DULU, ke mana orang Indonesia pergi bila ''sakit gigi" di negeri sendiri? Jawabnya: ke luar negeri. Lo? Ya, karena di Indonesia sulit untuk ''buka mulut". Guyonan Jenderal (Purnawirawan) Soemitro (kini almarhum) itu dengan tepat menggambarkan betapa sulitnya untuk bebas berbicara dan berpendapat di era pemerintahan Presiden Soeharto. Orde Baru, seperti kata Soemitro, punya banyak pembenaran?yang terkadang tak pernah diperdebatkan?untuk ''menutup pintu kebebasan" itu: belum ada kerukunan antar-agama, masih ada ilusi federalis, banyak gerakan separatis, dan sederet alasan lainnya.
Presiden Soeharto turun panggung pada 21 Mei 1998. Praktis era Orde Baru disudahi dan bendera reformasi dikerek di mana-mana. Adakah reformasi membuat kebebasan berpendapat lebih baik di negeri ini? Sebuah survei yang dilakukan empat lembaga?di antaranya United Nations Development Programme dan Clearing House Pendidikan Pemberi Suara Yogya?di 26 provinsi (Timor Timur tidak disurvei) menjawab pasti: kebebasan berpendapat dan berpolitik kini lebih baik dibandingkan dengan sebelum Mei 1998. Di era Soeharto dulu, hanya 28 persen responden yang merasa bebas berpendapat. Tapi sekarang ini yang merasa bebas meningkat dua kali lipat jumlahnya. Perasaan bebas ini hampir merata. Hanya, di Kalimantan, yang belum lama ini dilanda kerusuhan antarsuku, orang merasa kebebasan masih mencekam. Dan yang paling merasa tidak bebas adalah Irianjaya?daerah tempat peran militer masih dominan.
Kebebasan politik jelas syarat penting bagi tumbuhnya demokrasi. Pengamat seperti Herbert Feith yakin benar bahwa Indonesia bergerak semakin demokratis. Alasan Feith, trauma politik tahun 1965 mulai berkurang, kelas menengah tumbuh, dan pemilik modal semakin menuntut kepastian hukum. Tapi survei ini mencatat bahwa kebanyakan responden tak tahu persis seperti apa negara yang demokratis itu. Sebagian kecil responden membayangkan bahwa demokrasi itu adalah adanya hak-hak politik rakyat sebagai ganti sistem otoriter. Ada juga yang menjawab demokrasi itu berarti perbaikan ekonomi.
Kesulitan memahami demokrasi itu otomatis berarti responden juga bingung tentang faedah demokrasi. Responden tak tahu apa yang akan diberikan demokrasi di Indonesia?jika itu ada?kepada kehidupan mereka. Survei ini mencatat ada 63 persen responden yang tak tahu kaitan demokrasi dengan kehidupannya. Sebagian responden bilang bahwa yang akan diberikan demokrasi di Indonesia adalah perbaikan ekonomi?berupa tersedianya sembako (sembilan bahan pokok), pemulihan ekonomi, dan gerakan antimonopoli. Yang mengaitkan demokrasi dengan hak-hak politik adalah kelompok yang paling kecil (14 persen).
Orde Baru, yang berkuasa lebih dari 30 tahun, memang menjauhkan rakyat dari demokrasi. Pada awal kekuasaannya, Orba dihadapkan kepada dua pilihan penting: pembangunan ekonomi semata-mata?mengingat inflasi 600 persen?atau pembangunan ekonomi seiring dengan perubahan politik. Orba jelas-jelas memilih yang pertama. Maka partai politik diringkas, pers dikontrol, dan asas tunggal Pancasila untuk organisasi massa dicanangkan. Keputusan ini dipertahankan terus sampai lengsernya Soeharto pada Mei 1998.
Rakyat yang terbiasa ''kehilangan" demokrasi akhirnya tak merasa itu merupakan masalah besar. Buat lebih dari separuh responden, masalah terbesar adalah ekonomi, sedangkan sebagian kecil menyebut kekerasan dan problem sosial sebagai masalah yang dihadapi. Separuh responden sudah mengurangi konsumsi barang mewahnya dan hampir separuh lainnya sudah mengurangi pembelian bahan makanan pokok. Yang mengurangi kebutuhan pokok terutama mereka yang berada di Jawa, Kalimantan, dan Sumatra. Sedangkan Sulawesi dan Irianjaya adalah dua tempat yang paling tidak merasakan krisis. Harga jual produk pertanian yang tinggi?apalagi untuk produk yang bisa diekspor?diduga menjadi salah satu penyebabnya. Secara umum, hanya sekitar 10 persen responden yang merasa tak kena imbas krisis.
Itu sebabnya separuh responden?yang disurvei pada Desember 1998 sampai Januari 1999?merasa tidak ada perbaikan berarti di Indonesia setahun belakangan ini. Hanya sebagian kecil yang menyebut ada perbaikan berupa pulihnya ekonomi atau meningkatnya kebebasan berbicara serta reformasi politik. Jumlah mereka yang menyebut ada perbaikan berupa pulihnya ekonomi ini hampir sama dengan kelompok yang merasa tak terkena imbas krisis ekonomi. Kelompok terakhir ini hanya minoritas.
Sesungguhnya, ''sukses" pembangunan ekonomi Orde Baru?sebelum diluluhlantakkan krisis ekonomi?juga sering dikritik sebagai hal yang bukan milik rakyat banyak. Sebuah seminar yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di masa itu mencatat kritik keras tadi. Orde Baru diakui pendukungnya berhasil membangun ekonomi dalam suasana politik yang stabil. Tapi politik yang stabil itu lebih banyak karena monopoli peran pemerintah, bukan karena sumbangan masyarakat banyak, dan monopoli politik itu menyuburkan praktek kolusi. Akibatnya, sumber daya ekonomi yang besar dikuasai segelintir orang di dekat kekuasaan, kekayaan hanya dimiliki orang yang ''itu-itu" juga, dan rakyat banyak merasa diabaikan pemerintah.
Benarkah perasaan terabaikan itu terbawa-bawa sampai era reformasi? Hasil survei ini mengejutkan: 63 persen responden tidak setuju bahwa pemerintah mengabaikan rakyatnya. Secara meyakinkan, pernyataan tak diabaikan pemerintah ini bisa didengar di Sumatra (74 persen), Sulawesi (71 persen), dan Kalimantan (60 persen). Tapi, di Jawa, hanya 58 persen yang menganggap pemerintah tak mengabaikan rakyatnya. Sejak Soeharto lengser pada Mei 1998, demonstrasi besar boleh dibilang melanda seluruh Jawa?mulai urusan korupsi Soeharto sampai urusan sembako. Tentu saja tak semua tuntutan rakyat itu dipenuhi.
Yang patut dicatat adalah kasus Irianjaya. Di provinsi ke-26 RI itu hanya 47 persen yang mengatakan pemerintah tak mengabaikan rakyatnya?paling rendah dibandingkan dengan tempat lain. Padahal responden di Irian yang mengaku kena dampak krisis moneter sangatlah sedikit. Artinya, rendahnya kepercayaan di Irianjaya bukan lantaran soal ekonomi. Soal politik? Sangat mungkin. Belum lama ini para ketua adat dan pemuka masyarakat Irianjaya menghadap Presiden B.J. Habibie dan mengusulkan agar Irianjaya bisa bebas merdeka sebagai negara mandiri. Berbagai kekerasan oleh pihak militer serta ketidakadilan pembagian kue ekonomi pusat-daerah?misalnya dalam kasus Freeport?dijadikan alasan untuk minta cerai dari Indonesia.
''Penyimpangan" jawaban di Irianjaya juga terjadi ketika ditanyakan kepada responden: apakah keadaan di Indonesia sekarang ini sedang bergerak menuju arah yang benar? Hanya 36 persen orang Irian yang percaya RI bergerak ke arah yang benar. Sedangkan sebagian besar orang Sumatra yakin arah negara ini sudah benar (66 persen). Begitu juga orang Sulawesi (61 persen) dan Kalimantan (49 persen). Di Jawa, hanya 44 persen responden yang percaya bahwa arah negara sudah benar.
Secara umum, separuh dari total responden merasa yakin RI sedang menuju jalan yang benar. Dan hanya seperempat yang mengatakan ''arah negara ini salah". Sisanya menjawab ''tidak tahu". Survei ini menyimpulkan: rakyat yang optimistis tersebar di berbagai daerah, di setiap kelompok usia dan penghasilan, baik di kota maupun di pedesaan. Dari wawancara mendalam dengan responden di berbagai daerah, didapat keterangan bahwa di saat media massa meliput kekerasan yang makin dahsyat, masyarakat Indonesia umumnya masih merasa positif tentang perjalanan negeri ini.
Responden kelompok kecil yang mengatakan ''arah negara ini salah" sebagian besar menunjuk krisis ekonomi sebagai alasannya. Alasan kedua terbanyak adalah pecahnya kerusuhan di banyak tempat.
Masa sulit yang dialami rakyat rupanya tak memudarkan optimisme akan masa depan negeri ini. Sekitar tujuh dari sepuluh responden (71 persen) yakin bahwa masa depan Indonesia cerah. Keyakinan seperti itu hampir merata di seluruh Nusantara, kecuali di Irianjaya. Di provinsi ini, kepercayaan akan masa depan yang cerah itu kurang dari 40 persen?jauh dibandingkan dengan pulau lainnya. Dikaitkan dengan rendahnya kepercayaan rakyat Irianjaya tentang kebebasan politik dan ''arah negara", jelas ada ''api di dalam sekam" di provinsi paling timur Indonesia itu.
Umumnya, survei ini menunjukkan kepercayaan rakyat masih belum pupus kepada negeri ini. Keyakinan bahwa Indonesia kembali akan membaik masih menebar di mana-mana. Dan ini harus dijaga agar Indonesia tidak tersandung-sandung dari satu sistem ke sistem yang lain, seperti kritik Clifford Geertz sekitar tahun 1973. Ahli ilmu sosial ini saat itu mengkritik demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin yang penuh ketidakpastian itu. Dan sistem berikutnya, Orde Baru, yang pernah menjadi tumpuan harapan selama 30 tahun, juga ''tersandung" dan kemudian ambruk meninggalkan krisis yang dalam. Sampai kapan ''orde reformasi" ini bisa tegak berdiri? Itu banyak bergantung pada bagaimana pemerintah mengatasi kerusuhan, bentrok agama, bentrok antarsuku, dan bentrok antarpendukung partai politik. Sungguh banyak ''batu sandungan" yang tak mudah dilompati.
Toriq Hadad
Perbaikan-perbaikan di Indonesia | Ekonomi Perubahan Politik Pembangunan Reformasi Tidak Ada | 13% 12% 10% 8% 51% |
Kebebasan Mengungkapkan Pendapat Politik | Saat ini | Ya - 55% Tidak - 20% |
Sebelum Mei '98 | Ya - 28% Tidak - 42% |
Dampak Krisis Ekonomi | Tidak ada efek Mengurangi pembelian barang mewah Mengurangi pembelian bahan pokok | 11% 47% 40% |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini