PROF. Dr. Mubyarto tampak masygul. Ditemui di kantornya pekan lalu, kepala Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) UGM itu agaknya kesal dengan pemberitaan koran yang dianggapnya "memutarbalikkan fakta". Katanya dengan nada tinggi, "Kami tidak pernah menyarankan untuk melakukan penjadwalan kembali jumlah transmigran. Kami merasa dipertentangkan dengan Menteri." Yang dimaksud Mubyarto adalah Menteri Transmigrasi Martono. Sebuah sumber mengungkapkan, pekan lalu Martono, lewat telepon, menegur Mubyarto gara-gara berita koran. Dr. Gunawan Sumodiningrat, seorang staf P3PK UGM, menurut berita itu, mengusulkan: pengiriman transmigran ke Irian Jaya seperti ditetapkan untuk masa Pelita IV agar dijadwalkan kembali supaya mencapai sasaran. Keterangan Gunawan diucapkan untuk menanggapi penjelasan Menteri Martono beberapa hari sebelumnya, bahwa pengiriman transmigran itu akan ditingkatkan. Pertengahan Januari lalu, atas undangan Menteri Transmigrasi, suatu tim tujuh orang dari P3PK UGM mengunjungi beberapa obyek transmigrasi Irian Jaya selama seminggu. Hasil kunjungan itu dituangkan dalam laporan setebal 102 halaman. Selain itu, P3PK juga mengadakan seminar "Transmigrasi dan Pembangunan Irian Jaya" di Yogyakarta. Dalam seminar itu, tim P3PK memang mengusulkan agar target pengiriman 137 ribu kepala keluarga dalam Pelita IV diperpanjang menjadi dua Pelita. (TEMPO, Lingkungan, 23 Februari 1985). Rupanya, ada kesalahpahaman antara usul tim P3PK dalam seminar dan yang dilaporkan kepada Menteri Martono. Dalam laporan ke Menteri, kata Mubyarto, tim tidak pernah mempersoalkan peninjauan kembali secara kuantitatif jumlah transmigran di Ir-Ja. Tim hanya mengemukakan banyaknya masalah, khususnya yang menyangkut aspek sosial budaya. Menurut Mubyarto, untuk mencapai sasaran 137.000 kepala keluarga transmigran untuk Ir-Ja dalam Pelita IV, yang perlu dikaji kembali adalah yang menyangkut mutu. "Mutu calon transmigran itulah yang perlu ditingkatkan, dan bukannya jumlahnya." Asal peningkatan mutu itu sudah tercapai, berapa pun jumlah transmigran yang akan dikirim ke Ir-Ja, tidak ada masalah. Peningkatan mutu yang dimaksudnya adalah semacam penataran atau pengarahan terhadap calon transmigran, terutama yang menyangkut aspek sosial budaya. Misalnya, peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia, pengenalan terhadap sikap budaya masyarakat Ir-Ja dan adat istiadat. "Jadi, calon transmigran itu jangan datang dengan pikiran kosong," kata Mubyarto. Pengarahan semacam itu hingga kini belum ada. Dibandingkan dengan transmigrasi dari Jawa ke daerah lain, transmigrasi ke Ir-Ja memang yang paling menimbulkan masalah. Program ini juga yang memancing tuduhan dan kecaman dari luar negeri, khususnya dari Australia dan Papua Nugini. Berbagai tuduhan dilontarkan, mulai dari "Jawanisasi Ir-Ja" sampai "Pemusnahan ras Melanesia." Irian Jaya, yang luasnya tiga setengah kali Jawa ini, berpenduduk cuma 1,2 juta (kepadatan rata-rata 3 orang per km2), hingga memang sangat potensial untuk transmigrasi. Transmigrasi ke wilayah ini sudah dimulai pada masa prapelita (1964-1968) berjumlah 466 kk (kepala keluarga), sedang pada Pelita I hanya 100 kk dan 1.150 kk pada Pelita II. Banjir transmigran dimulai pada Pelita III yang mencapai sekitar 13 ribu kk. Untuk Pelita IV sasarannya tidak tanggung-tanggung: 137 ribu kk, atau hampir 700 ribu orang. Seperti juga di daerah lain, di Ir-Ja muncul Juga hambatan yang biasa: Lahan yang belum siap ditempati, prasarana seperti Jalan dan sekolah - yang belum ada. Namun, transmigrasi ke Ir-Ja menimbulkan akibat yang lain: kecemburuan sosial yang bisa menimbulkan bentrokan. Untuk mencegah gangguan keamanan di perbatasan, terutama dari gerombolan OPM, agaknya pemerintah memandang perlu menciptakan semacam "sabuk pengaman", berupa permukiman di daerah-daerah yang kosong dan rawan. Program ini dikaitkan dengan pembangunan jalan sepanjang sekitar 800 km dari Skomambo di utara sampai Merauke di selatan. Hal inilah yang kemudian dibesar-besarkan OPM serta beberapa pihak di PNG dan Australia dengan menunggangi kecemburuan sosial yang timbul antara penduduk asli dan pendatang. Tampaknya menyadari bahwa gesekan yang timbul itu terutama akibat aspek sosial budaya, Departemen Transmigrasi, yang selama ini lebih mempertimbangkan faktor teknis, mengundang tim P3PK UGM untuk meninjau ke Irla. Kesimpulan dan saran tim memang kemudian lebih menjurus ke pertimbangan sosial budaya. Banyak masalah yang selama ini kurang diperhatikan muncul. Sedangkan sejumlah hal bisa lebih dimengerti. Misalnya tuntutan ganti rugi tanah lokasi transmigrasi yang sangat tinggi, dan sering diajukan berkali-kali, ternyata karena yang dituntut masyarakat setempat adalah imbalan atas hilangnya sumber penghasilan mereka sebagai peladang berpindah dan pemburu. Tuduhan bahwa penduduk asli yang ikut transmigrasi lokal sifatnya malas dan mengabaikan tanah mereka, ternyata, tidak seluruhnya benar. Penduduk asli merasa sangat terikat pada desa asli mereka, dan merasa waswas bila berada di tempat asing, hingga mereka selalu ingin kembali - dan bekerja keras di desa semula. Selain itu tim juga melihat pemerintah terlalu ingin memaksakan transmigran lokal untuk bertani dengan pola pertanian Jawa, yang sama sekali asing. Maka, bisa dimengerti bila mereka gagal. Yang menjadi masalah sekarang: apakah hasil penelitian itu akan segera bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki program yang ada. Sebab, memang benar, jika terlalu ditekankan pada target, bisa jadi kesalahpahaman dan ketidakmengertian akan membesar. "Pokoknya, pengiriman transmigrasi ke Ir-Ja akan ditingkatkan, baik mutu maupun jumlahnya," kata Martono lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini