Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKAN ini, 14 tahun lampau, Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri setelah berkuasa di negeri ini lebih dari tiga dekade. Krisis ekonomi parah, mundurnya sejumlah pembantu pentingnya, dan desakan mahasiswa yang terus berunjuk rasa di jalan memaksa jenderal berbintang lima itu meninggalkan Istana Merdeka.
Mundurnya Soeharto menandai berakhirnya era Orde Baru di Indonesia. Sempat menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, ketika Soeharto melepaskan kekuasaan, rezim otoriter itu mewariskan berbagai kerusakan sistem sosial, politik, dan ekonomi.
Akhir pemerintahan Soeharto yang suram kontras benar dengan gegap-gempita pada awal masa kekuasaannya. Majalah Tempo edisi 12 Januari 1971 menulis bagaimana Soeharto mulanya amat dekat dengan mahasiswa. Tak bisa dimungkiri, keberhasilan Soeharto menggusur Presiden Sukarno tak bisa lepas dari gerakan mahasiswa antikomunis.
Ketika itu, Tempo menerbitkan reportase detail tentang penyelenggaraan Musyawarah Nasional Mahasiswa di Istana Bogor pada akhir 1970. Presiden Soeharto yang membuka secara resmi pertemuan.
Setelah acara pembukaan, staf Istana Bogor menyajikan aneka hidangan. Untuk makan siang, mahasiswa dijamu dengan nasi, ikan, sambal terasi, dan lalapan sayur-mayur. Dalam sekejap, santapan itu tandas. Majalah ini menulis bagaimana juru masak Istana kewalahan menyediakan makanan karena satu mahasiswa menghabiskan empat porsi nasi orang biasa dengan kecepatan kilat.
Sepanjang jamuan santap siang, Soeharto santai menemani para mahasiswa. Mereka bercengkerama, bertukar obrolan sambil makan. Setelah hidangan tak bersisa, mahasiswa ramai-ramai bergerombol di sekitar Soeharto. Ada yang meminta tanda tangan Presiden, ada yang sekadar berfoto bersama. Yang lain bahkan dengan ringannya merokok bareng.
Yang menarik, ketika mahasiswa mulai mengeluarkan bungkus rokoknya masing-masing, pandangan mereka tertumbuk pada rokok Soeharto. Berbeda dengan mahasiswa yang bersiap menyedot sigaret biasa, Presiden dengan khidmat mengeluarkan rokok klobot buatan Sleman.
Mahasiswa pun mendadak sontak melotot. Dengan tenang, diiringi senyumnya yang khas, Soeharto menyulut rokok klobotnya, lalu menghirup asapnya dalam-dalam. Asapnya yang tebal menyebar ke mana-mana.
Setelah beberapa sedotan, Soeharto meletakkan rokoknya di asbak, di atas meja. Seorang mahasiswa iseng menunjuk rokok klobot itu. ”Saya boleh minta, Pak?” katanya takut-takut.
”Yang ini jangan, sudah diisap,” kata Soeharto, dengan suara baritonnya, sambil tersenyum lebar. Tapi mahasiswa itu memaksa. ”Biar Pak, buat kenang-kenangan saya,” katanya. Sambil tertawa kecil, Soeharto menyerah. Dia berkata pendek, ”Nyoh, ini ambil.” Puntung rokok klobot keramat itu pun diberikan. Si pemuda gondrong dengan wajah berseri-seri mengantongi puntung rokok RI-1 dan berteriak, ”Gua dapat, gua dapat!”
Hampir 30 tahun kemudian, mahasiswa jugalah yang memaksa pemilik puntung rokok itu mundur dari kursi presiden. Ketika itu terjadi, pada Mei 1998, Soeharto sudah jarang mengisap rokok klobot. Dia lebih sering tampak menyedot cerutu. l
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo