Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada backup data di Pusat Data Nasional. Data kita tidak dipandang penting. Kita tidak penting. Memangnya sejak kapan rakyat dianggap penting selain di bilik suara? Begitu kira-kira tulisan singkat Najwa Shihab di media sosial. Najwa tidak sedang mengomentari tukang ngibul di negeri Saranjana. Jurnalis terkenal itu geregetan terhadap isu PDN Sementara (PDNS) yang diretas hacker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekesalan Najwa Shihab sesungguhnya kekesalan kita semua. Kenapa situs-situs instansi pemerintahan Indonesia sering banget dijaili hacker? Apakah para hacker itu tahu Indonesia tajir tapi rezimnya dungu? Apakah para hacker itu tahu bahwa mayoritas rakyat Indonesia mudah dibego-begoin dengan bantuan sosial dan duit yang habis buat beli kuota Internet doang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai isu yang terjadi belakangan di negeri ini memang meresahkan. Tolong, pemerintah! Jangan suka bercanda. Yuk, kita joget-joget oke gas, oke gas, lagi.
Hardi Yan
Tembilahan, Riau
Kompetensi Pemimpin
DALAM bidang profesi dikenal perlunya kompetensi yang menyeluruh dan dirangkum dalam istilah knowledge, skill, dan attitude (KSA). Pemimpin dalam bidang apa pun harus memiliki KSA yang mumpuni sesuai dengan bidang tanggung jawabnya. Peretasan Pusat Data Nasional menggambarkan negeri tercinta ini tidak sedang baik-baik saja. Menyaksikan sidang Dewan Perwakilan Rakyat bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, kita disadarkan mengenai betapa benarnya sabda Rasulullah SAW dan prinsip kompetensi manajemen modern.
Kiamat kecil sudah terjadi karena gentingnya kepentingan dan keamanan negara. Hal yang tersirat dalam rentetan peristiwa ini adalah tiadanya sikap kesatria yang didasari akhlak serta nilai luhur dalam menyikapi kegagalan mengemban tanggung jawab yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Kita tidak perlu menuntut dilakukannya harakiri seperti kesatria Jepang. Tapi teladan di beberapa negara maju menunjukkan, tanpa ada tuntutan masyarakat pun, sikap bertanggung jawab ditunjukkan dengan spontanitas pengunduran diri dari jabatan.
Kekuatan dan keutuhan suatu bangsa berikut masa depannya yang cemerlang lebih ditentukan oleh teguhnya akhlak serta tata nilai luhur, bukan kemegahan semu lahiriah.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta Pusat
Pemaksaan Utang
PADA 5 Januari 2016, menantu saya, Sastri Andriani, dipanggil Saudara Hazlina Sari Nasution untuk datang ke rumah dinas suaminya, Brigadir Kepala M. Faisal, di kompleks Asrama Polisi Tanjung Alai, Nagari Pauah, Pasaman, Sumatera Barat. Sastri ditemani ayahnya, Anwarman; kakak; dan kakak iparnya.
Hazlina Nasution dan suaminya sudah menunggu. Mereka langsung menyodorkan surat pengakuan peminjaman utang Rp 65 juta dengan cicilan selama enam bulan. Walaupun awalnya tidak mau menandatangani surat pernyataan utang, Sastri Andriani akhirnya menandatangani surat itu karena ketakutan mengingat ia punya bayi dua tahun.
Berdasarkan surat pernyataan utang itu, Hazlina Sari Nasution melaporkan Sastri dengan tuduhan melakukan tindak pidana penipuan. Ironisnya, yang dijadikan barang bukti dan dasar pengusutan perkara laporan polisi nomor LP/52/VII/2016/SPKT/Reskrim.PSM tanggal 2 Juli 2016 oleh penyidik adalah surat pernyataan yang dibuat di bawah tekanan itu.
Djoni Abidin
Pasaman, Sumatera Barat
Tabungan Perumahan Rakyat
UNDANG-UNDANG Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman mengamanatkan dengan jelas bahwa negara bertanggung jawab menyediakan perumahan layak bagi masyarakat. Karena itu, pemerintah bisa dikatakan melalaikan kewajibannya lantaran melempar tanggung jawab penyediaan rumah dengan menggunakan dana masyarakat, yang dikemas dalam Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Apabila punya niat baik mengatasi kurangnya perumahan, setiap tahun pemerintah bisa mengalokasikan anggaran yang memadai dan memasang target jumlah rumah yang akan dibangun. Bekerja sama dengan pemerintah daerah, yang diminta menyiapkan lahan, pemerintah pusat bertanggung jawab atas seluruh biaya pembangunan rumah. Setiap kepala daerah harus berperan dan bertanggung jawab dalam penyediaan rumah murah.
Membangun Ibu Kota Nusantara atau IKN dengan anggaran ratusan triliun rupiah bisa dilakukan. Anggaran makan siang gratis yang jumlahnya ratusan triliun rupiah juga bisa disiapkan. Belum lagi berbagai pembangunan infrastruktur yang menelan biaya ratusan triliun rupiah, tapi manfaatnya tidak menyentuh langsung rakyat kecil. Apakah negara tidak mempunyai kemampuan atau akan jatuh miskin bila mengalokasikan anggaran Rp 100 triliun setiap tahun untuk membangun perumahan murah?
Pada era pemerintahan Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono, selalu ada Menteri Perumahan Rakyat, karena pentingnya masalah perumahan rakyat. Pada era Joko Widodo, perumahan rakyat turun tingkat menjadi bagian dari Kementerian Pekerjaan Umum. Terlihat bahwa pemerintahan Jokowi tidak terlalu peduli pada masalah perumahan murah untuk rakyat.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat