Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Utusan Golongan

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA orang, jika hendak berdemokrasi, sedikitnya kita harus mengindahkan koridor konstitusi, sementara konstitusi yang sampai saat ini sah adalah UUD 1945. Perkara nanti, dalam Sidang Umum MPR 1999, Batang Tubuh UUD 1945 hendak diamendemen, silakan saja.

Perkara utusan golongan dalam penjelasan UUD 1945 Pasal 2 berbunyi, ”Yang disebut ’golongan-golongan’ ialah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja, dan lain-lain badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubungan dengan anjuran mengadakan sistem koperasi dalam ekonomi, maka ayat ini mengingat akan adanya golongan-golongan dalam badan-badan ekonomi.”

Draf dari KPU menyebutkan bahwa utusan golongan itu akan terdiri atas golongan agama (20), penyandang cacat (2), etnis minoritas (2), pegawai negeri sipil (5), LSM, pemuda, mahasiswa (5), ekonomi lemah (9), budayawan, ilmuwan, seniman, dan cendekiawan (9), perintis kemerdekaan dan veteran (5), dan perempuan (5).

Jelas sekali bahwa draf komposisi utusan golongan KPU tersebut sama sekali menyimpang dari amanat UUD 1945, atau KPU tidak menangkap esensi penjelasan Pasal 2 UUD 1945 yang dikutip di atas.

Kalau kita memahami UUD 1945 secara utuh, kita akan bisa menangkap bahwa jabaran utusan golongan tersebut tidak terlepas dari amanat UUD 1945 secara keseluruhan, yakni pesan bahwa jalan ekonomi dalam UUD 1945 yang harus ditempuh bangsa ini adalah koperasi. Karena itu, dalam memilih utusan golongan, wakil-wakil koperasi dikedepankan. Pesan berikutnya adalah serikat pekerja, yang semestinya diisi dari wakil-wakil serikat pekerja merdeka (independen), artinya bukan serikat pekerja semacam SPSI yang didikte penguasa.

Maka, yang paling logis, yang memiliki hak utama duduk sebagai utusan golongan adalah wakil-wakil koperasi. Kesan buruk akan keberadaan koperasi di zaman pemerintah Orde Baru tidak meniadakan hak koperasi untuk duduk sebagai utusan golongan. Mungkin saja koperasi semacam GKBI, Susu Pujon, Koperasi Perajin Ukir Jepara, Koperasi Industri Permesinan Slawi, Koperasi Perajin Ukir Bali, dan kopkar-kopkar adalah pilihan-pilihan utama utusan golongan mewakili koperasi.

Serikat pekerja hendaknya juga mendapat pengutamaan dengan mengurutnya secara logis sesuai dengan lapangan kerjanya yang memberikan kontribusi paling besar dalam GDP, misalnya petani, nelayan, pekerja perkebunan, pekerja kehutanan, pekerja industri, PNS, polisi, dan TNI (jika saja belum diwakili di DPR).

Jika dua golongan ini sudah terwakili, baru dibuat tafsir yang paling bijak dan logis tentang ”lain-lain badan kolektif”. Tafsir ”lain-lain badan kolektif” tersebut tentu saja bukan golongan agama, mahasiswa, perempuan, etnis minoritas, seniman, dan sejenisnya.

Kalau boleh saya menyarankan, badan kolektif lainnya ini lebih baik diisi asosiasi-asosiasi perusahaan, organisasi profesi, dan organisasi masyarakat yang bertujuan sosial.

Proporsinya yang paling logis adalah wakil koperasi 40 persen (26), wakil serikat pekerja 40 persen (26), dan lain-lain badan kolektif 20 persen (13).

Syarat utama utusan-utusan golongan tadi tentu saja tidak berafiliasi dengan parpol atau menjadi onderbouw dari parpol. Sebab, jika demikian, sistem perwakilan di MPR menjadi rancu.

Selama ini kita sebagai anak bangsa sudah sering menafsirkan pasal-pasal dalam UUD 1945 sesuka hati. Marilah di zaman reformasi ini kita kembali ke rel yang benar. Aculah tafsir yang sudah disediakan (kalau kita hendak mendaftar golongan-golongan yang ada dalam masyarakat tanpa kriteria jelas, sampai jompo pun tak akan selesai).

Namun, sejalan dengan pendapat umum yang saat ini berkembang, saya setuju, dalam susunan MPR setelah Pemilu 2004, sebaiknya utusan golongan tersebut ditiadakan, sementara jumlah utusan daerah, agar tidak merusak sifat representatif hasil pemilu dan tidak menimbulkan onar seperti sekarang ini, sebanyak-banyaknya hanya 10 persen dari jumlah wakil yang dipilih lewat pemilu (kalau jumlah anggota MPR 700 dan yang dipilih lewat pemilu hanya 462, rasanya tidak perlu diadakan pemilu).

MARTONO MODJO
Depok

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus