Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUSAHA pengolah gula mentah untuk industri makanan dan minuman ketar-ketir karena pasokan yang kian menipis. Ketua Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia Bernardi Dharmawan mengatakan realisasi impor untuk semester II pada tahun ini hanya cukup untuk produksi hingga akhir tahun saja. “Beberapa anggota malah melaporkan stok bahan bakunya sudah habis awal Desember,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sengkarut impor gula bukan hal baru di republik ini. Pada 1971, tahun majalah ini lahir, polemik impor gula telah mengemuka. Lewat laporan berjudul “Mengatur Gula” yang terbit pada 9 Oktober 1971, Tempo menulis tentang rencana pemerintah mengekspor gula di tengah angka impor yang tinggi. Saat itu, kebutuhan impor gula dalam negeri berada di kisaran 120 ribu ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tonggak impor gula Indonesia muncul pada 1968. Saat itu pasokan gula tebu dari petani tak cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Akibatnya, pemerintah terpaksa membuka keran impor sebesar 37.500 ton. Jumlah ini terus meroket menjadi 118 ribu ton pada 1970.
Padahal Indonesia tercatat sebagai salah satu pengekspor gula pada 1960-an. Tempo mencatat ekspor gula Indonesia sebesar 106.146 ton pada 1964 dan 97.565 ton dua tahun setelahnya. Tapi ekspor gula berhenti pada 1968. Dengan segera Indonesia berubah menjadi negara pengimpor gula.
Angan-angan kembali menjadi negara pengekspor gula dikemukakan oleh Menteri Pertanian Tojib Hadiwidjaja. Dalam sidang Dewan Stabilisasi pada akhir September 1971, ia memaparkan kemungkinan Indonesia mengekspor 80 ribu ton per tahun.
Tapi banyak pihak berpendapat bahwa angan-angan Tojib ini seperti mimpi di siang bolong. Sebab, jumlah produksi tebu tak kunjung berkembang signifikan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan konsumsi gula. Bahkan di beberapa daerah terus terjadi penyusutan panen. Satu hektare kebun tebu yang biasanya bisa menghasilkan 16,5 ton gula kini hanya memproduksi 11 ton. Sedangkan konsumsi per kapita meningkat dari 6 kilogram menjadi 10 kilogram.
Kusutnya pengaturan gula berimbas pada pola distribusi hingga pembiayaan. Adanya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 43 Tahun 1971 yang mengatur peran sindikat dalam penyaluran gula memutus mata rantai distribusi antara sindikat gula dan Perusahaan Negara Perkebunan Gula (PNP Gula) yang telah terbangun mapan. Sindikat harus berhubungan dengan Badan Urusan Logistik dalam rantai distribusi terbaru ini.
Aturan dalam kepres tersebut menyebut Bulog sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mendistribusikan dan memasarkan gula konsumsi di Indonesia. Kepala Bulog Ahmad Tirtosudiro mengatakan kebijakan ini dirancang untuk mengembalikan kekuatan produksi gula dalam negeri. “Mudah-mudahan tahun ini bisa setop impor gula,” ujarnya.
Kemunculan kepres ini dilatarbelakangi banyaknya sindikat gula yang menunggak pembayaran kepada PNP Gula hingga menimbulkan kerugian sebesar Rp 1 miliar. Akibatnya, PNP Gula tidak sanggup membayar tagihan dari 49 pabrik gula yang menjadi penyuplainya. Agar pampatnya pembayaran ini tak mengganggu produksi gula, pemerintah mengambil langkah radikal. Bank Bumi Daya (BBD), yang menjadi penanggung jawab atas pembiayaan sektor perkebunan, dipaksa menjadi pedagang gula.
Pemerintah menekan BBD agar membeli semua gula dari PNP, yang jumlahnya sebanyak 4.000 ton, dengan biaya Rp 24 miliar. Direktur Utama BBD J.D. Massie mengatakan uang untuk membeli semua gula itu berasal dari deposito berjangka. Gula-gula itu lalu diserahkan kepada Bulog sebagai agen tunggal dalam skema perdagangan gula terbaru ini. Bulog yang akan menentukan kepada siapa gula-gula ini akan mendarat sebelum sampai ke meja konsumen.
Ahmad mengatakan Bulog membatasi distribusi per regional untuk menjamin ketersediaan pasokan yang merata. Gula dari Jawa Tengah, misalnya, hanya didistribusikan sampai area Jawa Barat dan Jakarta. Sedangkan pasokan gula untuk luar Jawa akan diambil dari Jawa Timur. Pemerintah juga menetapkan harga batas atas untuk menjamin harga tetap terjangkau, yaitu Rp 92 per kilogram untuk area Jawa dan Rp 100 untuk luar Jawa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo