Beberapa tahun lalu, media massa kita ramai memberitakan nasib para TKW Indonesia di Arab Saudi. Setelah datang sendiri dan bergaul dengan masyarakat Saudi, saya melihat dan mendengar betapa nasib mereka mengenaskan. Soal kebaikan dan manfaat keberadaan mereka di Arab Saudi, saya rasa tak perlu diperdebatkan, karena memang itulah yang menjadi daya tarik kedatangan mereka ke sana. Tapi, di balik itu, harga diri sebuah bangsa yang merdeka terinjak-injak karena lembaran rial yang mengalir deras ke Persada Nusantara. Akankah nasib TKW berubah dengan "perlengkapan" keterampilan memasak? Akankah harga diri sebuah negara yang disegani bisa dijamin dengan setumpuk undangundang? Bila masyarakat kita berbondong-bondong datang sebagai khadamah di Arab Saudi, akan lahir julukan, kita bangsa pelayan dan penghibur pada setiap sanubari masyarakat Arab. Di samping itu, pengaruh psikologis TKW sendiri berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka yang tadinya merupakan orang-orang lugu dari kampung, setelah mengenal Arab Saudi menjadi perempuan-perempuan pemberani. Maksudnya, berani melawan orangtua, berani melawan suami, dan berani melawan keluarga. Sementara dulu mereka penakut terhadap lawan jenis, sekarang menjadi agresif karena pengaruh kurungan dan makanan. Akankah persoalan ini kita lupakan karena kebutuhan devisa untuk pembangunan? Mengapa erosi moral umat di perantauan tersingkir dari perhatian bapak-bapak kiai di MUI? DEDEN TSABIT FAKIH PO Box 2092 Medina Al Munawwaro Arab Saudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini