Surat dari Redaksi BILA TEMPO nomor ini sampai di tangan Anda, Anda akan menemukan sebuah rubrik baru, namanya: KALAM. Harfiahnya, kalam, yang diambil dari bahasa Arab, berarti "pena". Tapi, secara konotatif, antara lain bisa juga berarti "filsafat ilmu". Kalam ditempatkan di "kavling" yang biasanya diisi rubrik Selingan dan Memoar. Sementara ini, tiga rubrik itu akan tampil berselang-seling di TEMPO. Tapi khusus Kalam, kami baru bisa menampilkannya empat bulan sekali. Mengapa perlu Kalam? Pada awalnya, rubrik ini muncul dari gagasan Budiman S. Hartoyo, penanggung jawab rubrik Buku, Kolom, dan Memoar. Ia sudah lama terusik, melihat kian menyusutnya penerbit yang bisa menampung pemikiran-pemikiran tentang kebudayaan. Majalah kebudayaan pun, menurut Budiman, kini tinggal segelintir. Antara lain Basis di Yogya, dan Horison di Jakarta. Sedangkan pergesekan pemikiran kebudayaan -- sebagaimana sering terjadi pada tahun 1950-an -- dewasa ini sudah sangat langka. Berangkat dari situ, Budiman punya ide: bagaimana kalau TEMPO menyumbangkan halamannya untuk menampung gagasan-gagasan baru di bidang kebudayaan. Ternyata, gayung bersambut. Pemimpin Redaksi TEMPO Goenawan Mohamad dan Redaktur Pelaksana Bambang Bujono mendukung ide itu. Maka, dibentuklah tim pengasuh Kalam. Mereka berasal dari orang dalam sendiri, yang selama ini banyak berkecimpung di dunia kesenian. Antara lain, Goenawan Mohamad (penyair dan eseis), Putu Wijaya (novelis dan dramawan), Bambang Bujono (kritikus seni dan anggota Dewan Kesenian Jakarta), Budiman S. Hartoyo (penyair), dan Leila S. Chudori (penulis cerita pendek). Mereka dibantu oleh Redaktur Foto Yudhi Soerjoatmodjo dan Pengarah Rancang Grafis Edi Rustiadi Murad. Pada penerbitan perdana ini, Kalam menampilkan karya-karya Taufik Abdullah, Yulia I. Suryakusuma, dan Leila S. Chudori. Mereka berbicara mengenai "Wanita dalam sastra Indonesia". Untuk mengetahui lebih jauh pendapatnya, silakan Anda menyimaknya pada halaman dalam. Kehadiran Kalam menjadikan TEMPO semakin luas dalam hal peliputan masalah-masalah budaya karena selama ini pun, kepedulian kami terhadap dunia seni sebenarnya tak pernah surut. Kami masih tetap membawa semangat untuk membangun apresiasi terhadap dunia yang sangat sedikit diperhatikan di Indonesia -- meskipun kita justru unggul di sini -- yakni dunia kesenian. Karena itu, sudah sejak awal -- saat terbit dua puluh tahun silam -- TEMPO memiliki rubrik Seni. Meskipun lewat beberapa kali survei pembaca kami mengetahui bahwa rubrik Seni bukanlah rubrik yang disukai banyak orang, TEMPO tetap menampilkannya, sampai kini. Jadi, di sini bisa dilihat bahwa aspek komersial bukan menjadi dasar pertimbangan utama pembagian rubrik. Dalam hal rubrik baru Kalam, misalnya, justru idealisme yang lebih banyak bicara. Selain itu, seperti yang Anda harapkan, kami pun bertekad untuk terus mengupayakan adanya inovasi di majalah ini. Jadi, tak mustahil jika tiba-tiba kami melakukan perubahan isi, atau menambah rubrik baru seperti Kalam. Dengan demikian, TEMPO diharapkan selalu bisa memenuhi kebutuhan intelektual kita, yang terus bertambah dari hari ke hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini