Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Limbungnya Bumiputera

26 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSOALAN keuangan akut Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera menunjukkan lemahnya pengawasan yang berlangsung bertahun-tahun. Otoritas Jasa Keuangan perlu berhati-hati mengatasi masalah perusahaan asuransi tertua di Indonesia dengan 6,7 juta pemegang polis itu. Menyelamatkan lembaga swasta ini dengan uang negara pun tak boleh menjadi pilihan.

Problem Bumiputera sebetulnya telah berawal dari perusahaan yang berbentuk usaha bersama, bukan perseroan terbatas. Dengan model yang menyerupai arisan ini, Bumiputera tidak dikelola dengan prinsip-prinsip perusahaan asuransi yang baik. Kendali terhadap manajemen perusahaan sangat lemah. Pengelolaannya pun ruwet. Misalnya, Bumiputera memiliki Badan Perwakilan Anggota, selain komisaris, yang mengawasi direksi.

Bentuk mutual itu memiliki sejarah panjang. Bertujuan meningkatkan kesejahteraan guru, Boemi Poetra didirikan pada 1912. Pada 1966, namanya berubah menjadi Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera. Perusahaan ini tumbuh pesat dan pernah masuk 10 perusahaan asuransi terbesar di Indonesia. Jangkauannya sangat luas, sebagian besar di perdesaan.

Sayangnya, negara belum memiliki undang-undang yang mengatur usaha bersama. Pada April 2014, Mahkamah Konstitusi, memenuhi sebagian tuntutan uji materi Undang-Undang Usaha Perasuransian, memang telah memerintahkan penyusunan aturan hukum tentang ini. Namun, hingga melewati tenggat dua setengah tahun sejak putusan turun, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat belum menjalankan putusan. Walhasil, Bumiputera tetap berjalan dengan segala keruwetannya.

Pembenahan persoalan menahun ini tak kunjung dilakukan, sering kali, karena alasan nonbisnis. Faktor kesejarahan membuat Bumiputera—badan usaha pertama bentukan kaum pribumi—ditempatkan sebagai artefak yang harus dilindungi. Usul mengubah usaha bersama menjadi perseroan terbatas pun dianggap sebagai konspirasi "menyingkirkan satu-satunya perusahaan asuransi besar nasional".

Bisnis perusahaan asuransi tua ini akhirnya ketinggalan zaman, tertatih-tatih menghadapi persaingan. Pada 2013, Otoritas Jasa Keuangan mengawasi secara intens perusahaan ini. Penyebabnya, rasio risk-based capital Bumiputera mencapai 250 persen, jauh di atas ketentuan maksimal 120 persen. Otoritas Jasa Keuangan dua kali melayangkan surat peringatan gara-gara persoalan finansial.

Jarak antara kekayaan dan kewajiban semakin besar dalam beberapa tahun terakhir. Pendapatan premi tidak cukup untuk menutupi kebutuhan klaim dan biaya operasional. Pertumbuhan utang pun lebih cepat daripada investasi. Beberapa investasi meleset dan memperparah kondisi keuangan perusahaan. Bumiputera kian limbung, bahkan di ambang kejatuhan.

Pada titik itu, Otoritas Jasa Keuangan mendepak direksi dan komisaris Bumiputera, lalu menunjuk tujuh orang pengelola statuter. Lembaga pengawas ini berwenang melakukannya demi melindungi kepentingan pemegang polis. Berbagai upaya penyelamatan dilakukan, antara lain dengan menggandeng sejumlah konsultan dan lembaga keuangan. Dewan Perwakilan Rakyat menekankan agar uang negara tidak dipakai untuk kepentingan ini. Peringatan dari Senayan itu sudah tepat.

Jika penyelamatan gagal, bisnis asuransi di Indonesia mungkin saja terguncang. Dengan 6,7 juta pemegang polis, kejatuhan Bumiputera pasti akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat kepada asuransi. Pemerintah bisa jadi akan menghadapi kemarahan jutaan pemegang polis itu.

Pemegang polis Bumiputera semestinya telah menyadari risiko memilih asuransi pada perusahaan bermodel usaha bersama. Dalam bentuk ini, perusahaan membagi keuntungan dan risiko kepada pemegang polis yang sekaligus menjadi pemegang saham. Artinya, pemegang polis akan mendapat dividen jika perusahaan untung dan, sebaliknya, harus menanggung kerugian jika perusahaan rugi.

Pemerintah selayaknya segera membuat terobosan untuk membereskan status badan hukum Bumiputera. Bentuk usaha bersama terbukti rapuh menahan gempuran persaingan. Di banyak negara, perusahaan model ini cenderung bermerger dengan perusahaan lain atau melakukan demutualisasi.

Pengambilalihan pengelolaan perusahaan selayaknya dilakukan dengan cara yang patut. Anggota tim statuter haruslah bersih, jujur, dan tidak punya kepentingan. Jika tidak, akan muncul berbagai gugatan hukum yang bisa saja mengganggu restrukturisasi perusahaan.

Pemerintah perlu mencari opsi investor yang paling menguntungkan. Pertimbangannya hanya pada faktor apakah pemilik baru itu mampu memberikan return terbaik untuk Bumiputera. Bukan pertimbangan lain, semacam jargon-jargon nasionalisme. Dengan begitu, perusahaan dapat diselamatkan. Kepentingan 6,7 juta pemegang polis pun bisa dilindungi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus