Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Bencana Ekologi Lumbung Pangan

Banyak yang menilai pemerintah Soeharto berhasil mengatasi krisis pangan dengan berbagai kebijakan seperti revolusi hijau. Tapi hutan jadi rusak.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bencana Ekologi Lumbung Pangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hantu krisis pangan sudah ada sejak era Soeharto

  • Soeharto membuat revolusi hijau dan membuka lumbung pangan atau food estate di Kalimantan Tengah

  • Meski sempat swasembada, proyek di Kalimantan Tengah menghasilkan bencana ekologi.

DIHANTUI ancaman krisis pangan akibat pandemi Covid-19, pemerintah membangun lumbung pangan alias food estate di beberapa daerah di luar Jawa. Kawasan hutan menjadi tumbal proyek mercusuar senilai triliunan rupiah itu. Meski dihantui kegagalan proyek serupa di era Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo membangun lagi food estate. Kini Kementerian Pertahanan yang memimpin pembangunannya di Kalimantan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di era Soeharto, berbagai kebijakan dibuat demi terwujudnya swasembada pangan, termasuk revolusi hijau pada 1970-1980. Ketika itu, proyek tersebut dianggap berhasil meski memiliki efek samping. Artikel majalah Tempo edisi 25 Juni 1988 berjudul “Swasembada Beras Usai Diguncang” memaparkan salah satu problem proyek swasembada tersebut.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak 1986, pemerintah dianggap tegas membatasi penggunaan pestisida. Begitu kata Menteri Keuangan Johannes Baptista Sumarlin kepada wartawan di Bina Graha pekan silam. Ia memperlihatkan sebuah buku bersampul biru. Buku itu berjudul Integrated Pest Management Protection Integree: Quo Vadis? dan disunting oleh Prof Dr V. Delucchi, seorang ahli dari Swiss Federal Institute of Technology, Zurich.

Di samping dipersembahkan kepada Presiden Soeharto, buku tersebut semacam penghargaan atas suksesnya pengendalian hama secara terpadu setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 3, November 1986. Dari hampir 10 juta hektare area padi, sekitar 200 ribu hektare dirusak oleh wereng cokelat yang ganas—akibat menggunakan pestisida secara besar-besaran.

Keseimbangan ekologi berubah, banyak predator alami musnah. Setelah berlakunya instruksi presiden tersebut, 57 jenis pestisida untuk membasmi penyakit yang menyerbu padi dilarang dipakai. Laporan Bank Dunia pada Mei lalu juga mengulas berhasilnya Indonesia membatasi pestisida.

Sektor lain mungkin bisa dijadikan pertimbangan dalam menumbuhkan perekonomian Indonesia. Misalnya padatnya penduduk di Jawa, Madura, dan Bali-Lombok yang mencapai 788 orang tiap kilometer persegi. Maka daya serap tenaga kerja di sektor pertanian kian terbatas. Kesempatan kerja lain ada di industri. Karena itu, pertumbuhan tenaga kerja diarahkan ke sektor jasa atau ke lapangan pertanian di luar Pulau Jawa.

Sebagai konsekuensinya, terjadi tekanan terhadap hutan di luar Jawa itu. Dan pembukaan hutan itu tak selalu bermanfaat baik, misalnya dikonversi menjadi lahan pertanian, padahal tak cocok. Syahdan, banyak pula penduduk yang mengolah lahan cara nomaden, berpindah-pindah, hingga kesuburan tanah rusak. Hutan bahkan dihantui bahaya kebakaran—karena belukar dibakar dulu sebelum tanah hutan digarap.

Sekitar 3,6 juta hektare hutan di Kalimantan Timur pada 1983 dilahap si jago merah. Dugaan penyebabnya beragam: ada lapisan batu bara yang mudah terbakar atau tumpukan ranting kering di musim kemarau. Dalam laporan Bank Dunia, industri pengolahan kayu dan pertanian berpindah mesti mengembalikan ekosistem.

Laporan Bank Dunia mengambil contoh di Kalimantan, yang hutannya sekitar 45 juta hektare itu. Dari 26 juta hektare yang berproduksi tetap, hanya 15 juta hektare lahan yang benar-benar berproduksi tetap. Jika dihitung bersama hutan di pulau-pulau lain, rata-rata secara ekonomis hutan Indonesia yang dapat diolah seluas 35-45 juta hektare.

Bank Dunia mencatat, Indonesia merupakan negara terkaya hasil alamnya yang menyimpan banyak sumber biologis. Lalu dalam laporan itu disarankan antara lain soal tindakan perlindungan. Indonesia masih menerima bantuan dana luar negeri serta bantuan teknis yang bisa dimobilisasi untuk konservasi sumber alam tersebut. Dua hal besar lain tentang lingkungan adalah jumlah air dan mutu pengelolaannya di Jawa serta polusi di sektor Industri dan energi.

Rupanya, polusi berkembang seiring dengan perkembangan kemakmuran masyarakat. Dan hal itu terwujud berkat kemajuan industri, yang kini terkonsentrasi di wilayah utara Jawa. Sektor industri itu, di samping sektor energi, memang paling cepat pertumbuhannya. “Kita memang minta Bank Dunia ikut melihat masalah, per bantuan, dalam lingkup pembangunan dengan mempertimbangkan lingkungan,” tutur Emil Salim, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Erwan Hermawan

Erwan Hermawan

Menjadi jurnalis di Tempo sejak 2013. Kini bertugas di Desk investigasi majalah Tempo dan meliput isu korupsi lingkungan, pangan, hingga tambang. Fellow beberapa program liputan, termasuk Rainforest Journalism Fund dari Pulitzer Center. Lulusan IPB University.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus