WAKTU itu 5 Januari 1985. Kolonel Cornelis John Rantung, 49, ("Panggil saja saya John") sedang bertugas di Akabri Magelang, ketika ia mendadak mendapat telepon dari kepala Staf Sosial dan Politik Mabes ABRI Letjen Gunawan Wibisono. John, yang menjabat kepala Pusat Nuklir Biologi dan Kimia TNI-AD itu, diperintahkan kembali ke Jakarta. Sesampai di Jakarta John diberi tahu: ia dicalonkan sebagai gubernur Sulawesi Utara menggantikan G.H. Mantik. John (para rekannya memanggilnya Pak Cor) kaget. Tapi sebagai anggota ABRI, ia siap menjalankan perintah. Segera ia menyatakan, "Saya bersedia." Proses itu pun berjalan dengan lancar. Dengan keputusan Presiden I Februari 1985 John dinaikkan pangkatnya menjadi brigadir jenderal. Dua minggu kemudian pangkat itu resmi disandangnya. Pada pemiliharl calon gubernur/ kepala daerah Sulawesi Utara 23 Februari lalu, John memperoleh suara terbanyak, 24 dari 38 anggota DPRD yang hadir. Ia menyisihkan calon lain: F.H. Eman (13 suara), Ferdy S. Lontoh (satu suara). Dua calon lain, R.S.T. Tangkudung dan J.D.P. Takaendengan, sehari sebelumnya telah mengundurkan diri. Senin pagi pekan ini, dalam sidang paripurna DPRD Sul-Ut, Mendagri Soepardjo Roestam melantik dan mengambil sumpah Cornelis John Rantung menjadi gubernur Sul-Ut. Dalam pidatonya, Soepardjo mengatakan, meski rakyat Sul-Ut masih mengharap Mantik terus memimpin daerah tersebut, karena pertimbangan pribadi ia tidak bersedia dicalonkan kembali. "Pemerintah dan masyarakat sangat menghargai sikap yang demikian itu," kata Soepardjo. Mantik ditarik kembali ke Mabes ABRI. Letnan Jenderal (pur.) Mantik, 57, memang mengagetkan masyarakat Sul-Ut tatkala ia menolak dicalonkan kembali. Padahal, menjelang berakhirnya masa jabatannya, ada sekitar 80 pernyataan kelompok masyarakat dan lembaga yang memintanya untuk menjabat gubernur selama lima tahun lagi. Sebenarnya, sikap Gustaf Hendrik Mantik telah jauh hari diputuskannya. Tatkala lima tahun yang silam dicalonkan sebagai gubernur, bekas panglima Kowilhan I ini menyatakan kesediaannya, walau tampaknya dengan berat hati. Waktu itu ia mengajukan syarat: ia bersedia menjabat gubernur hanya untuk satu kali masa jabatan. Bisa dimengerti bila rakyat Sul-Ut ingin mempertahankan Mantik. Selama lima tahun Mantik dianggap cukup berhasil. Sebagian hasil itu terurai dalam memori serah terima jabatan setebal 203 halaman yang diserahkan Mantik kepada penggantinya Senin pekan ini. Sebagian contoh: pada akhir Pelita II pendapatan rata-rata per capita penduduk Sul-Ut cuma Rp 127 ribu. Namun, pada 1983 meningkat menjadi Rp 303 ribu. Mantik bersikukuh. Ia malah menganjurkan agar penyerahan jabatan pimpinan daerah, jangan ditunggu sampai pejabat yang bersangkutan sudah pikun dan loyo. Penggantinya hendaknya seorang yang lebih muda supaya pembangunan dapat berjalan lebih cepat. "Pembangunan ibarat putaran gerak. Supaya gerak pembangunan berjalan lebih cepat, sepatutnya jabatan gubernur Sul-Ut diserahkan sekarang, tidak usah menunggu sampai masa jabatan kedua," katanya pekan lalu. Ia juga menyatakan, sebaiknya gubernur memangku jabatan selama lima tahun saja. Pengganti Mantik, Cornelis John Rantung, memang delapan tahun lebih muda. Putra daerah Sul-Ut ini lahir di Banda Aceh pada 1935. Setelah tamat SD, baru ia kembali ke Sul-Ut untuk menamatkan SMP dan SMA-nya. Kemudian ia meneruskan ke Akademi Teknik Angkatan Darat di Bandung. "Saya memang dilahirkan dari keluarga tentara," kata John. Salah seorang kawan seangkatannya di Atekad adalah Try Soetrisno, kini mayjen dan menjabat panglima Kodam V/Jaya. Ditemui Indrayati dari TEMPO, pekan lalu, sebelum berangkat ke Manado, Cornelis John Rantung tampak siap menjalankan tugas barunya. "Saya cuma pindah tugas," katanya. Ia tidak akan membawa orangorang dekatnya. "Yang ganti 'kan cuma pimpinannya," ucapnya. Jabatan gubernur, buat dia, merupakan perintah atasan yang harus dilaksanakan. "Saya masih perlu belajar lagi, terutama dalam menghadapi masyarakat Sul-Ut," katanya merendah. Sulawesi Utara, kata John, potensinya besar. "Menurut Pak Mantik, dalam the big ten di Indonesia, Sul-Ut yang nomor lima." Diakuinya, banyak masyarakat Su-Ut yang masih melakukan pola hidup konsumtif. "Barangkali perlu dikemukakan motivasi: kehidupan itu untuk hari esok. Esok itu bukan 24 jam. Esok itu sampai turun-temurun, sampai ke anak cucu," katanya. Ia mengingatkan sebuah motto Dr. Sam Ratulangi: sito tumou, tumou tou. "Artinya, siapa yang hidup itu sebenarnya sedang menghidupi orang lain. Jadi, hidup itu bukan untuk dirl sendlri. Hldup itu untuk sesama. Maka, untuk menghilangkan, atau mengurangi - paling sedikit - pola hidup konsumtif itu, perlu kita motivasi dengan mengingatkan itu. Kelebihan cengkih atau .... Ya, itu untuk diri sendiri. Bisa 'kan dialihkan ke pembangunan lain?" kata John bersemangat. John, yang menikah dengan Nelly Hilda Karepouwan - seorang guru TK yang ditemuinya di Bandung - kinl mempunyai tujuh orang anak. Kecuali yang sudah bekerja dan yang belajar di perguruan tinggi, semua anaknya yang lain akan diboyongnya ke Manado. Pria yang rendah hati, gemar membaca, dan sekali seminggu bermain golf ini tampaknya ingin sekali memajukan dan membangun Sul-Ut. "Saya juga akan mengajak putra daerah yang berhasil di Jakarta untuk bersama-sama membangun Sul-Ut." PEMBANGUNAN yang dimaksudnya bukan cuma fisik. "Dalam bidang sastra, Sul-Ut dulu mempunyai Tatengkeng dan Dayoh. Mudah-mudahan nanti akan ada yang muncul lagi. Kebudayaan perlu digalakkan. Peningkatan pendidikan sangat penting. Olah raga? Mudah-mudahan bisa dikembangkan lagi. Termasuk juga atletik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini