Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lonjakan tingkat inflasi inti di Amerika Serikat bisa mendorong The Fed menaikkan suku bunga.
Penguatan dolar AS yang terlalu tajam dapat mengancam negara berkembang.
Bank sentral akan menguras devisa untuk menahan turunnya nilai mata uang.
SEPERCIK optimisme pasar, bahwa inflasi di Amerika Serikat akan mulai jinak, kini meredup sudah. Meskipun The Federal Reserve (The Fed) sudah sangat agresif menaikkan bunga sejak Maret lalu, tetap saja inflasi di Amerika melayang tinggi tak terkendali.
Per September 2022, tingkat inflasi tahunan di Amerika mencapai 8,2 persen. Memang, angka ini sedikit lebih rendah ketimbang angka pada Agustus yang sebesar 8,3 persen. Tapi yang membuat pasar tersentak adalah lonjakan tingkat inflasi inti. Inilah indikator inflasi yang menjadi patokan utama The Fed dalam pembuatan kebijakan, karena tidak mencakup harga energi dan makanan yang mudah bergejolak. Angkanya melejit menjadi 6,6 persen secara tahunan, tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Pasar finansial sedunia langsung bergejolak.
Cuma ada satu interpretasi terhadap data itu: bunga di Amerika akan naik lagi. Naiknya bunga The Fed akan makin mendorong perpindahan investasi ke aset-aset finansial dalam dolar Amerika. Dampak paling nyata dalam kehidupan sehari-hari karena perpindahan ini adalah menguatnya dolar. Dus, nilai mata uang hampir semua negara, dari negara maju, berkembang, sampai miskin, merosot terhadap dolar Amerika.
Tren penguatan dolar yang terlalu tajam dapat menimbulkan ancaman serius. Selain membuat ekonomi global terancam resesi, fenomena itu berpotensi menimbulkan krisis moneter di mana-mana. Alarm bahaya sudah menyala jika kita melihat bagaimana bank-bank sentral di seluruh dunia menguras cadangan devisa, melakukan operasi pasar demi menjaga nilai mata uang masing-masing dari ancaman kemerosotan yang terlalu dalam.
Menurut pusat data Bloomberg, cadangan devisa bank-bank sentral di seluruh dunia secara total merosot US$ 1 triliun selama 2022. Celengan devisa milik bank sentral India, misalnya, terkuras US$ 96 miliar. Sedangkan cadangan bank sentral Jepang berkurang US$ 20 miliar.
Indonesia pun tak luput dari tekanan berat ini. Stok cadangan devisa kita melorot US$ 10,5 miliar, dari US$ 141,3 miliar di akhir Januari menjadi US$ 130,8 miliar per September. Patut dicatat, kemerosotan sebesar itu tetap terjadi sekalipun ada pemasukan dolar yang amat besar dari surplus neraca perdagangan, US$ 34,9 miliar, selama delapan bulan pertama 2022. Neraca pembayaran kita juga surplus US$ 2,4 miliar hingga akhir kuartal II 2022.
Tahun depan, berbagai surplus neraca eksternal Indonesia tersebut, yang semestinya bisa memperkuat cadangan devisa, diperkirakan berkurang sejalan dengan merosotnya angka penerimaan ekspor. Harga berbagai komoditas ekspor Indonesia akan menurun karena lesunya permintaan akibat resesi.
Di sisi arus investasi portofolio, arus dolar yang kabur keluar juga amat besar. Sepanjang enam bulan pertama 2022, devisa yang kabur dari Indonesia melalui dana investasi portofolio sebesar US$ 3,6 miliar. Bunga The Fed yang cenderung meningkat karena tingginya angka inflasi akan memicu kaburnya modal portofolio yang makin deras pula. Hal ini juga dapat mengurangi cadangan devisa. Walhasil, amunisi Bank Indonesia untuk menahan tekanan terhadap rupiah pun akan berkurang.
Sementara itu, dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat malah berlaku bak orang tertinggal kereta. Asumsi kurs rupiah dalam Undang-Undang APBN 2023 yang disahkan akhir September lalu sebesar 14.800 per dolar Amerika Serikat. Patokan itu sudah jauh terlampaui. Per Jumat, 14 Oktober lalu, kurs rupiah di pasar tunai nyaris menyentuh 15.400 per dolar. Jika salah satu asumsi dasar yang paling penting ini sudah meleset sedemikian jauh, bahkan beberapa bulan sebelum tahun anggaran itu tiba, bagaimana pasar bisa menilai APBN 2023 cukup kredibel?
Menimbang berbagai kondisi yang begitu bergejolak, rasanya mustahil kita berharap BI akan menghamburkan cadangan devisa untuk menahan penurunan kurs rupiah. Apalagi jika targetnya adalah mencapai asumsi APBN 2023 yang terkesan sangat tidak realistis itu.
Pilihan paling masuk akal buat BI adalah berupaya agar nilai rupiah tidak jatuh mendadak dengan tajam. Dalam situasi seperti ini, saat tingkat inflasi kian tinggi dan jika nilai rupiah merosot pelan tapi pasti sepanjang tahun depan, soft landing, hal itu sudah menjadi berkah bagi kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo