dua rukun tetangga (RT). Di tiap-tiap RT ditentukan 20 rumah. Berdasarkan titik awal yang telah ditentukan, dengan meloncati setiap lima rumah, petugas memilih empat di antaranya. Semua responden potensial di rumah itu lalu didaftarkan berurut, dari yang paling tua sampai yang termuda. Akhirnya, dengan menggunakan formulir Kish Grid, dipilih satu orang untuk diwawancarai. Total jenderal, diperoleh 2.593 responden.
Riset berlangsung dua tahap. Pertama: metode kualitatif dengan 15 wawancara mendalam di Jakarta serta pedesaan Jawa Barat dan Sumatra Utara selama dua minggu pada November lalu. Tujuannya untuk merumuskan daftar pertanyaan. Sebelum dibawa ke lapangan, kuesioner diuji awal kepada 30 responden untuk memastikannya mudah dimengerti, apalagi yang menyangkut istilah politik yang mungkin aneh di telinga dua pertiga responden di pedesaan. Ada sebuah kasus unik. Saat uji awal, Safril menanyakan soal demokrasi kepada seorang ibu separuh baya dari Desa Nanggung di pelosok Kabupaten Bogor. Si ibu cuma bengong. ''Maaf, demokrasi teh apa?" tanyanya lugu.
Tahap kedua menggunakan metode kuantitatif melalui wawancara tatap muka mendalam. Di sini ada dua lapis. Yang pertama: wawancara dengan 1.204 sampel yang mencerminkan komposisi penduduk secara nasional. Yang kedua: terhadap 1.389 over-sample dari Aceh, Irian, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan. Over-sample diperlukan untuk memperoleh gambaran lebih detail. Aceh dan Irian perlu didalami karena menonjolnya pergolakan politik lokal. Sedangkan lima kota besar itu penting karena kepadatan dan kemajemukan penduduknya.
Penelitian lapangan berlangsung sebulan penuh, dari Desember sampai Januari lalu, dan melibatkan 200 pewawancara berpengalaman serta delapan penyelia. Kondisi lapangan menjadi kendala tersendiri. Saat sampel lokasi jatuh di pelosok gunung, misalnya, tim diupayakan jalan terus. Segala cara ditempuh, termasuk menumpang truk militer. Belum lagi situasi politik setempat. Pewawancara di Irian pernah ciut. Ternyata, penelitan mereka berbarengan dengan survei Organisasi Papua Merdeka. Juga, pada saat merebaknya pembantaian dukun santet, salah seorang staf di Kabupaten Bogor malah dikira ninja. Lucunya, warga yang ''siaga satu" ngotot agar tanya jawab dilakukan beramai-ramai di masjid.
Menurut perhitungan, batas kesalahan atau margin error penelitian ini cuma sekitar tiga persen (dari batas toleransi lima persen). Dengan demikian, menurut Safril, survei ini punya tingkat keterwakilan amat tinggi dan mendekati kenyataan populasi?termasuk perimbangan jenis kelamin, kota-desa, pendidikan, dan usia, yang sering diabaikan berbagai penelitian serupa. Jadi, silakan memelototi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini