Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Oplah Dan Kutukan Jurnalisme

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU hal yang membanggakan pekerja kreatif adalah ketika karya mereka dinikmati banyak orang. Begitu pula dalam jurnalisme. Semakin banyak laporan wartawan dibaca atau ditonton, semakin tersebar ide, pengetahuan, dan opini mereka ke masyarakat. Itulah hakikat kerja jurnalistik: menyebarkan informasi dan membentuk pendapat umum.

Selasa pekan lalu, manajemen Tempo menggelar syukuran. Bertempat di lantai lima Gedung Tempo di bilangan Palmerah, Jakarta Selatan, kami merayakan pencapaian 100 ribu pelanggan Koran Tempo digital. Cukup mencengangkan: jumlah pelanggan itu diperoleh kurang dari enam bulan. Setahun terakhir kami memang jorjoran memasarkan semua produk digital kami lewat aplikasi Tempo Media, yang bisa diunduh lewat Apple Store dan Play Store.

Agar tak bikin bingung, izinkan kami menjelaskan. Anda tentu tahu, Grup Tempo memproduksi Koran Tempo, majalah Tempo, dan Tempo English versi cetak—produk yang bisa Anda temukan di toko buku dan lapak pinggir jalan. Di abad Internet seperti sekarang, kami juga memproduksi ketiganya dalam format digital yang bisa diakses lewat komputer, tablet, atau telepon pintar. Bukan hanya teks dan foto, versi digital Tempo dilengkapi dengan video dan audio. Berbeda dengan portal berita Tempo.co, koran dan majalah versi digital merupakan produk berbayar. Perlu ditekankan, jumlah pembaca digital itu belum menghitung keseluruhan jumlah pelanggan edisi cetak kami selama ini.

Kami percaya ini baru permulaan. Dengan sejumlah kerja sama—di antaranya dengan maskapai Garuda Indonesia—jumlah pembaca itu akan terus ditingkatkan. Lewat perusahaan penerbangan tersebut, kami dapat menyebarkan akses aplikasi kami kepada 1,8 juta orang pelaju kerap (Garuda Frequent Flyers) lewat sejumlah program promosi. Kerja sama serupa kini dirintis dengan sejumlah institusi lain.

Dengan ikhtiar ini, kami tak cemas pada isu "senjakala media cetak". Frasa ini beberapa tahun terakhir memang telah jadi momok. Pertumbuhan media cetak saat ini tak sebanding dengan kegandrungan orang pada Internet. Kami ingin terus hidup, bahkan jika nanti media cetak benar-benar telah ditinggalkan.

Bagi publik, ini juga kabar baik. Selama ini mereka yang tinggal jauh dari Jakarta akan terlambat, jika bukan sulit sama sekali, memperoleh harian Ibu Kota. Jarak dan biaya kirim jadi persoalan. Lewat versi digital, semua orang di seluruh dunia dapat membaca koran pada detik yang sama. Koran Tempo digital, misalnya, bisa diakses sekitar pukul 01.00 WIB—beberapa jam saja setelah awak redaksi menyelesaikan laporannya. Dari sisi media, kami juga bisa mengurangi penggunaan kertas—ikhtiar untuk lebih ramah terhadap lingkungan.

Pembaca yang budiman, memperbanyak konsumen harus dilakukan juga dengan menjaga mutu. Selain dengan memastikan proses kerja berjalan baik, kontrol pascaproduksi merupakan faktor penting. Dalam hal yang terakhir ini, kami memberdayakan ombudsman Tempo.

Berasal dari bahasa Swedia, ombudsman merujuk pada lembaga yang menampung dan menginvestigasi keluhan publik. Awalnya lembaga ini hanya menelisik sambat masyarakat kepada pemerintah. Belakangan, ombudsman juga diterapkan di lembaga swasta, termasuk media.

Ombudsman Tempo dipimpin oleh Redaktur Khusus Gendur Sudarsono. Dalam kasus-kasus tertentu, kami juga melibatkan anggota ad hoc. Ketika menelisik pemberitaan Tempo tentang pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, kami melibatkan Kepala Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Kuskrido Ambardi. Dodi—demikian Kuskrido biasa disapa—dipilih karena merupakan pembaca setia Tempo, dan sejauh ini cukup jernih dalam melihat keriaan demokrasi tersebut.

Pilkada Jakarta memang telah menjadi sumber hiruk-pikuk. Di tengah pertarungan keras dua kandidat, media harus pandai-pandai meniti buih. Polarisasi membuat mereka yang berdiri di tengah pun bisa salah tingkah. Oleh mereka yang di kiri, orang yang di tengah disebut berada di kanan. Oleh mereka yang di kanan, disebut di kiri.

Apalagi netralitas media telah menjadi separuh ilusi. Seperti disiplin ilmu sosial lainnya, jurnalisme seperti telah "dikutuk untuk secara alamiah berpihak". Pemilihan berita, sudut pandang, narasumber, bahkan kata dan kalimat berpotensi "tak netral". Yang penting: bagaimana media melawan "kutukan" itu.

Ombudsman adalah sebagian ikhtiar itu. Juga keinginan untuk berbagi dengan pembaca. Karena itu, penilaian ombudsman tersebut kami sajikan dalam rubrik dengan nama serupa. Dodi dipilih untuk menuliskannya buat Anda.

Kesediaan untuk membuka rahasia dapur ini kami lakukan karena kami tidak ingin hidup di atas menara. Kami ingin pembaca menjadi bagian dari kerja jurnalistik kami—termasuk manakala kami dianggap kurang gigih melawan "kutukan" tadi. l


Tanggapan Mahasiswa Universitas Surya

KAMI dari Majelis Perwakilan Mahasiswa Surya University ingin memberikan tanggapan terhadap pemberitaan di majalah Tempo edisi 24-30 Juli 2017 sebagai berikut.

1. Pada rubrik Opini berjudul "Pudarnya Impian Yohanes Surya" tertulis: "... menurunnya mutu fasilitas dan pengajaran Universitas Surya dan STKIP Surya...". Tempo juga menulis: "Pemerintah perlu mengusut dan bertindak tegas terhadap pelanggaran yang ’mungkin’ dilakukan." Kami mempertanyakan atas dasar apa Tempo menilai terjadi penurunan mutu fasilitas dan pengajaran. Dengan asumsi tersebut, bagaimana mungkin Tempo mendesak pemerintah mengusut dan bertindak tegas?

2. Tempo menempatkan laporan berjudul "Prahara di Kampus Surya" di rubrik laporan khusus kriminalitas. Kami mempertanyakan alasan laporan itu ditempatkan di bagian kriminalitas dan tidak di bidang pendidikan.

3. Pada foto yang ditempatkan di halaman 52 disebutkan keterangan "Suasana belajar mahasiswa Universitas Surya". Keterangan tersebut tidak tepat karena ruangan yang ada di dalam foto itu merupakan student lounge, tempat santai dan berdiskusi mahasiswa Surya.

4. Di halaman 57 disebutkan bahwa Rohan Hafas (Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri) membantah ada perjanjian dengan PT Surya Research International. Sedangkan Direktur Utama Mandiri Kartika Wiryoatmodjo malah mengakui perjanjian tersebut. Informasi ini tidak selaras dan menimbulkan kebingungan.

5. Pada halaman yang sama disebutkan: "Irwan juga mengatakan universitas terindikasi menyalahgunakan peruntukan kredit yang mereka terima." Terlepas dari kebenaran opini ini, tidak ada keterangan dalam paragraf tersebut, siapa Irwan dan profesi apa yang membuat dia bisa beropini.

6. Pada artikel berjudul "Janji Manis Berujung Nestapa" di halaman 58-59, Tempo mengutip sumber dosen musik bernama Hotma B.P. Hutagalung alias Bu Rita. Di Universitas Surya tidak ada program studi ilmu musik. Bahkan tidak ada dosen bernama Hotma B.P. Hutagalung atau Rita.

7. Kami mempertanyakan izin pengambilan foto-foto bangunan kampus kepada pihak universitas. Kami juga tidak melihat nama penanggung jawab di foto seluruh artikel.

Kami juga ingin menyatakan bahwa hingga sekarang kegiatan Universitas Surya tetap berjalan. Sebagian mahasiswa angkatan 2013 telah menempuh sidang skripsi dan segera lulus. Terima kasih.

Wilson Yohatha
Ketua MPM 2017/2018

Terima kasih atas tanggapan Anda. Berikut ini penjelasan kami:

1. Rubrik Opini merupakan cermin sikap editorial Tempo atas suatu peristiwa.

2. Penyimpangan penggunaan kredit tanpa agunan yang merugikan orang lain merupakan tindakan kriminal yang bisa dituntut secara pidana.

3. Saat reporter Tempo mendatangi ruangan itu, tampak beberapa mahasiswa sedang belajar.

4. Kami melaporkan sesuai dengan fakta yang kami temukan di lapangan.

5. Seperti dijelaskan dalam artikel itu, Irwan Lubis adalah Deputi Pengawasan Perbankan Otoritas Jasa Keuangan, lembaga yang berwenang mengawasi industri perbankan.

6. Hotma B.P. Hutagalung adalah pengajar musik yang melatih paduan suara Universitas Surya.

7. Nama penanggung jawab foto tercantum di dalam artikel itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus