Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembatasan Kendaraan Bermotor
BEBERAPA waktu lalu ada seorang petinggi di Indonesia yang mengatakan kemacetan lalu lintas di Jakarta adalah pertanda meningkatnya kesejahteraan. Sebab, kemampuan ekonomi masyarakat baik dan daya beli meningkat karena banyak yang mampu membeli kendaraan bermotor roda empat.
Pernyataan tersebut bisa salah dan bisa juga dianggap benar, tergantung dari sudut mana kita memaknainya. Sebenarnya, alasan paling utama warga Kota Jakarta dan sekitarnya membeli kendaraan pribadi adalah belum memadainya sarana angkutan umum yang aman serta nyaman. Maka mereka memandang penting untuk memiliki kendaraan pribadi agar mobilitas terjamin, walaupun sebagian besar dari mereka memaksakan diri dengan membeli mobil secara kredit.
Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, dari peraturan three in one sampai ganjil-genap nomor kendaraan, tapi tidak pernah berhasil. Bahkan, menurut data yang dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, kemacetan di Jakarta pada saat ini sudah mencapai angka 48 persen.
Pemerintah Indonesia sudah seharusnya mengontrol jumlah kendaraan, tidak hanya di Jakarta, tapi di seluruh Indonesia. Sebab, kemacetan lalu lintas sekarang ini bukan hanya milik Jakarta, tapi juga sudah menjadi masalah serius di hampir semua kota besar di Indonesia. Ditambah lagi sebagian besar masyarakat Indonesia pemilik mobil tidak mempunyai garasi dan memarkir mobilnya di pinggir jalan tanpa mempertimbangkankan dampaknya terhadap lingkungan sekitar.
Kita bisa mengambil contoh Singapura dalam mengontrol dan membatasi kepemilikan kendaraan roda empat. Setiap orang yang akan membeli mobil diharuskan mempunyai certificate of entitlement yang biayanya bisa mencapai paling tinggi Rp 433 juta, tergantung kapasitas mesin mobil yang akan dibeli. Selain itu, harga mobil di Singapura juga demikian tinggi. Sebagai contoh, Toyota Fortuner harganya Sin$ 190 ribu atau sama dengan Rp 2,037 miliar. Sementara itu, di Indonesia harganya hanya Rp 500-700 juta. Harga Honda Jazz mencapai Sin$ 95.999 atau setara dengan Rp 1,021 miliar. Pajak kendaraan harus dibayar setiap enam bulan dan asuransi adalah hal wajib.
Apalagi Singapura adalah negara kecil dengan lahan terbatas. Karena itu, pembatasan jumlah kendaraan roda empat menjadi suatu keniscayaan. Namun di sisi lain pemerintah Singapura terus-menerus meningkatkan fasilitas angkutan umum, baik dari segi kuantitas maupun kualitas layanan. Padahal, seperti kita ketahui, angkutan umum di Singapura termasuk yang terbaik di dunia.
Jepang juga melakukan pembatasan dengan berbagai macam peraturan yang cukup ketat. Salah satunya mewajibkan kepemilikan garasi atau tempat parkir yang disewa. Bagi yang tinggal di apartemen, mereka harus mempunyai tempat parkir dalam radius 2 kilometer dari tempat tinggal. Karena itu, penduduk Jepang secara maksimal menggunakan angkutan umum. Sementara itu, beberapa negara di Eropa melakukan kontrol dengan cara membatasi umur kendaraan.
Tentu ada cara mengontrol populasi kendaraan di Indonesia dan semua pemangku kepentingan bisa bekerja sama untuk merumuskan formula yang workable dan tidak merugikan siapa pun. Di negeri kita tidak kurang orang pintar yang sangat memahami masalah transportasi umum.
Mengutip ucapan Wali Kota Bogota, Kolombia: “Negara maju bukan tempat orang miskin bisa memiliki mobil, melainkan tempat orang kaya mau menggunakan transportasi umum.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waspada Cuaca Ekstrem
BADAN Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika sudah memperingatkan bakal ada cuaca ekstrem hingga pertengahan Oktober ini. Banjir adalah kejadian paling sering. Ini menunjukkan bahwa bencana iklim memang sudah datang susul-menyusul. Apa tindakan mitigasinya? Para politikus jangan sibuk menyiapkan strategi dalam Pemilihan Umum 2024. Bencana iklim ini jauh lebih berbahaya dari apa pun karena korbannya tak pandang bulu, bahkan menimpa mereka yang paling rentan: anak-anak, perempuan, dan orang miskin. Maka sudah seharusnya mitigasi krisis iklim ini menjadi perhatian kita semua.
Dewi B.
Bogor, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo