JIKA TEMPO ibarat tubuh, di manakah jantungnya? Jawab: di sebuah sudut, dalam sebuah ruangan tersendiri, di mana Albertus Margana berkantor. Di sinilah bersuanya pelbagai jenis lalu lintas. Margana, 36 tahun, adalah orang yang tiap memIt harus siap terima telepon, siap terima teleks, siap terima memo, siap terima panggilan rapat, dan entah apa lagi. Untung, dia didampingi oleh Didi Prambadi. Untung, di kantornya ini ada sekretaris yang khusus dilatih untuk tugas ini, Sri Marie Agustini ("Kiki"). Dan untung, mereka - kecuali Klkl, tentunya - siap bergadang. Sebab, selain menyalurkan pelbagai penugasan, Margana dan kawan-kawan di sini harus mencatat macam-macam. Hasil reportase yang masuk dan uang yang harus keluar. Nilai prestasi seorang koresponden dan juga penugasan-penugasan tambahan. Bekerja di sini memang memusingkan. Tapi Margana, yang semula sebenarnya reporter yang mengawali kariernya di harian Suara Karya, ternyata bisa juga jadi administrator. Dan Didi Prambadi, 30 tahun, yang memulai kariernya di TEMPO di bagian produksi yang "terisolir", ternyata bisa "bergaul" dengan-sejumlah besar wartawan di banyak tempat. Namun, toh kepusingan di kantor ini harus bertambah. Dalam beberapa tahun terakhir ini data anggaran, prestasi wartawan, dan hasil rencana kerja harus disimpan serta dihitung buat evaluasi secara periodik. Untuk itu di sini aktif juga Yulizar Kasiri, 33 tahun, sarjana ITB yang salah satu tugasnya ialah di bagian pendataan. Dan untuk itu pula sejak awal tahun ini dipasang dua unit terminal komputer. Yang hendak dicapai dengan itu bukan "gaya modern". Yang hendak dicapai ialah kecepatan proses kerja. Karena Margana, anak Sragen yang kalem ini, perlu segera siap menjawab. Sebab, tiap kali ada saja redaksi yang bertanya, "Apa bahan sudah datang dari Surabaya?" Dengan komputer, jawaban bisa diberikan seketika. Pencet saja tombol, maka di layar akan tampil: wartawan yang mana menulis laporan apa, dan kapan tiba, untuk nomor berapa. Informasi yang cepat berkembang ini, seperti kita kenal di layar komputer di lapangan terbang, mengenai lalu lintas pesawat. Maka, siapa saja yang bertanya kini tak perlu meradang lebih lama. Juga bagi Margana, Didi, Yulizar, dan Kiki: mereka tak perlu meradang lebih lama dalam bergelut dengan angka dan nama-nama. Misalnya, untuk evaluasi triwulan tentang hasil rencana kerja, mereka sebelumnya memerlukan waktu seminggu. Untuk menjumlah nilai seluruh reporter (untuk adilnya, para wartawan disini dinilai prestasinya), mereka perlu waktu lima hari. Kini diperlukan waktu 45 menit saja. Juga penghitungan honoraria, yang pernah makan waktu 4 hari, kini tinggal 40 menit. Kecepatan. informasi itulah yang juga harus berlaku untuk kalangan TEMPO sendiri, dari bagian ke bagian lain. Lebih penting lagi ialah didapatnya kebebasan bekerja dari hal-hal yang mencapekkan, misalnya menghitung angka-angka itu. Yang terakhir ini terutama berguna buat Margana, yang masih menulis atau melakukan reportase sendiri. Kalau tidak, bisa cepat rontok, 'kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini