Muchtar Pakpahan, 40 tahun, Senin pekan lalu meraih gelar doktor bidang hukum di Universitas Indonesia. Lewat disertasinya, Pelaksanaan Tugas dan Hak DPR Masa Kerja 1982-1987, Muchtar menilai fungsi pengawasan DPR masih belum berjalan. Demokratisasi hanya bisa sehat bila pemerintah bersedia meninjau kembali perangkat undang-undang dalam sistem politik, yaitu undang-undang yang berisi aturan tentang susunan dan kedudukan lembaga legislatif, tentang pemilu, parpol dan golkar, serta keormasan. ''Sistem pengangkatan anggota DPR dan budaya politik yang ada praktis bukan hanya tidak mendukung demokratisasi, tapi justru menghambatnya,'' katanya. Budaya politik yang dimaksudkannya adalah rikuh pakewuh, tepa selira, dan asal selamat yang dianut kebanyakan anggota DPR. Contohnya, kata Muchtar, bila ada anggota Fraksi ABRI berpangkat jenderal angkat bicara, yang berpangkat kolonel ke bawah memilih diam. Muchtar, yang sehari-hari Ketua Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, menyodorkan pula data kuantitatif dan kualitatif kekecewaannya pada DPR. Misalnya, hanya 30 persen dari 460 anggota Dewan yang ''bicara'' kepada pers. Lalu dalam rapat- rapat komisi hanya 60 sampai 70 persen anggota yang hadir. Bahkan di salah satu komisi, ada 12 dari 42 anggota yang tidak pernah mengajukan pendapat. Komentar-komentar anggota fraksi tentang penggusuran tanah, misalnya kawasan Simpruk, dinilai buruk. Dalam sidang yang dipimpin Pelaksana Harian Rektor UI, Prof.dr. M.K. Tadjuddin, Muchtar, yang pernah jadi tukang becak dan pengecer koran itu, dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini