Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo pekan lalu melantik sembilan anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Komposisi anggota dewan pertimbangan ini menuai kontroversi karena sebagian besar berasal dari partai-partai pendukung Jokowi. Di era Orde Baru, presiden juga memiliki badan penasihat yang bernama Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Fungsinya mirip dengan Dewan Pertimbangan Presiden, yaitu memberi masukan kepada kepala negara. Namun ketika itu publik tidak berani mempersoalkan latar belakang anggota DPA. Majalah Tempo edisi 7 Mei 1983 mengulas ihwal pemilihan anggota DPA.
Banyak yang gembira terhadap susunan keanggotaan DPA yang baru. "DPA yang baru ini pasti akan lebih 'hidup'," ujar seorang pengamat. Ia menunjuk kehadiran tokoh seperti Ali Moertopo, G. Sugiharto, dan Sabam Sirait dalam DPA periode 1983-1988 yang baru dilantik.
Ketiga tokoh itu selama ini memang dikenal terbuka dan gampang ditemui wartawan. Mereka termasuk muka baru dalam susunan DPA baru ini.
Pimpinan DPA yang baru ini ternyata tak meleset dari ramalan yang sebelumnya banyak beredar. Ketua: M. Panggabean, dengan wakil Ali Moertopo (ABRI), Sapardjo (Golkar), Soenawar Sukowati (PDI), dan John Naro (PPP).
Di antara 40 anggota DPA baru ini terdapat empat orang lagi bekas menteri Kabinet Pembangunan III: Daoed Joesoef, A.R. Soehoed, Harun Zein, dan Soedarsono Hadisapoetro. Purnawirawan ABRI juga cukup kuat diwakili dengan kehadiran eks KSAD Widodo dan Makmun Murod, eks KSAU Saleh Basarah, Piet Haryono, Slamet Danusudirdjo, Achmad Lamo, Syarief Thayeb, Awaluddin Djamin, dan Mashudi.
Dalam DPA sebelumnya, Harry Tjan Silalahi, 49 tahun, dari CSIS, merupakan anggota termuda, sedangkan kini generasi "muda" diwakili oleh tokoh yang sebaya, seperti bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Soerjadi, 44 tahun, dan Sabam Sirait, 46 tahun (keduanya dari PDI) serta Barlianta Harahap (PPP). Satu-satunya wanita dalam DPA baru adalah Zakiah Daradjad.
Banyak yang selama ini menganggap DPA sebagai "tempat penampungan" orang-orang tersisih. Bekas Ketua DPA Idham Chalid menolak anggapan ini. Ia menyebutkan dewan yang pernah dipimpinnya itu "tempat orang-orang bijak bestari". Selama masa kepemimpinannya, DPA menyampaikan 34 buah pertimbangan mengenai berbagai masalah kepada Presiden. Tidak jelas apakah pertimbangan itu diterima dan dipakai Presiden. Namun, dalam pidato pertanggungjawaban di depan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1 Maret lalu, Presiden memuji DPA yang "telah menjalankan tugas konstitusionalnya dengan penuh dinamika". Pertimbangan yang diberikan DPA, "Telah menambah bahan pemikiran yang sangat berharga bagi kepala negara dalam mengemudikan negara," kata Presiden Soeharto.
Para anggota DPA baru ini tampaknya menerima tugasnya dengan bersemangat. Soerjadi, misalnya, berharap DPA bisa melakukan hal yang diinginkan masyarakat. "Misalnya memberi sumbangan pikiran atau nasihat yang bersifat membantu pengawasan," ujarnya.
G. Sugiharto, 54 tahun, setuju. "DPA juga harus berani. Suatu saat harus berani mengambil sikap take it or leave it seperti zaman Pak Wilopo dulu," katanya. "Soal diterima atau tidak, itu sepenuhnya terserah Presiden."
Buat Widodo, 57 tahun, anggota DPA dianggapnya harus punya pikiran yang jauh lebih ke depan. "Tidak bisa dong nasihat kita malah berada di belakang yang dinasihati. Selain itu, sasarannya harus konstruktif, tidak cengeng," kata bekas KSAD itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo