Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo membentuk Unit Kerja Presiden Bidang Pemantapan Ideologi Pancasila. Lembaga setingkat menteri ini akan membantu Presiden mengkoordinasikan, mensinkronkan, dan mengendalikan pelaksanaan ideologi Pancasila.
Termasuk mengimplementasikan nilai Pancasila melalui sekolah, lembaga pemerintahan, hingga organisasi kemasyarakatan. "Pancasila harus diamalkan, dikonkretkan, diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan dalam kehidupan sehari-hari kita," ujar Presiden Jokowi ketika membuka rapat kabinet terbatas, pekan lalu.
Apa yang dilakukan Jokowi mengingatkan pada Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) dan Penasihat Presiden tentang Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7) yang dibentuk Presiden Soeharto pada 1979.
Tempo edisi 11 Agustus 1979 menurunkan tulisan bertajuk "Pisau Bermata Dua". Saat itu, Tim P7 yang dipimpin ketuanya, Roeslan Abdulgani, menghadap Presiden Soeharto. Soeharto meminta Tim P7 mengecek dan mengawasi sampai ke mana penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) mencapai sasaran. "Yang berhak menilai pelaksanaan P4 kan MPR. Sedangkan penataran hanyalah salah satu bagian dari pelaksanaan P4," kata Roeslan.
Untuk melaksanakan tugas tersebut, harus ada norma-norma yang sayangnya belum selesai ditentukan. Tapi Roeslan menyebut contoh norma yang bisa ditentukan. Misalnya, situasi sebelum dan sesudah penataran dalam suatu unit pemerintahan sudah ada perubahan atau belum. "Jadi bukan lulus-tidaknya penataran," ujarnya.
Roeslan menjelaskan, penataran itu bisa disebut sebagai semacam "opstib mental", semacam persuasi. "Sistem demokrasi selalu mengenal persuasion dan coercion, bujukan dan paksaan, yang merupakan dua sayap dari satu ide. Dan penataran P4 inilah merupakan persuasion-nya," katanya.
Dia mengakui banyaknya peserta penataran P4 yang menyampaikan unek-unek, kritik, dan alternatif. Dan setelah ditatar, kata Roeslan, orang menjadi lebih tahu tentang Pancasila, lalu menyoroti aparat pemerintah. "Jadi penataran ini terkadang lebih merupakan pisau bermata dua. Bukan masyarakat saja yang digugah menghayati dan mengamalkan Pancasila, tapi masyarakat sendiri—dengan pisau pandangan itu—bisa tertuju kepada aparat pemerintah," ujar Roeslan.
Bagi Taufik Abdullah, ahli sejarah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mendalami P4 ada risikonya. Semakin tahu P4, bisa frustrasi. Sebab, kenyataan yang terjadi di masyarakat tidak cocok dengan nilai-nilai luhur dalam P4. Atau mungkin malah menjadi munafik.
Wakil Ketua BP7 Profesor Harsojo mengakui terdengarnya kritik keras, terutama dalam diskusi—acara penting penataran. Menurut dia, penataran ini paling tidak merupakan penyampaian pengetahuan mengenai P4, Undang-Undang Dasar 1945, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Bahwa setelah ditatar menjadi baik, itu memang bukan jaminan.
Penataran P4 ini ternyata cukup berat. Jadwalnya ketat, berlangsung selama 15 hari sejak pukul 8 pagi hingga 6 petang. Memang cukup ada istirahat dan makan. Tapi, seperti kata Taufik Abdullah, "Syarat yang terpenting bagi peserta ialah harus sehat." Maksudnya agar bisa mengikuti secara tuntas.
Sekali absen sudah dianggap gugur dan harus mulai dari awal. Lupa tidak membubuhkan tanda tangan dalam buku absen pun, meski orangnya hadir, akan mendapat teguran tertulis. Begitu pula bila lupa menyerahkan pasfoto. Apalagi terlambat hadir.
Apakah penataran ini tidak mengganggu tugas peserta? "Tidak. Sesuai dengan ketentuan, peserta penataran sedapat mungkin jangan terganggu oleh tugas kantor," kata A. Bustomi, Wakil Ketua Panitia Penataran P4 Sekretariat Negara.
Artinya, tiap bagian jangan sampai macet karena satu-dua orang ikut penataran. Di Sekneg, tiap angkatan meliputi 80 orang ditambah 10 peninjau istri dan 10 wartawan Sekneg. Juga di berbagai departemen lain, seperti Departemen Pertambangan, para wartawan yang ngepos di sana ikut ditatar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo